Islam dan Perdamaian

Oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA.


كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Ali Imron/3: 110)

            Dalam kondisi apapun, seyogyanya seorang Muslim senantiasa bersyukur, karena Allah Ta’ala selalu melimpahkan nikmatNya yang apabila coba dihitung, maka siapapun tiada yang mampu menghitungnya. Beberapa hari menjelang Ramadhan, terselenggara sebuah acara konferensi di Istana Bogor dengan nama a Trilateral Ulema Conference of Indonesia, Afghanistan and Pakistan, tema yang diusung ialah “Islam as Rahmatan lil Alamin, Peace and Stability in Afghanistan”. Konferensi yang dihadiri oleh para ulama dari tiga negara, Indonesia, Pakistan dan Afganistan.

            Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia yang dimotori oleh Wapres, Jusuf Kalla dan Menlu, Retno Marsudi. Dari Indonesia hadir 15 orang, terdiri dari 14 utusan MUI yang juga mewakili berbagai ormas, dan seorang mubaligh Indonesia di Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali. Dari Afganistan hadir 19 orang, dan dari Pakistan hadir sekitar 17 orang. Konferensi berjalan selama dua hari.

            Adapun pokok permasalahan yang menjadi bahasan ialah mengenai perdamaian dan persaudaraan dalam Islam; violent extremism (ekstrimisme berkekerasan) dan al-i’tidal (toleransi); peran ulama dalam menciptakan perdamaian; peran negara dalam menciptakan perdamaian; dan langkah maju ke depan dalam mewujudkan perdamaian.

            Indonesia menyadari sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga mengambil bagian dalam ikutserta mendamaikan saudaranya yang berseteru menjadi tanggungjawab moral. Dalam konferensi tersebut yang diundang ialah ulama, hal ini karena suara mereka masih didengar oleh masyarakat, atau fatwa para ulama tersebut masih digunakan dalam beberapa aspek perikehidupan bermasyarakat, seperti dalam bidang hukum maupun bisnis. Sehingga, kesepakatan atau keputusan antar ulama dalam konferensi tersebut akan dijadikan payung dalam perundingan perdamaian nantinya.

            Dalam hal ini, mereka menyepakati bahwa Islam adalah agama perdamaian. Sesuai dengan namanya, Islam berarti perdamian. Nabi Muhammad datang membawa agama Islam untuk menggambarkan esensi yang paling mendalam, bahwa ajaran yang dibawa yakni agama yang mengajarkan tentang perdamian.

            Islam berasal dari kata  سَلِمَyang artinya selamat, bebas dan damai. Dalam kaidah tata bahasa Arab berbunyi:   سَلِمَ – يَسْلَمُ – سِلْمًا – سَلْمًا – سَلاَمَةً yang berarti damai. Kemudian, terdapat istilah   السَّلاَمُ الْعَلَمِyang diartikan perdamaian dunia.

            Kata سَلَّمَ  berarti menyerahkan, hal ini berarti melepaskan sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur pembebasan. Maka, dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan perdamaian yang di dalmnya terdapat prinsip pembebasan, baik dari rasa takut, lapar maupun ketidakamanan. Sebagaimana dalam firman Allah, QS. Al Quraisy/106: 4,

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

Berdasarkan ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam hidup yang damai itu sendiri, terbebas dari berbagai rasa ketakutan, kelaparan dan ketidakamanan. Itulah intisari dari ajaran Islam yang terkadang banyak umatnya sering melupakan.

            Nabi SAW dalam hadis mendefinisikan bahwa: المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (seorang muslim itu ialah apabila dia menjadi sumber perdamaian bagi sesama manusia yang lain, sehingga mereka terbebas dari kejahatan lidah dan tangannya). Bahkan pada era milenial seperti sekarang ini, lidah juga sudah berpindah ke jari-jari tangan, pencat-pencet smartphone, namun aktivitas yang dilakukan justru menyakiti orang lain.

            Selain memiliki maksud perdamaian, juga berarti pembebasan. Dari kata سَلِمَ juga ada kata سُلَّمٌ, yang berarti tangga. Tangga ialah alat untuk naik ke tempat yang lebih tinggi, kemudian dengannya dapat melihat wawasan luas serta dapat melihat sekeliling. Di samping itu juga bermakna selamat dari marabahaya, misalnya karena dikejar anjing galak, kemudian naik tangga. Sehingga, di dalam kata Islam saja sudah terdapat unsur keselamatan, perdamaian, pembebasan serta pandangan/wawasan yang luas.

            Salam seorang muslim, ketika bertemu satu dengan yang lain ialah السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ yang artinya ‘damai buat anda’, atau yang lebih baik dari itu dengan menambahkan ungkapan warahmatullahi wabarokaatuh (rahmat dan barokah dari Allah). Ketika kalimat tersebut sudah terucap, berarti seorang muslim telah menjamin keselamatan orang yang ada di hadapannya. Kedamaian orang tersebut dijamin, karena telah mengucapkan janji, yaitu السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ.

            Namun terkadang masih terdapat paradok, ketika ada seorang muslim menagih hutang kepada saudaranya, kemudian ia mengucapkan salam sambil mengetuk pintu. Lalu setelah empunya rumah keluar untuk memberi pintu, tamu tadi kemudian berkata keras atau bahkan marah dan mencaci sambil menagih hutang yang belum dibayar. Artinya, fenomena tersebut bertentangan dengan ucapan salam tadi. Karena pada awalnya ia telah berjanji datang membawa kedamaian, tapi malah mencak-mencak.

            Kata سَلِمَ atau Islam, juga menjadi salah satu nama Allah SWT, yakni السَّلاَمُ yang berarti Maha Pemberi Keselamatan. Setiap muslim setiap kali mengakhiri shalatnya juga dengan menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri sambil mengucap salam. Maka, sholat itu merupakan mi’roj, atau dalam riwayat disebutkan ashsholaatu mi’rojul mu‘min. Setidaknya seorang mukmin naik jiwanya kepada Tuhannya, lalu kembali lagi ke dunia. Menutup dengan salam, menyebarkan perdamaian.

            Sebuah ironi, agama yang mengajarkan perdamaian, justru di sebagian belahan bumi umatnya justru tidak mencerminkan perilaku yang diajarkan oleh Rasulullah dan yang menjadi esensi agama yang dianutnya, seperti bom bunuh diri, perang antar saudara. Hal itu boleh jadi ada yang salah dalam beragama, mungkin secara formalitas sudah menjalankan ibadah, sholat, puasa, zakat, dll. Namun ibadahnya itu hanya sebatas pada formatnya saja, sementara sisi substansi dan semangat dari ibadah yang dilakukan itu kurang tersentuh. Melaksanakannya secara mekanistik formal/ karena kebiasaan saja, akan tetapi tidak menghayati esensi dalam ajaran tersebut. Maka penting bagi setiap muslim agar selain mempraktikan format yang diajarkan Nabi juga yang lebih penting ialah menghayati esensi dari ibadah tersebut. Seorang Muslim harus selalu damai dan menjadi sumber perdamaian bagi orang di sekitar.