Sikap Kewaspadaan Empat Sahabat Besar dalam Meriwayatkan Hadis

Sebagaimana yang kita ketahui sepeninggal Nabi wafat, kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang memimpin umat islam kala itu dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafa’ Al-Rasyidin atau disebut juga dengan sahabat besar. Priode ini dikenal dengan Zaman al Tathabbut wa al Iqlal min al Riwayah juga disebut sebagai masa pembatasan hadis dan penyedikitan periwayatan, Hal ini dilakukan karena para sahabat pada masa itu lebih sibuk menjaga dan menyebarkan Al-Qur’an. Akibatnya, periwayatan hadis tidak mendapat perhatian yang cukup, bahkan mereka berusaha untuk selalu bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadis. (Mu’awanah 2019, hlm.11.)

Pembatasan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis Nabi dengan dua cara, yaitu: Pertama, Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW. Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar mengingat apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Kedua, Hadis yang disebut periwayatan maknawi tidak sama dengan yang diucapkan Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap sama, sesuai dengan maksud Rasulullah SAW (Gufron 2020, hlm. 6.), berikut kebijakan yang ditunjukkan oleh masing-masing dari empat khalifah tersebut; Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali.

Abu Bakar al-Siddiq

Menurut Muhammad al-Dzahabi, Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Pernyataan ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar menjawab bahwa, dia tidak melihat petunjuk Al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberi bagian harta kepada seorang nenek. Abu bakar lalu bertanya kepada para sahabat, Al-Mughirah ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan harta bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Mendengar pernyataan tersebut , abu bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi (Zain 2014, hlm. 12.) 

Umar Ibn al-Khattab

Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Selain itu Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi dimasyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami Al-Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijaksanaa Umar inilah yang kemudian mampu menghargai orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis (Andariati, 2020, 158).

Usman Ibn Affan

Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar al-Khattab. Dalam suatu kesempatan Khutbah, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini menunjukkan pengakuan Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati ini akan dilanjutkan pada masa kekhalifahanya (Zain 2014, hlm. 14.)

Ali Abi Thalib

Khalifah Ali Ibn Abi Thalib pun sama tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunuya. Ali hanya menerima riwayat hadis setelah periwayat mengucapkan sumpah bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jika periwayat benar-benar dipercayainya. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadis Ali tidak menjadi syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah tidak diperlukan jika orang yang menyampaikan hadis benar-benar diyakini tidak akan keliru. Hal ini terlihat misalnya ketika Ali menerima riwayat Abu Bakar al-Shiddiq terhadap Abu Bakar, Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat, Ali menyatakan, “Abu Bakar telah memberikan hadis kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu (Lukman Zain, 2014, 15).

oleh: Fitri Wahyuni, S.Ag.
(Alumni Ilmu Hadis UAD, sedang menempuh program magister Ilmu Hadis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Keutamaan Akhlakul Karimah

Oleh Dr. Busyro Muqaddas, SH., M.Hum

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”

(QS. Al-Baqarah/2: 177)

            Pada awal diangkat sebagai Rasul, beliau Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa: إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ (sesungguhnya aku tiada diutus oleh Allah kecuali untuk memperbaiki, mengoreksi dan menyempurnakan akhlak manusia). Apabila ditafsirkan dengan tafsir kebalikan atau tafsir akontrario, maka dapat dipahami sebagai berikut: sekiranya Allah tidak bermaksud menjadikan Muhammad SAW itu untuk memperbaiki akhlak masyarakat Arab jahiliyyah kala itu, kemudian menanamkan prinsip-prinsip akhlak untuk umat manusia di kemudian hari, serta bukan untuk memperbaiki akhlak, maka Allah SWT tidak akan mengutus Nabi yang terakhir ini. Begitupun dengan ayat QS. Adz-Dzariyat/51: 56 yang berisi tentang maksud penciptaan jin dan manusia.

            Jadi, misi Rasulullah antara lain untuk memperbaiki akhlak. Adapun memperbaiki akhlak di sini bukan untuk masyarakat jahiliyyah saja, akan tetapi juga menanamkan prinsip-prinsip atau dasar pengetahuan, kaidah-kaidah akhlak yang bersumber dari Al-Quran untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. Bagaimana masyarakat Arab kala itu yang penuh kebatilan, kedzaliman, ketidakjujuran, anti kritik dan anti kemanusiaan.

            Pernah pada masanya di mana keadaan Arab jahiliyyah pada saat itu, apabila lahir seorang anak laki-laki (dianggap mewakili simbol keberanian) dibunuh, sedangkan ketika lahir anak perempuan yang dianggap sebagai simbol kelemahan, dibiarkan saja. Selain itu juga, siapa yang menang kekuatan senjatanya, maka ia bisa mengalahkan kabilah lain yang lemah. Artinya kekuatan senjata/ fisik yang unggul akan mengalahkan kabilah lain yang lemah. Jadi pada intinya, ukuran kekuatan kala itu ialah terletak pada fisik dan persenjataan, bukan pada akhlaknya.

            Sementara Nabi bersabda demikian. Maka dari itu, ketika pernyataan Nabi tersebut ditarik pada masa dan situasi sekarang ini, pada dasarnya misi setiap umat Nabi Muhammad SAW, muslim/ muslimah dimanapun berada, apapun jenis pekerjaannya, jabatan, organisasi maupun tingkatan sosialnya, baik secara individu maupun antar kelompok, misi utama mereka ialah bagaimana Al-Quran dijadikan sebagai sumber akhlakul karimah. Al-Quran dijadikan sebagai patokan utama untuk memperbaiki akhlak. Dimulai dari akhlak pribadi, keluarga dan seterusnya hingga lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaannya. Sebagai polri memperbaikinya di kepolisian, sebagai jaksa di kejaksaan, sebagai hakim di kehakiman, sebagai tentara di TNI, sebagai mahasiswa di kelompok mahasiswanya, sebagai tenaga guru dan dosen, sebagai pedagang, petani, nelayan dan sebagainya itu memiliki misi sebagaimana misi Nabi Muhammad tersebut, yaitu memperbaiki akhlak.

            Setiap muslim harus menunjukkan akhlaknya, adapun beberapa jenis akhlak yang harus ia tunjukkan itu antara lain:

  1. Akhlak kepada Allah: tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, kemudian melaksanakan shalat secara tertib sesuai tuntunan, ditegakkan dengan khusyu’, memperbanyak dzikir dan mengucapkan kalimat thayyibah yang muncul dari hati.
  2. Akhlak kepada orangtua: menghormati, berbakti dan berbuat baik kepadanya.
  3. Akhlak terhadap ilmu pengetahuan: jangan sampai kesarjanaannya itu hanya digunakan untuk menggadaikan ilmunya.

            Sekitar 10 tahun yang lalu, ditemukan data terkait dengan sebagian hakim yang memperjualbelikan putusannya senilai milyaran rupiah. Ini dibuat oleh hakim yang bergelar Doktor/ Dr. Gelar tersebut merupakan suatu derajat ilmu yang tertinggi. Meski demikian, masih saja bisa membuat putusan hakim yang dapat ditransaksikan, terutama yang berkaitan dengan pilkada, atau juga tentang putusan yang berkaitan dengan rakyat ketika berhadapan dengan sebagian penguasa yang pongah/ sombong, yang tidak mau ditegakkan keadilan kepada dirinya.

            Seorang jaksa mentransaksikan pasal-pasal yang diturunkan tuntutannya dengan imbalan sekian milyar, demikian juga pengacara yang membela pihak-pihak yang bersalah, sehingga keputusannya dapat diatur dengan jaksa dan hakim, bahkan dengan aparat kepolisian. Seorang ahli pertanian, bergelar Dr. Ia membuat studi kelayakan, pesanan dari pengusaha sawit, supaya proposal tersebut memberikan pembenaran bahwa proyek kelapa sawit dengan jumlah jutaan hektar itu layak mendapatkan izin pemerintah. Maka kelompok sarjana tersebut membuat proyek proposal dengan imbalan dana tidak kurang dari milyaran rupiah tersebut. Begitupun sebagian dokter yang melakukan praktik aborsi. Mereka itulah intellectual prostitution atau pelacuran yang dilakukan oleh orang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan.

            Padahal, Nabi mengingatkan ilmu itu tujuannya untuk menemukan, menegakkan dan memperjuangkan kebenaran, bukan untuk membenarkan yang salah. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa: أَشَدَّ النَّاسَ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ (manusia yang paling pedih siksanya ialah orang yang berilmu, namun ilmunya itu tidak dapat memberikan manfaat). Orang yang berilmu dan tidak mendatangkan manfaat, tapi justru mendatangkan mudharat. Ilmu untuk membela yang lemah. Para nelayan yang menggugat pemerintah terkait kasus reklamasi, keluarga yang suaminya diduga sebagai teroris padahal belum terbukti sebagai pelaku teroris, membuktikan itu harus di tengah pengadilan, dan tidak cukup berdasarkan pernyataan kapolri, bahwa ini terduga teroris, ini terlibat dengan ISIS, tanpa bukti di pengadilan, ini tidak bisa dan harus di pengadilan, bahwa ini adalah negara hukum, dan bukan negara kekuasaan.

            Hukum adalah kristalisasi dan gumpalan dari nilai-nilai akhlak. Jadi, apabila hukum yang dibuat oleh sebagian penegak aparat atau penegak hukum yang tidak mengandung akhlak karimah, hal tersebut bukanlah hukum namanya. Melainkan persengkokolan, tipu menipu atas nama hukum yang tidak memiliki misi hukum itu sendiri, dan hal itu tentu bertentangan dengan pernyataan Nabi bahwa diutusnya itu ialah untuk menyempurnakan akhlak.

            Dalam kurun waktu terakhir, hampir 100 orang anggota DPR terkena operasi tangkap tangan/ operasi penegakkan hukum korupsi. Berapa banyak bupati yang maju lagi merekayasa APBD, seorang Gubernur di Sumatera mengajukan usulan perubahan APBD provinsi, kemudian supaya perubahan disetujui oleh anggota DPR setempat, maka mereka disuap. Sehingga, sebanyak 38 anggota DPR berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi/ mencuri harta rakyat.

            Demikianlah beberapa kasus serta contoh daripada perilaku orang yang berilmu dan memiliki jabatan, namun tidak digunakan dengan sadar bahwa ilmunya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah kelak. Maka di dunia saja, mereka mengalami penderitaan dan kehinaan, apalagi di akhirat kelak. Ketika bercermin berdasarkan pengalaman pribadi, Busyro Mukoddas (BM) pernah mengalami teror dari seseorang:

Tepatnya pada kurun waktu antara tahun 1980–1985. Ada seorang yang mengaku sebagai aktivis mahasiswa di Jogja mendatangi rumah BM di Purwodiningrat, ia bermaksud meminta waktu sejenak untuk wawancara tentang Pancasila dan mengenai Pak Harto (Presiden). Ketika sudah dipersilahkan duduk, ia meletakkan tasnya di kursi dekat dengan tempat duduk BM, bukan di dekat tempat duduknya. Setelah itu, BM meraba tas milik tamu tadi, dan ternyata terdapat tape recorder/ alat perekam di dalamnya.

            Sebelumnya, BM sudah diperingatkan oleh seorang teman, bahwa akan ada tamu aneh yang datang ke rumahnya, beliau menyarankan agar BM berhati-hati. Tamu tadi mulai melakukan wawancara, kemudian mengolok-olok Pak Harto dan Pancasila, lalu menanyakan bagaimana pandangan BM. Maka, beliau katakan bahwa “Pak Harto merupakan Presiden yang bagus dan baik dengan segala kekurangannya, seorang muslim dan seterusnya. Kemudian, terkait Pancasila, ia adalah sesuai dengan ajaran umat Islam, sila pertama dengan Tauhid, kemanusian, persatuan dan sebagainya”. Jawaban BM meleset, atau tidak sesuai dengan jebakan orang yang mengaku mahasiswa tadi. Terakhir, barangkali merasa jawaban tadi tidak sesuai dengan harapan, ia kemudian pamit dengan mengatakan bahwa statusnya ialah buronan intel Angkatan Darat. Ia juga mengaku bahwa dirinya tinggal di Notoprajan, Jl. H. Agus Salim.

            Setelah kejadian tersebut, dua hari kemudian BM dikejar-kejar oleh intel di Jogja. Kala itu ia sering memanggil BM untuk datang ke Korem 072 Rekso Bhayangkara, kemudian dituduh mendirikan negara Islam Indonesia, yang pada saat itu tudahan sejenis merata hampir terjadi di seluruh perguruan tinggi Islam, bahkan di beberapa kampus negeri. Hal ini berarti, profesi intelegent ini bagus sekali dan harus ada di Negeri ini, namun seharusnya menjadi intelegent yang baik, tidak menjebak-jebak seseorang dan seterusnya. BM sampaikan sekedar utk merespon, bahwa ada pernyataan yang muncul “kampus menjadi sasaran radikalisasi”. Beliau bisa memahami karena yang ngomong ialah orang pemerintah. Jika pernyataan tersebut benar, lantas siapakah yang masuk ke dalam kampus tersebut, apakah benar-benar orang radikalis, ataukan hanya sekadar jebakan yang pernah dialaminya. Nah, ada satu ayat yang menarik;

            “In ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa’ tum falahaa”. (apabila kamu berbuat bagus dan baik, tidak merugikan manusia dan bahkan menguntungkan manusia, maka perbuatan baik itu akan kamu ketam, akan kamu raih. Apabila kamu berbuat konyol, memfitnah orang, memfitnah umat Islam, maka tunggulah kamu juga akan mengalami derita dan hal-hal yang tidak menguntungkan dirimu sendiri).

            Intel ini kemudian terkena penyakit strok berat sampai 25 tahun dan tidak kunjung sembuh. Tiga tahun yang lalu (tahun 2015, red.) BM di telephone oleh seseorang yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal intel tadi, dan intel tadi jika pergi ke masjid menggunakan kursi roda, karena strok, ia tanya kepada seorang sahabat BM, seorang guru besar. Ia bertanya, “bapak kenal ndak dengan pak Busyro, bisakah bapak mengantar saya untuk menemui beliau?. Bisa jadi sakit saya ini tidak terlepas dari langkah-langkah saya dulu yang sempat menyakiti dan melukai hati sejumlah orang saat itu, termasuk pak Busyro. Dan saya ingin meminta maaf. Mudah-mudahan dengan maafnya tadi, saya bisa segera sembuh atau kalau tidak diwafatkan dalam keadaan khusnul khatimah.”

            Beliau menelephon BM, dan dijawab dengan salam hormat, bahwa BM sudah melupakan masa lalu, dan beliau memaafkan semuanya, sebaliknya BM juga mohon maaf. Mendengar jawaban tersebut intel tadi bersyukur dengan syukur yang penuh kegembiraan. Satu bulan kemudian terdengar kabar bahwa intel tadi meninggal dunia dalam keadaan yang sangat bagus.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut?

            Setiap orang yang memiliki jabatan apapun, termasuk jabatan aparat pemerintahan, jika dzalim kepada umat yang tidak melakukan perbuatan sejenis teror itu. Maka, akhlak sesama manusia itu perlu dijaga. Untuk itu, bulan Ramadhan seyogyanya dijadikan sebagai bulan penyucian jiwa. Qad aflaha manzakkaha, waqad khoba man dassaha (Beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya).

Islam dan Perdamaian

Oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA.


كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Ali Imron/3: 110)

            Dalam kondisi apapun, seyogyanya seorang Muslim senantiasa bersyukur, karena Allah Ta’ala selalu melimpahkan nikmatNya yang apabila coba dihitung, maka siapapun tiada yang mampu menghitungnya. Beberapa hari menjelang Ramadhan, terselenggara sebuah acara konferensi di Istana Bogor dengan nama a Trilateral Ulema Conference of Indonesia, Afghanistan and Pakistan, tema yang diusung ialah “Islam as Rahmatan lil Alamin, Peace and Stability in Afghanistan”. Konferensi yang dihadiri oleh para ulama dari tiga negara, Indonesia, Pakistan dan Afganistan.

            Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia yang dimotori oleh Wapres, Jusuf Kalla dan Menlu, Retno Marsudi. Dari Indonesia hadir 15 orang, terdiri dari 14 utusan MUI yang juga mewakili berbagai ormas, dan seorang mubaligh Indonesia di Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali. Dari Afganistan hadir 19 orang, dan dari Pakistan hadir sekitar 17 orang. Konferensi berjalan selama dua hari.

            Adapun pokok permasalahan yang menjadi bahasan ialah mengenai perdamaian dan persaudaraan dalam Islam; violent extremism (ekstrimisme berkekerasan) dan al-i’tidal (toleransi); peran ulama dalam menciptakan perdamaian; peran negara dalam menciptakan perdamaian; dan langkah maju ke depan dalam mewujudkan perdamaian.

            Indonesia menyadari sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga mengambil bagian dalam ikutserta mendamaikan saudaranya yang berseteru menjadi tanggungjawab moral. Dalam konferensi tersebut yang diundang ialah ulama, hal ini karena suara mereka masih didengar oleh masyarakat, atau fatwa para ulama tersebut masih digunakan dalam beberapa aspek perikehidupan bermasyarakat, seperti dalam bidang hukum maupun bisnis. Sehingga, kesepakatan atau keputusan antar ulama dalam konferensi tersebut akan dijadikan payung dalam perundingan perdamaian nantinya.

            Dalam hal ini, mereka menyepakati bahwa Islam adalah agama perdamaian. Sesuai dengan namanya, Islam berarti perdamian. Nabi Muhammad datang membawa agama Islam untuk menggambarkan esensi yang paling mendalam, bahwa ajaran yang dibawa yakni agama yang mengajarkan tentang perdamian.

            Islam berasal dari kata  سَلِمَyang artinya selamat, bebas dan damai. Dalam kaidah tata bahasa Arab berbunyi:   سَلِمَ – يَسْلَمُ – سِلْمًا – سَلْمًا – سَلاَمَةً yang berarti damai. Kemudian, terdapat istilah   السَّلاَمُ الْعَلَمِyang diartikan perdamaian dunia.

            Kata سَلَّمَ  berarti menyerahkan, hal ini berarti melepaskan sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur pembebasan. Maka, dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan perdamaian yang di dalmnya terdapat prinsip pembebasan, baik dari rasa takut, lapar maupun ketidakamanan. Sebagaimana dalam firman Allah, QS. Al Quraisy/106: 4,

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

Berdasarkan ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam hidup yang damai itu sendiri, terbebas dari berbagai rasa ketakutan, kelaparan dan ketidakamanan. Itulah intisari dari ajaran Islam yang terkadang banyak umatnya sering melupakan.

            Nabi SAW dalam hadis mendefinisikan bahwa: المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (seorang muslim itu ialah apabila dia menjadi sumber perdamaian bagi sesama manusia yang lain, sehingga mereka terbebas dari kejahatan lidah dan tangannya). Bahkan pada era milenial seperti sekarang ini, lidah juga sudah berpindah ke jari-jari tangan, pencat-pencet smartphone, namun aktivitas yang dilakukan justru menyakiti orang lain.

            Selain memiliki maksud perdamaian, juga berarti pembebasan. Dari kata سَلِمَ juga ada kata سُلَّمٌ, yang berarti tangga. Tangga ialah alat untuk naik ke tempat yang lebih tinggi, kemudian dengannya dapat melihat wawasan luas serta dapat melihat sekeliling. Di samping itu juga bermakna selamat dari marabahaya, misalnya karena dikejar anjing galak, kemudian naik tangga. Sehingga, di dalam kata Islam saja sudah terdapat unsur keselamatan, perdamaian, pembebasan serta pandangan/wawasan yang luas.

            Salam seorang muslim, ketika bertemu satu dengan yang lain ialah السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ yang artinya ‘damai buat anda’, atau yang lebih baik dari itu dengan menambahkan ungkapan warahmatullahi wabarokaatuh (rahmat dan barokah dari Allah). Ketika kalimat tersebut sudah terucap, berarti seorang muslim telah menjamin keselamatan orang yang ada di hadapannya. Kedamaian orang tersebut dijamin, karena telah mengucapkan janji, yaitu السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ.

            Namun terkadang masih terdapat paradok, ketika ada seorang muslim menagih hutang kepada saudaranya, kemudian ia mengucapkan salam sambil mengetuk pintu. Lalu setelah empunya rumah keluar untuk memberi pintu, tamu tadi kemudian berkata keras atau bahkan marah dan mencaci sambil menagih hutang yang belum dibayar. Artinya, fenomena tersebut bertentangan dengan ucapan salam tadi. Karena pada awalnya ia telah berjanji datang membawa kedamaian, tapi malah mencak-mencak.

            Kata سَلِمَ atau Islam, juga menjadi salah satu nama Allah SWT, yakni السَّلاَمُ yang berarti Maha Pemberi Keselamatan. Setiap muslim setiap kali mengakhiri shalatnya juga dengan menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri sambil mengucap salam. Maka, sholat itu merupakan mi’roj, atau dalam riwayat disebutkan ashsholaatu mi’rojul mu‘min. Setidaknya seorang mukmin naik jiwanya kepada Tuhannya, lalu kembali lagi ke dunia. Menutup dengan salam, menyebarkan perdamaian.

            Sebuah ironi, agama yang mengajarkan perdamaian, justru di sebagian belahan bumi umatnya justru tidak mencerminkan perilaku yang diajarkan oleh Rasulullah dan yang menjadi esensi agama yang dianutnya, seperti bom bunuh diri, perang antar saudara. Hal itu boleh jadi ada yang salah dalam beragama, mungkin secara formalitas sudah menjalankan ibadah, sholat, puasa, zakat, dll. Namun ibadahnya itu hanya sebatas pada formatnya saja, sementara sisi substansi dan semangat dari ibadah yang dilakukan itu kurang tersentuh. Melaksanakannya secara mekanistik formal/ karena kebiasaan saja, akan tetapi tidak menghayati esensi dalam ajaran tersebut. Maka penting bagi setiap muslim agar selain mempraktikan format yang diajarkan Nabi juga yang lebih penting ialah menghayati esensi dari ibadah tersebut. Seorang Muslim harus selalu damai dan menjadi sumber perdamaian bagi orang di sekitar.

Sikap Seorang Muslim dalam Menyambut bulan Ramadhan

Oleh Dr. Kasiyarno, M.Hum

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah/2: 183).

            Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan limpahan rahmat, barokah dan ampunanNya, sehingga kaum muslimin banyak yang merindukan untuk berjumpa dengan bulan suci ini. Tentunya, berjumpa kembali dalam keadaan yang baik dan mampu beramal saleh secara maksimal dengan penuh ketakwaan kepada Allah Ta’ala.

Dalam masyarakat sering dijumpai doa yang banyak diucapkan menjelang bulan Ramadhan.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan”

            Mereka meyakini bahwa doa tersebut diajarkan oleh Rasulullah. Padahal, para ahli hadis menilai kualitas sanadnya lemah. Meski begitu, tidak menjadi masalah ketika hendak membacanya/mengamalkannya, selama tidak diyakini bahwa perkataan itu benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad SAW.

            Ketika dicermati, doa tersebut memiliki makna yang sangat bagus. Berisi permohonan agar Allah memberikan umur panjang, sehingga dapat bertemu dengan bulan Ramadhan serta beribadah di bulan tersebut. Di antara makna yang dapat diambil dari untaian doa tersebut ialah:

  1. Dianjurkan untuk berdoa agar diberikan umur panjang.

Dengan catatan ada niat untuk berbuat baik dan memperbaiki diri. Berjanji kepada Allah, jika diberi umur panjang maka akan berbuat lebih baik, beramal lebih banyak, memperbaiki akhlak, dan sebagainya. Harus diniati dengan tulus, agar diberikan kesempatan memperbaiki diri dan mempersiapkan menjadi orang yang lebih baik.

  • Doa tersebut juga bermakna agar bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan.

Mengapa berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan menjadi impian setiap muslim? Karena bulan tersebut istimewa, penuh dengan rahmat, barokah dan ampunan. Dan kaum muslimin memiliki kesempatan untuk dapat meraih keistimewaan itu, jika mereka mau mengerjakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan.

            Di bulan Ramadhan setiap muslim bisa mendulang pahala yang luar biasa banyaknya. Sebab, semua amal ibadah hingga amalan sunnah sekalipun, balasan kebaikannya akan dilipatgandakan. Manakala setiap muslim tahu betapa banyak pahala yang ada di dalamnya, maka mereka berharap agar sleuruh tahun menjadi bulan Ramadhan. Di bulan tersebut setiap muslim diwajibkan untuk berpuasa. Dan puasa itu sendiri dapat dimaknai menjadi dua hal, yakni secara syar’i dan secara hakikat.

            Puasa secara syar’i merupakan pembelajran untuk menahan diri dri berbagi perkaran yang membatalkan puasa, seperti makan minum, berhubungan badan di saing hari dan hal lain yang dapat membatalkan puasa. Itulah tarbiyah dalam bulan ramadhan. Adapun, puasa secara hakikat dapat dimaknai dalam rangka mensucikan diri dan jiwa. Sehingga, jiwa menjadi suci, oleh karenanya bukan sekedar menjadi muslim/ mukmin, akan tetapi juga memiliki takaran tertinggi, yakni takwa kepada Allah/ memiliki predikat muttakin.

            Orang bertakwa memiliki jiwa yang suci, memiliki kemampuan kesadaran yang tinggi dalam hal menunaikan kewajiban, ketaatan dan perintah Allah Ta’ala serta dalam menghindari larangan-laranganNya. Tentu, untuk mensucikan diri/ jiwa, maka diperlukan bibit/ benih yang bagus. Jiwa bisa disucikan jika inputnya baik, sehingga jiwa dapat menjadi tumbuh subur. Perlu diketahui, bahwa input tersebut dapat berupa input negatif dan input positif. Asupan positif, pola pikir, ucapan, perbuatan dan perilaku yang bagus, baik dalam rangka memperbaiki diri, berbaik kepada lingkungan, didasarkan pada rasa kasih sayang, kecintaan, menghindarkan diri dari rasa iri, dengki dan dendam. Maka yang tumbuh dari benih yang positif itu mampu mensucikan jiwa seseorang.

            Namun, jika yang mengisi jiwa adalah input negatif, maka hasil pertumbuhan jiwa juga negatif. Sehingga, sarana yang diberikan Allah dalam bentuk puasa Ramadhan merupakan suatu media yang dapat mengendalikan jiwa untuk menjauhkan diri dari input-input negatif tersebut. Dengan demikian, input positiflah yang kemudian diserap, sehingga benar-benar dapat mensucikan diri sampai mencapai derajat takwa.

            Namun, semua itu tergantung pada diri masing-masing orang. Kalau melihat buku Tasauf Modern Hamka, diceritakan bahwa pada suatu ketika Raja Iskandar Zulkarnain memberangkatkan pasukan untuk menaklukan suatu daerah di pagi hari. Pesan beliau kepada pasukan ialah: “nanti malam kita akan menyebrang sungai, maka ambillah apa yang diinjak dalam sungai itu”. Ketika malam tiba, ada tiga kelompok pasukan yang diberangkatkan Iskandar. Pasukan pertama melintasi sungai dan tidak mengambil apapun, karena mereka berpikiran bahwa apa yang ada di dalam sungai tersebut hanyalah batu. Mengambil batu sama dengan mempersulit perjalanan, pikirnya.

            Pasukan kedua melintas, mereka hanya mengambil apa yang diinjak ala kadarnya, yang penting sudah memenuhi perintah raja. Adapun, pasukan ketiga melintas, kemudian mengmbil sebanyak-banyaknya apapun yang diinjak, sehingga mereka merasa keberatan dan kewalahan dalam mlanjutkan perjalann menuju lokasi.

            Setelah tiba di suatu tempat, sang Raja bertanya kepada para pasukan. Mereka diminta menunjukan apa yang diperoleh. Ternyata apa yang mereka injak di sungai tadi ialah intan berlian. Sehingga pasukan pertama merasa kecewa, pasukan kedua cukup senang, tapi menyesal. Adapun pasukan ketiga sangat berbahagia, karena mereka taat kepada perintah Raja.

            Ketika disinkronkan dengan perjalanan masuk ke bulan Ramadhan, maka sama saja memiliki setiap muslim memiliki tiga pilihan. Pertama, ada yang masa bodoh, ngapain bangun malam sekedar makan sahur. Kedua, masuk bulan Ramadhan yang penting puasa, sahur ikut sahur, yang penting sahur, puasa tapi belum sepenuhnya. Ucapan masih melukai hati orang lain, mata masih melihat yang buruk-buruk, telinga, tangan dan sebagainya tidak dijaga. Ikut arus saja, karena budayanya begitu. Ketiga, mereka yang masuk Ramadhan dengan sungguh-sungguh penuh keimanan dan ketakwaan.

            Berpuasa secara sepenuhnya, bukan hanya menahan lapar dahaga dan yang membatalkan puasa, tapi juga menjaga perkataan, perbuatan, memperbanyak amal, ibadah, zikir, berbuat baik kepada orang lain, benar-benar siap serta niat sepenuhnya untuk beribadah menggapai keridhoannya. Tentu kelompok terakhir tersebut yang dikatakan sukses dalam masuk bulan Ramadhan, sesuai harapan dan tujuan orang berpuasa, yakni meningkatkan harkat martabat mnjadi seorang mutakin, patuh kepada Allah, melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, maka sudah sepantasnya untuk memanfaatkan momentum Ramadhan dalam melakukan perubahan, perilaku dan karakter.

Puasa Melatih Diri Menjadi Pribadi yang Melimpah

Oleh Dr. Khoiruddin Bashori

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah/2: 183).

            Ayat tentang kewajiban berpuasa, dalam QS. Al-Baqoroh/2: 183 diakhiri dengan harapan agar menjadi orang yang ‘bertakwa’. Ketika mencermati beberapa ayat sebelumnya, di sana diterangkan perihal kisas dan wasiat. Kisas ialah menuntut balas atas suatu kasus pembunuhan. Dalam sebuah istilah disebutkan, “atas nama keadilan, hutang nyawa dibayar nyawa”. Tapi dalam pelaksanaan kisas, apabila keluarga korban memaafkan, maka hukuman tersebut tidak berlaku lagi, melainkan hanya dikenakan diyat/ tebusan. Atau bisa juga pihak keluarga korban memberikan maaf, artinya tidak meminta tebusan sama sekali. Dalam hukum tersebut, ujungnya ialah masalah ‘permaafan’.

            Ayat selanjutnya menerangkan tentang wasiat. Dalam Islam, terdapat beberapa istilah untuk menyebut pemberian kepada orang lain, yaitu hibah, wasiat dan waris. Hibah yaitu pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain, sementara saat ia memberikannya masih hidup. Wasiat dapat diartikan sebagai pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia, adakalanya tentang harta benda. Wasiat pada dasarnya memberi sesuatu kepada orang lain, namun eksekusinya setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam Islam, wasiat berupa harta dibatasi maksimal 1/3 dari harta yang dimilikinya, dan yang menerima harta wasiat ialah selain yang ada dalam hukum waris. Sedangkan, warisan ialah harta yang diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya atau disebut ahli waris.

            Hibah dan wasiat, intinya ialah berbagi/ memberi kepada orang lain, baik kepada keluarga atau siapapun. Begitupun waris, bedanya ia hanya khusus diberikan kepada keluarganya yang termasuk dalam kategori menerima hak warisan tersebut.

            Setelah menerangkan tentang kisas dan wasiat, ayat berikutnya menjelaskan tentang kewajiban berpuasa. Rupanya, puasa melatih untuk bersikap zuhud, imsak/ menahan diri. Zuhud bukan berarti berpaling dari dunia, karena Allah SWT sejatinya menjadikan setiap manusia agar menjadi khalifah atau orang yang mengurus dunia itu sendiri. Orang yang zuhud ialah orang yang sudah mampu menyapih/ melepas kelekatan dengan sesuatu hal yang sifatnya keduniawian. Pada dasarnya, mereka adalah orang yang kaya harta, tapi mereka tidak merasa memiliki. Karena filosofinya ialah innalillahi wa inaa ilaihi rooji’uun, sehingga mereka merasa bahwa semuanya milik Allah, manusia hanya dititipi saja, sedangkan yang hakiki pemilik sepenuhnya hanyalah Allah semata.

            Contoh sederhana, ketika ada yang baru saja membeli mobil baru. Lalu saat berkendara, mobil tersebut tertabrak dari belakang dan penyok. Pertanyaanya ialah, apakah pada saat itu hatinya ikutan penyok? Jika hatinya ikut penyok, berarti mobil tersebut sudah menempel di hati.

            Biasanya, dalam hidup itu hal-hal yang bersifat keduniaan, amat kuat menempel di hati. Maka dari itu, puasa melatih untuk melepas kelekatan dunia dari hati. Sehingga, yang disebut zuhud bukanlah berpaling dari urusan dunia atau tidak memiliki apapun, melainkan orang tersebut sebenarnya mampu secara materi, akan tetapi tidak merasa memiliki. Maka, ketika ada orang lain yang membutuhkan, dengan ringan ia segera memberikan apa yang dibutuhkan orang tersebut.

            Apabila puasanya benar, tentu ia akan menjadi orang yang senang berbagi dan juga pemaaf. Kadangkala yang sulit dimaafkankan ialah masa lalu. Padahal, ia merupakan hal yang menyakitkan. Ketika hal itu terus disimpan bahkan dipelihara, masih juga dibawa sampai tua, maka hal itulah yang seringkali membuat orang menjadi gelisah, gundah dan tidak tenang hidupnya. Namun, jika sudah memaafkan, maka jiwa akan lebih lapang, lebih terlihat gembira dan seterusnya, sebab tidak ada lagi dendam, rasa sakit hati dan apapun yang mengganjal di hati.

            Ketika seseorang sudah merasa senang dalam berbagi, maka itulah yang disebut dengan pribadi yang melimpah. Filosofinya ialah bahwa ‘rezeki Allah SWT tidak terbatas’, orang yang memiliki keyakinan seperti itu, ketika sesuatu yang ia miliki diberikan kepada orang lain, maka ia tidak pernah merasa berkurang. Meski berapapun yang ia miliki dan diberikan kepada siapapun orang yang membutuhkannya. Justru kebiasaan membantu itu akan diganti dengan yang lebih banyak.

            Misalnya, ketika ada seorang anak yang sudah berkeluarga, kemudian berkunjung ke rumah orangtuanya. Lalu diberinya air minum, kemudian anak tadi meminumnya dengan lahap. Hal yang pasti dilakukan orangtua ialah langsung ke belakang mengambilkan teko/ termos. Antara gelas dan termos sudah pasti lebih besar termos, begitulah analogi ketika Allah SWT melihat para hamba-Nya. Ketika gelas masih penuh, maka tidak mungkin akan diisi air kembali.

            Jika Allah melihat rizki masih penuh, maka tidak akan ditambah lagi. Oleh karenanya, jika ingin agar rizkinya bertambah, sering-seringlah berbagi. (هَلْ جَزَاءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ) ‘Tidak ada balasan atas suatu kebaikan selain kebaikan pula’. Ketika orang tersebut berbuat baik kepada orang lain, maka ia akan dibalas baik juga oleh orang lain. Puasa ini melatih diri melepas ikatan dan menjadikan pribadi semakin melimpah, sehingga berbagi menjadi lebih mudah.

            Terkisah seorang penjual pisang goreng yang mendapat hadiah umroh, saat itu ia melihat anak kecil menangis terseduh-seduh di hadapan pisangnya yang jatuh. Ketika seorang penjual pisang goreng tersebut bertanya alasan anak itu menangis, kemudian dijawab bahwa pisang yang anak tadi beli jatuh, padahal pisang itu titipan dari orangtuanya yang sedang sakit. Kemudian oleh penjual pisang tadi anak itu diberinya uang sebesar 100 ribu rupiah. Betapa hebatnya penjual pisang tadi, padahal dalam sehari hanya mampu mengumpulkan uang 20-30 ribu saja. Ketika ditanya, penjual tadi hanya menjawab kasihan. Hatinya tersentuh, prinsipnya ialah ‘nanti akan ada rejeki lagi’. Ia selalu optimis dengan yang tidak terhingga itu.

            Kisah lain, tukang becak di Malang. Setiap harinya ia mangkal di samping hotel. Ia berniat bahwa setiap hari Jumat, siapapun orang yang naik ke becaknya itu akan digratiskan atau tidak diminta biaya sepeserpun. Suatu ketika ada seorang pengusaha yang naik becak itu dan minta diantar ke satu tempat. Saat akan membayar, tukang becak tadi menolak dan menjelaskan alasannya. Baginya, karena dirinya belum bisa bersedekah dengan memberikan uang, ia hanya mampu memberi pelayanan demikian, maka ia lakukan. Beberapa hari kemudian, karena pengusaha tersebut merasa terkesan dengan tukang becak tadi, ia mencari informasi apakah hal itu atas inisiasi tukang becak tadi ataukah atas persetujuan keluarga. Ternyata hal itu sudah disepakati sekeluarga. Maka, saat itu juga pengusaha tadi meminjam KTP mereka dan langsung mendaftarkan haji keluarga tersebut.

            Apa yang terjadi seperti demikian, ternyata mampu dilakukan oleh mereka yang secara umum bukanlah orang yang memiliki pengalaman pendidikan yang tinggi. Maka, semestinya seorang terpelajar, yang sekolahnya sudah lama, lebih bisa melakukan kebaikan-kebaikan yang semisal, atau bahkan lebih. ( ٱلْبِرُّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ…), ‘orang bertakwa ialah yang selalu berbuat kebaikan terus menerus, kapan dimanapun’.

Hikmah Al-Quran Diturunkan secara Bertahap

H.M. Wiharto, S.Sy., S.Pd., M.A.

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ ٱلْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَٰحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَٰهُ تَرْتِيلًا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil.” (QS. Al-Furqan/25: 32)

            Dahulu orang-orang kafir sering menanyakan banyak hal kepada Rasulullah, tidak lain untuk merendahkan beliau. Mereka berharap bahwa Rasulullah tidak mampu menjawab apa yang menjadi pertanyaan mereka. Sampai menyangsikan al-Quran yang tidak turun sekaligus dalam satu waktu. ‘Mengapa al-Quran tidak diturunkan sekaligus saja, kalau engkau memang benar-benar Rasulullah?’. Dari sini kemudian Allah membantah mereka melalui firman-Nya, QS. Al-Furqan/25: 32, bahwa al-Quran tidak turun sekaligus tidak lain untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW.

            Menurut para ulama ulumul quran, proses turunnya al-Quran melalui tiga tahapan. Dalam kitab al-Burhan fi ulumil Quran juga kitab Manahilul Irfan fi ulumil Quran menyebutkan tiga tahapan tersebut ialah: Pertama, turun sekaligus/ idzhar ke lauhul mahfudz. Tahap kedua, turun dari lauhul mahfudz ke baitul izzah, juga berwujud idzharul quran/ secara utuh. Tahap ketiga barulah diturunkan kepada Rasulullah dari baitul izzah tidak secara keseluruhan, tetapi berangsur-angsur dan bertahap selama kurun waktu sekitar 23 tahun, atau dalam suatu riwayat selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Adapun, al-Quran yang turun secara bertahap tersebut memiliki beberapa hikmah, antara lain:

  1. Meneguhkan Rasulullah dalam berjuang menghadapi orang-orang kafir Quraisy dan siapapun yang menentang dakwah beliau.
  2. Sebagai mukjizat. Mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah SAW, termasuk beragam pertanyaan yang bernada memojokan. Mereka menanyakan tentang alam ghoib, masalah haid, masalah hilal/ bulan sabit, hingga urusan ruh, serta hal-hal yang sangat rumit. Maka dalam QS. Al-Furqan/25 : 33, Allah berfirman yang artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
  3. Dalam rangka memelihara ayat-ayat-Nya. Dengan berangsur-angsur itulah pemahaman terhadap setiap ayat dapat dicerna dengan baik serta mudah untuk dihafalkan.
  4. Memberi solusi hukum. Wahyu al-Quran yang turun merupakan solusi umat yang diberikan secara bertahap. Contohnya dalam masalah penghapusan beberapa tradisi Arab seperti minum-minuman keras.
  5. Sebagai bukti bahwa al-Quran bukan rekayasa nabi atau manusia biasa. Akan tetapi benar-benar wahyu dari Allah SWT yang telah menciptakan segala yang ada di alam raya ini.

            Wahyu pertama kali yang turun yakni QS. Al-‘Alaq/96: 1-5, hal ini sebagai penanda diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Nabi/ Rasul. Ketika sedang bertahanuts di Goa Hira, Rasulullah didatangi oleh Malaikat Jibril as., kemudian disuruh membaca, “Iqra’!,”: bacalah hai Muhammad, lalu Rasulullah menjawab maa anaa biqari? (HR. Bukhari) atau maa aqra’? (HR. Muslim). Matan atau redaksi hadis tersebut terkesan kontradiksi, namun sejatinya tidak menurut ulama ahli hadis/ muhadisin. Jawaban Rasulullah dalam Shahih Bukhari menunjukkan bahwa Rasulullah sama sekali tidak bisa membaca apa yang diinginkan oleh Malaikat Jibril as., sementara dalam Shahih Muslim, menunjukkan bahwa Rasulullah ingin mencari tahu pembacaan apa yang dikehendaki Malaikat Jibril as. Selanjutnya, setelah Rasulullah menjawab demikian, Malaikat Jibril as. membacakan QS. al-’Alaq ayat 1-5 tersebut.

            Setelah selesai turun wahyu yang pertama, lalu tidak turun kembali selama tiga hari. Rasulullah mengalami rasa sakit, namun bukan karena suatu penyakit tertentu, melainkan karena dampak dari keterkejutan beliau saat didatangi oleh Malaikat Jibril as. yang notabene belum pernah bertemu sebelumnya. Melihat keadaan yang demikian serta pengalaman yang Rasulullah alami, maka istrinya yakni Khadijah ra. pergi menemui pamannya yang merupakan seorang ahli kitab yang taat (Waraqah bin Naufal).

Khadijah radhiyallahu ‘anha menyampaikan tentang keadaan Rasulullah, lalu dijawab bahwa suaminya telah dipilih Allah sebagai utusan-Nya yang terakhir. Mendengar hal demikian, Khadijah ra. bergegas pulang dan menyampikan informasi tersebut kapada Rasulullah. Baru setelah itu berkuranglah demam dan rasa sakitnya. Imam ar-Razi menyebutkan bahwa setelah peristiwa tersebut, sore hari ba’da asar datanglah Malaikat Jibril pada saat Rasulullah masih berbaring dan berselimut. Malaikat Jibril as. datang melaksanakan perintah Allah SWT dengan membacakan QS. al-Mudassir.

            Hai orang yang berselimut!. Maka pada saat ituNabi terjaga. Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Hal tersebut Nabi diminta untuk menanggalkan pakaian jahiliyah yang kadang membanggakan status sosial, keturunan. Namun sebelumnya Tuhanmu hendaknya diagungkan terlebih dahulu.

            Demikianlah bahwa kurikulum pertama risalah dakwah para Nabi termasuk Nabi Muhammad SAW ialah tentang masalah tauhid. Setelah itu malaikat Jibril pergi, kemudian datang kembali pada malam harinya pada hari yang sama. Muhammad Abduh menyebutkan malaikat tersebut datang pada waktu sepertiga malam terakhir, datang membawa wahyu ketiga, yakni QS. al-Muzammil.

            Dalam ayat tersebut dijelaskan salah satunya bahwa Nabi Muhammad SAW agar lebih bersiap diri bahwa sesungguhnya ucapan-ucapan yang berbobot akan turun terus menerus secara berangsur angsur (qaulan tsaqiilaa). Di sinilah dapat diketahui bahwa ternyata perintah qiyamu lail muncul lebih dulu dibandingkan dengan salat fardhu. Begitulah seterusnya selama kurang lebih 23 tahun, ayat-ayat al-Quran terus turun hingga mewujud dalam hafalan-hafalan Rasulullah dan para sahabat. Namun ayat-ayat al-Quran tersebut sampai wafatnya Rasulullah belum terhimpun dalam satu mushaf dan masih terpisah-pisah baik dalam pelepah kurma, batu, kulit binatang dan sebagainya.

            Adapun dalam proses pengharaman tradisi yang sudah mendarah daging seperti kebiasaan meminum minuman keras, al-Quran turun dalam empat tahap. Tahap pertama, Allah turunkan QS. An-Nahl/16: 47. Setelah itu muncul respon dari masyarakat yang kemudian menanyakan masalah khamr. Dijawablah oleh Allah yang kemudian diturunkan QS. Al-Baqarah/2: 219. Tahap ketiga yakni dengan menurunkan QS. An-Nisa/4: 43. Barulah tahap terakhir, tahap penghapusan tradisi minuman keras yang ada di masyarakat (Madinah) tersebut dengan turunnya QS. al-Maidah/5: 90. Betapa al-Quran turun menjawab pertanyaan secara bertahap. Hal itu menjadi perhatian bagi para dai/ mubaligh ketika menyampaikan agama kepada masyarakat. Agar memperhatikan aspek tahapan-tahapan tersebut, sehingga umat tidak lari. خَاطِبُ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ (Ali bin Abi Thalib): berbicaralah kepada audiens sesuai kadar akal mereka, sehingga mereka dapat memahaminya dengan mudah. Semoga para aktifis dakwah memahami bahwa dakwah adalah persoalan proses, tidak instan. The everything need a process, segala sesuatu membutuhkan proses dan tidak semudah membalik telapak tangan.

Ramadhan Mengajarkan Kepedulian Sosial

Oleh HM. Riduan, SE., M.Ag

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. al-Hasyr/59: 7)

            Negara Indonesia tengah menghadapi problem sosial ekonomi yang sangat serius, antara lain masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial. Pertama, bahwa kemiskinan di negeri yang kaya raya ini menurut data badan pusat statistik tercatat sekitar 10,12 %, tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2017 rata-rata nasional. Jumlah tersebut nampaknya tidak terlalu besar, namun ketika melihat lebih jauh mengenai indikator atau ukuran siapa saja yang tergolong miskin, maka hal itulah yang akan menjadi persoalan.

            Dalam mengukur tingkat kemiskinan, biasanya menggunakan standar pengeluaran perhari perkapita (perorang) satu bulan. Hari ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika ialah Rp. 14.100,- yang mana tren.nya ialah nilai tukar tersebut semakin hari semakin naik. Jika setiap penduduk pengeluaran setiap harinya katakanlah satu dolar, atau sekitar 14.000an rupiah. Padahal, bagi mahasiswa uang sejumlah itu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

            Sebuah keluarga dengan jumlah anggota keluarga empat orang, yakni seorang suami, seorang istri dan dua orang anak, perhari ialah 14.000 x 4 orang ialah 56.000 rupiah. Dalam hal ini, maka penghasilan 50.000 perhari dapat tergolong dalam kategori miskin. Padahal, masih sangat banyak masyarakat yang berpenghasilan di bawah itu. Ketika pengeluarannya dinaikkan menjadi 1,5 dolar atau setara dengan 21.000, maka jumlah rakyat miskin di Indonesia semakin besar.

            Jumlah penduduk Indonesia misalkan 250.000.000 jiwa, apabila 10% dari jumlah tersebut miskin, berarti terdapat sekitar 25 juta rakyat miskin. Jika ditambah setengah dolar lagi, maka akan semakin bertambah banyak yang masuk dalam kategori miskin, yakni sekitar 50 juta jiwa. Bagi mahasiswa, melihat hal itu harus benar-benar sadar dan mulai membangun kepedulian. Adapun, kaitannya dengan Ramadhan, maka pada dasarnya Ramadhan mengajarkan setiap muslim untuk membangun kepedulian sosial.

            Kedua, untuk mengukur tingkat kesenjangan, biasanya menggunakan apa yang disebut dengan indeks gini rasio. Indeks gini rasio yaitu mengukur tingkat kesenjangan antara orang yang kaya dengan orang yang miskin, antara orang yang berpenghasilan tinggi dengan orang yang berpenghasilan rendah. Sedangkan, Indonesia sendiri memiliki indeks gini rasio sebesar 3,93%. Mendekati angka 1 berarti semakin jelek, dan mendekati angka 0 artinya semakin baik. Angka 0 berarti tidak ada kesenjangan sama sekali. Tidak ada negara manapun yang menunjukkan bahwa indeks gini rasionya 0. Hal ini berarti kesenjangan sosial terjadi merata di semua negara.

            Kesenjangan sosial di Indonesia tergolong sangat tinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat penduduk yang berpenghasilan sangat besar. Namun, di lain sisi masih banyak penduduk yang berpenghasilan sangat kecil. Satu persen penduduk di Indonesia ada yang menguasai lebih dari 80 persen aset negara. Ketika coba diperas lagi, yang muslim ternyata hanya satu dua orang saja. Sehingga, apabila terdapat 50 orang terkaya di Indonesia, maka orang muslim yang kaya hanya ada dua orang.

            Negeri yang kaya raya ini hanya dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian menjadi satu keanehan tersendiri, bahwa dalam satu sisi tingkat kemiskinan tinggi, yakni antara 26-50 juta orang, akan tetapi di sisi lain masih ada mobil-mobil mewah bersliweran. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan benar-benar nyata adanya: yang miskin banyak, pembangunan yang menggusur masyarakat, namun ketika jalan (tol) sudah jadi justru yang menikmati hanya orang-orang yang berpenghasilan tinggi saja.

            Ketiga, tingkat pengangguran di Indonesia sekitar 5,5 %. Mereka yang berpendidikan hampir selalu tidak mendapatkan pekerjaan, karena serapan lapangan pekerjaan yang sangat rendah. Ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi para mahasiswa khususnya, apakah setelah lulus kuliah nanti akan menjadi pencari kerja atau yang lainnya. Fenomena yang terjadi ialah begitu wisuda, merasakan kebahagiaan sejenak lalu hari berikutnya, pagi-siang-sore membaca koran, mencari lowongan pekerjaan. Atau memfotokopi ijazah dan melegalisir sebanyak-banyaknya, lalu setiap hari mengirim lamaran kerja kemanapun, sambil berharap ada yang diterima lamaran kerja tersebut.

            Sesungguhnya puasa mengajarkan untuk dapat mengurai persoalan demikian. Meskipun ibadah puasa tergolong ibadah individu, akan tetapi kesempurnaan puasa ialah pada saat orang tersebut telah melakukan ibadah sosial lainnya, yakni berbentuk zakat fitrah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwasanya:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Dawud)

            Ketentuan tersebut menjadi personifikasi atau social care, yakni memberikan kepedulian sosial yang disarankan oleh Allah melalui ibadah puasa Ramadhan. Adakalanya banyak muslim hanya sampai pada ibadah zakat saja, sehingga zakat yang menumpuk itu masih belum dapat memberikan social effect atau tidak berdampak pada sosial kehidupan.

            Salah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Wawan Gunawan memiliki gagasan menarik tentang pengelolaan zakat, yang kemudian dituangkan dalam bentuk disertasi. Zakat ini tidak dibagikan langsung habis menjelang idul fitri, akan tetapi dikelola sedemikian rupa sehingga memiliki efek sosial yang lebih baik. Menurutnya, kekayaan yang menumpuk pada akhir Ramadhan semestinya tidak dihabiskan begitu saja hanya sekadar membangun rasa empati dalam berbagi kebahagiaan Idul fitri.

            Selama ini karena persepsinya harus habis, maka dipaksakan habis zakat tersebut sampai menjelang idul fitri. Padahal, orang yang menerima pemberian zakat fitrah itu sudah menumpuk banyak sekali. Hal yang dikhawatirkan bagi seorang mustahik ialah muncul mental konsumtif baru. Ketika pada awalnya tidak mempunyai sumber penghasilan, begitu mendapat jatah zakat fitrah, bahkan terkadang dibarengi dengan pemberian zakat mal (yang dipaksakan harus habis itu) maka timbullah perilaku konsumtif.

            Meskipun semua itu hak mereka, namun sebagai seorang muzaki atau amil yang diamanahi mengelolanya, seharusnya berfikir lebih konstruktif dan produktif lagi. Hal itu memang masih menjadi ranah kajian, tapi kalau konteksnya dalam rangka pemberdayaan, maka akan memiliki dampak yang baik.

            Dalam kaitannya dengan QS. Al-Hasyr/59: 7, Allah menginginkan supaya harta ini tidak berputar-putar di kalangan orang kaya saja,  كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ… Ketika terdapat 50 orang terkaya di Indonesia, sementara yang muslim hanya ada seorang, kemudian mereka mampu menguasai aset mayoritas yang ada di Indonesia. Maka sesungguhnya proses pembangunan di negara ini tidak sejalan dengan syariat Islam. Karena pada dasarnya syariat mengajarkan agar ada distribusi aset tersebut.

            Apabila orang yang kaya hanya ada sedikit, sementara orang yang miskin masih sangat banyak, hal tersebut akan sangat rentan terhadap timbulnya goncangan ekonomi. Itulah yang disebut dangan economic bubble/ ekonomi gelembung sabun. Terlihat sangat besar dan tumbuh besar, namun ternyata yang tumbuh hanya segelintir orang.

            Atau ada juga istilah piramida terbalik. Di atas terlihat besar, akan tetapi di bawah lebih kecil, sehingga berdirinya tidak kokoh. Begitu ada goncangan ekonomi sedikit, maka keadaan ekonomi dapat dipastikan akan lebih mudah goyah, bahkan mengalami krisis. Rakyat yang berjumlah besar ini tidak menikmati kue pembangunan yang proporsional. Demikianlah yang disebut dengan kesenjangan ekonomi.

            Ramadhan mengajarkan setiap muslim untuk dapat memiliki aksi ke arah social care/ peduli kepada kehidupan sosial. Sehebat dan sebaik apapun Ramadhan yang dilakukan secara individu, tetap dinilai tidak sempurna jika tidak diiringi dengan ibadah sosial yang semakin baik. Kepedulian kepada masyarakat merupakan wujud dari pelajaran yang bisa dipetik dari bulan Ramadhan.

Beragama dengan Dasar Pemahaman yang Benar

H. Untung Cahyono, M.Hum

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’/4: 115)

            Bulan suci Ramadhan memiliki dampak yang sangat positif di lingkungan masyarakat. Salah satunya ialah semangat berjamaah kembali muncul, dan hampir semua masjid terisi penuh. Kuantitas tersebut harapannya diikuti dengan peningkatan pemahaman ajaran Islam, dengan harapan kualitas kehidupan akan semakin baik, karena didasari dengan pemahaman dan pengertian yang benar.

            Hal itu menjadi suatu bagian yang penting dan perlu ditegaskan, karena ketika seorang muslim beragama namun tidak menjalaninya sesuai dengan pengertian ajaran Islam yang benar, tentu akan sangat beragam apa yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri. Oleh karenanya, kesempatan emas di bulan suci Ramadhan harus terus dimanfaatkan untuk menambah pemahaman keislaman. Sehingga berpeluang menjadi muslim yang sebaik-baiknya. Semakin bertambah usia, harapannya apa yang dilakukan semakin bermanfaat.

            Kesalehan tidak hanya diukur dari pelaksanaan ibadah wajibnya saja, lebih dari itu bahwa setelah melaksanakan ibadah yang wajib, harus mampu memberikan warna nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sehari-hari. Dari sini timbul satu pertanyaan yang sangat penting, apakah umat Islam sudah memiliki satu pandangan, visi, harapan dan semangat untuk menjalani kehidupan ini?

            Jawaban dari pertanyaan di atas dapat langsung dilihat dalam realita yang ada. Misalnya ketika suatu masyarakat tertentu merasa belum mempunyai tempat ibadah yang memadai, lalu muncul semangat yang sama bahwa mereka harus membangun tempat ibadah yang representatif. Maka, karena mereka mempunyai spirit dan harapan yang sama, terwujudlah bangunan tempat ibadah yang diharapkan itu.

            Umat Islam diharapkan tidak terbatas sekedar memikirkan pembangunan tempat ibadah saja, akan tetapi tidak kalah penting dari itu ialah bagaimana agar umat muslim memiliki satu pandangan dalam mengelola sumber daya manusia (SDM), bahkan sumber daya alamnya (SDA) yang juga sangat melimpah di negeri ini. Jika hal tersebut dikerjakan dengan satu semangat demi kemajuan bersama anak bangsa, tentu tidak ada hal yang trrjadi di luar yang diinginkan. Seperti terjadinya kasus korupsi, manipulasi, perilaku curang, dan seterusnya.

            Untuk menuju ke arah tersebut membutuhkan satu modal, yakni memiliki pemahaman dan pengertian dasar pelaksanaan ajaran Islam yang benar. Forum seperti kuliah subuh, kultum menjelang berbuka puasa, tausiyah menjelang/ setelah tarawih, khutbah jumat, pengajian-pengajian akan sangat bermanfaat. Selain itu pendidikan formal maupun non formal yang dikelola stiap hari. Semua itu menjadi bagian penting sebagai modal untuk dapat memberikan pemahaman Islam yang benar. Sehingga semangat, harapan, doa, kerja serta evaluasinya menjadi satu dasar dan satu pandangan yang benar.

            Namun, apabila seorang muslim belum mempunyai modal dasar yang tepat, maka akan sulit untuk dapat memiliki perubahan ke arah yang lebih baik. Contoh kecil misalnya dalam sebuah keluarga besar yang tinggal di satu tempat yang mungkin kurang nyaman, lalu mereka bermusyawarah untuk berpindah tempat. Jika mereka tidak memiliki satu pandangan, maka tidak akan terjadi perpindahan tempat yang mereka bisa tinggal bersama.

            Ketika menyangkut hal yang lebih besar dari itu, seperti kepentingan umat Islam dalam hal kepemimpinan, bagaimana memilih pemimpin hingga proses memilih pemimpin. Hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting. Apakah umat Islam sudah benar-benar memahami masalah kepemimpinan, bagaimana tipe ideal seorang pemimpin, serta cara untuk dapat mewujudkannya. Apabila sudah mempunyai pemahaman yang sama mengenai pemimpin yang ideal, jujur dalam proses pemilihan, bersikap dewasa, cermat, tidak sembarangan, serta tidak mudah dipengaruhi. Maka pemimpin yang diharapkan akan dengan mudah diperoleh dan menjadi kebanggaan bersama. Bukan sebaliknya, terjadi chaos antara beberapa pihak yang belum siap menerima kekalahan.

            Kepemimpinan dalam setiap level sangat menentukan, baik di tingkat jamaah, komunitas, kelompok, masyarakat atau bahkan sampai di tingkat yang lebih besar yaitu bangsa. Pimpinan suatu jamaah merupakan gambaran mentalitas pemahaman dan kecakapan rakyatnya. Apabila rakyatnya pintar dan cerdas, tidak mudah tergoda oleh beragam tawaran ‘semu’, maka bisa dipastikan pimpinannya juga sesuai harapan bersama.

            Jadi, beragama dengan dasar pemahaman yang benar menjadi bagian yang sangat menentukan perjalanan orang tersebut, baik dalam keluarga, jamaah maupun komunitasnya. Setiap anggota keluarga yang mempunyai kesadaran yang sama akan terjalin sinergi. Maka dalam Islam terdapat konsep bahwa mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim dan hal itu sebagai modal dasar untuk mewujudkan dasar pemahaman agama yang benar sehingga tidak salah arah.

Mewaspadai Sikap Hajr

Oleh H. Hendra Darmawan. S.Pd., MA

وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al-Furqan/25: 30).

            Salah satu ibadah sunah di bulan Ramadhan ialah bertilawah, mentadaburi al-Quran atau menghayati pesan-pesan yang ada di dalam al-Quran. Ada yang disebut dengan samudera al-Quran pada saat membacanya, memasuki relung-relung pesan tanda kebesaran Allah dan mengikuti bagaimana al-Quran, al-Islam dan mendakwahkan Islam itu sendiri.

            Mentadaburi al-Quran merupakan satu hal yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Orang yang enggan melakukannya perlu instropeksi diri, sebab terdapat ancaman bagi mereka yang enggan bertadabur, yakni hati yang terkunci. أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا, maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad/47: 24).

            Rasulullah dalam QS. Al-Furqan/25: 30 di atas, pernah mengadu kepada Allah, bahwasanya umatnya telah berbuat hajr/ membelakangi al-Quran, artinya tidak menjadikannya petunjuk, pedoman sehingga mengikuti apa yang al-Quran tuntunkan. Hajr secara bahasa berarti mempersempit atau menghalangi. Adapun dalam penjelasan Ibnu Katsir, mereka yang memiliki sifat hajr/ mahjura ialah;

  1. Mereka yang enggan membaca al-Quran.
  2. Mereka yang tidak suka menghayati makna al-Quran.

            Mungkin mereka sudah berada pada tahapan membaca dengan baik, tapi perlu meningkatkannya dengan mempelajari/ menghayati makna al-Quran. Pesan al-Quran yang luas itu masih banyak yang belum diamalkan, maka teruslah mengevaluasi diri.

            Tidak cukup membaca secara literal, akan tetapi juga perlu mengetahui maknanya. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu” (QS. Al-Isra/17: 14). Cukuplah al-Quran sebagai evaluasi/ hisab. Selain itu juga menjadikannya sebagai sumber hukum yang tertinggi, sehingga harus menghayatinya.

  • Mereka yang enggan mengamalkan al-Quran.

            Sebagai wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan ialah dengan mengamalkannya, bukan malah berpura-pura atau menarik diri. Mengamalkan ilmu diharapkan akan mendapat inspirasi dan ghirah yang dapat menggerakkan diri. Perlu memperjuangkan dan mendakwahkan nilai-nilai al-Quran, masing-masing harus menjadi pejuang untuk tegaknya nilai-nlai al-Quran. Dengan demikian dapat termasuk ke dalam golongan syuhada ‘ala naas/ saksi peradaban. Bahwa al-Quran bukan hanya sesuatu yang abstrak, akan tetapi bisa menjadi yang konkrit dan manfaatnya bisa dirasakan.

            Dalam tafsir al-Azhar, terdapat suatu kisah yang menceritakan seorang nahkoda yang berlabuh dengan seorang non-muslim, selama belajar ia membaca terjemah al-Quran berbahasa Inggris, sampai pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam, hujan, banjir, air bah, laut, dan lain-lain. Pada saat banyak orang mempertanyakan apakah al-Quran kalamullah atau kalam nabi, nahkoda tadi berbeda pandangan. Sekalipun ia non-muslim, namun rasa pengetahuan yang dimiliki lebih besar. Sampai pada kesimpulan bahwa al-Quran mustahil sebagai kalam nabi, kapan nabi berlayar baru menulis. Maka pada akhirnya ia semakin yakin bahwa kitab tersebut bukan produk manusia, melainkan benar-benar firman Allah, hingga akhirnya ia berikrar dan masuk Islam.

            Demikian itu merupakan penjelasan mengenai hajr. Ada sifat lain yang juga harus dihindari oleh setiap muslim, yaitu haraj (orang yang menghina al-Quran). Di tengah masyarakat terdapat orang yang berfikiran liberal, yaitu mereka yang menghina al-Quran. Maka, kedua sifat ini harus dihindari, tidak mudah tergoyah dengan ajaran baru yang justru hal tersebut adalah reproduksi perilaku umat terdahulu.

Menjadi Manusia yang Bernilai

Oleh Rahmadi Wibowo, Lc. MA.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (QS. Al Baqoroh/2: 30)

            Manusia diciptakan sebagai khalifah oleh Allah memiliki kewajiban, selain beribadah kepada Allah juga menjaga kemakmuran di muka bumi. Manusia memiliki nilai dan menjadi berharga karena akhlak yang dimilikinya. Sehingga, apabila seseorang telah kehilangan akhlak, maka hilang juga nilai serta harganya.

            Sebagai contoh, misalnya hendak mengetahui harga seekor binatang. Semua sudah mafhum bahwa gajah berharga karena gadingnya, rusa berharga karena tanduknya, dan burung berharga karena keindahan kicauan suaranya. Sehingga, jika ada gajah tidak bergading, rusa tidak bertanduk, dan burung tidak bersuara, maka binatang-binatang itu tiada lagi harganya.

            Oleh karena manusia itu dinilai dan menjadi berharga karena akhlaknya, maka kepada siapa seorang Muslim harus berakhlak?

  1. Kepada Allah.

Allah sebagai Rabb sekalian alam memiliki hak untuk diibadahi dengan benar oleh para makhlukNya. Adapun seorang manusia yang menginginkan dirinya menjadi berharga di hadapan Allah, maka harus memiliki akhlak yang baik, di antaranya:

  1. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

      Baik secara dhohir/ terang-terangan, ataupun secara khofi/ samar-samar. Perbuatan menyekutukan Allah disebut juga syirik. Termasuk syirik yang dhohir misalnya menyembah pohon, gunung, berhala dan segala sesuatu selain Allah. Sedangkan, yang termasuk syirik khofi misalnya melakukan amal ibadah hanya sekedar untuk memperoleh pujian orang lain atau agar didengar orang lain. Selain itu, meyakini suatu benda yang dapat mendatangkan mudharat ataupun manfaat. Misalnya, dengan menggunakan cincin akik, maka rezeki pasti bertambah dan dapat mendatangkan banyak kebaikan.

  • Yang disembah hanya Allah, baik dalam hal ucapan maupun perbuatan.

      Sebagai seorang muslim, setidaknya menyembah Allah dalam hal ucapan paling minimal sebanyak 17 kali dalam sehari. Hal ini karena minimal orang yang sholat kemudian membaca QS. Al Fatihah-nya sebanyak 17 kali, dapat diperhatikan potongan ayatnya ke-lima,   إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan). Sedangkan, menyembah kepada Allah secara perbuatan, seperti mendirikan ibadah sholat. Akan tetapi, perlu diwaspadai, karena boleh jadi dalam hal perbuatan ternyata masih ada yang menyembah nafsu, dunia, harta dan segala sesuatu selain Allah.

  • Kepada sesama mahluk.

            Manusia merupakan makhluk Allah, sama seperti malaikat, jin, tumbuhan, binatang dan semua yang ada di alam raya ini. Adapun, yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain ialah bahwa manusia dikaruniai akal. Manusia itu sendiri akan berharga dan bernilai ketika ia memiliki akhlak yang baik kepada sesama makhluk. Menunjukkan akhlaknya kepada sesama, antar tetangga, teman bahkan kepada non muslim sekalipun. Selain itu, kepada alam sekitar, tumbuhan, hewan bahkan air sekalipun.

            Muhammadiyah telah menerbitkan sebuah buku yang menarik: “Fikih Air”. Dijelaskan bagaimana akhlak seseorang yang seharusnya terhadap air, selain itu terdapat konsep air, bahwa apabila disana terdapat air, maka disana terdapat kehidupan. Sebaliknya, jika di sana tidak ada air, maka tidak ada kehidupan.

            Di antara ciri akhlak terhadap air ialah menggunakannya seefisien mungkin. Penelitian salah seorang dosen di UMY menunjukkan bahwa setiap orang yang melakukan wudhu dapat menghabiskan paling minimal tiga liter. Dari jumlah tersebut, ternyata yang benar-benar digunakan untuk membasuh dan mengusap anggota wudhu hanya 1/3-nya saja. Sehingga, sisanya terbuang sia-sia. Misalnya, jamaah Masjid IC UAD sejumlah 1000 orang, maka ini berarti dibutuhkan air sebanyak 3000 liter, namun 2000 liter di antaranya terbuang sia-sia. Untuk itulah, perlu kesadaran diri untuk mulai merubah kebiasaan menyia-nyiakan air.

            Jadi, ketika masih ada seorang yang enggan menyembah Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, masih menyekutukan Allah dalam amal ibadah, masih sibuk mencari penilaian orang lain, masih suka mencemari sungai dan menyia-nyiakan air dan seterusnya, maka sejatinya orang tersebut tidak memiliki nilai.