Berbuat Ihsan Menuju Masyarakat yang Berkemajuan
Oleh Erik Tauvani Somae, S.H.I., M.H.I.
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْأَاخِرِ وَٱلْمَلَٰئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّائِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَاءِ وَٱلضَّرَّاءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah/2: 177).
Setiap bulan Ramadhan selalu diingatkan bahwa tujuan berpuasa ialah bukan untuk berlapar-lapar dan berdahaga-dahaga, sesungguhnya hal tersebut hanya sebagai suatu pendidikan agar menjadi orang-orang yang bertakwa. Menurut para ulama, definisi takwa ialah اِمْتِثَالُ أَوَامِرِاللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ)) melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Kalimat tersebut singkat akan tetapi menyeluruh, dan ketika membuka QS. Al-Baqarah/2: 177, maka dalam ayat tersebut juga dijelaskan hakikat takwa.
Dalam ayat tersebut, takwa diartikan sebagai orang yang benar. Sehingga menjadi orang yang benar itu menjadi syarat mutlak agar orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang bertakwa. Adapun orang yang benar ialah apabila jika menyatu dalam dirinya tiga unsur pokok dalam agama Islam. Maka, apabila belum menyatu ketiga unsur pokok tersebut, berarti belum dapat dikatakan sebagai orang yang benar, dan apabila belum benar maka belum dikatakan sebagai orang yang bertakwa ketiga hal tersebut ialah iman, Islam dan ihsan.
Sekuat apapun tingkat keimanan seseorang dan sedemikian rupa ia melaksanakan ibadah (zakat, salat, puasa dan sebagainya), namun ketika belum memiliki ihsan, maka sama saja orang tersebut belum tergolong sebagai orang yang benar, dan hal ini berarti orang tersebut belum bertakwa. Pada hakikatnya, ihsan ialah ketika keimanan dalam hati terpatri dengan kuat lalu diwujudkan dengan amal dzahiriyah, yang dengannya harus berdampak positif bagi diri sendiri dan orang sekitar.
Seorang yang beriman dan taat, akan tetapi ketika tetangga tempat ia tinggal belum merasa aman atau setidaknya merasakan manfaat dengan keberadaan dirinya, maka pada dasarnya orang tersebut belum ihsan. Maka, ihsan menuntut adanya kemampuan bergaul, hidup bersama serta menjadi pribadi yang menyenangkan. Orang yang tidak mampu menyatu dengan komunitas, sesungguhnya ia tidak siap dengan adanya perbedaan. Ketika orang tersebut susah bergaul, maka implementasi ihsan juga akan mengalami kesulitan.
Demikianlah tujuan takwa, maka dapat diketahui bahwa syariat ibadah puasa adalah untuk memperbaiki kehidupan. Begitupun al-Quran diturunkan juga dalam rangka memperbaiki kehidupan dunia akhirat. Untuk itulah dalam ayat-ayatnya menemukan fungsinya, yakni هُدًى لِّلنَّاسٍ وَّبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ)…) menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Sehingga jika seseorang mendapatkan petunjuk itu, maka kehidupannya akan menjadi lebih baik. Namun, ketika fungsi al-Quran sebagai hudan, tibyan dan furqan tidak ada, maka sama saja al-Quran tersebut tanpa ruh, padahal ia diturunkan untuk memperbaiki kehidupan atau membangun peradaban.
Bangsa Arab sebelum al-Quran turun, mereka adalah bangsa jahiliyah. Namun bukan berarti tidak mengetahui apa-apa, bangsa Arab ketika dilihat dari sudut pandang intelektual, dapat dikatakan mereka adalah masyarakat yang cukup intelek, mereka bahkan mampu membaca dan menulis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya budaya syair yang berkembang, bahkan syair terbaik akan digantung pada dinding Ka’bah. Begitupun dalam hal ekonomi, mereka dikenal sebagai masyarakat yang suka berdagang, dalam hal kepemimpinan di sana terdapat sistem kekerabatan atau kesukuan, berkafilah-kafilah. Selain itu dari segi militer, setiap suku dari mereka memiliki kemampuan berperang hingga memiliki strategi peperangan.
Sehingga, dalam hal ini yang dimaksud dengan bangsa Arab berada dalam keadaan jahiliyah, ialah terbelakang secara moral dan spiritual. Sekalipun tinggi sastranya, ekonominya berjalan, kemampuan militer juga tersedia, akan tetapi dalam waktu yang sama mereka terus berpecah belah, saling bertikai dan mengunggulkan kabilah/ kelompoknya. Dalam kehidupan bermasyarakat sering bertikai, dalam melakukan perdagangan tidak jujur, suka memonopoli perdagangan, menganggap bahwa perempuan adalah sebuah aib. Mereka juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan mereka, akan tetapi mereka membuat tuhan-tuhan tandingan. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tersebut benar-benar terbelakang, baik secara moral maupun spiritual.
Allah mengutus Rasulullah SAW dan menurunkan kepadanya al-Quran ialah untuk mengubah keadaan tersebut, dari kegelapan menuju cahaya. Apabila bertikai merupakan suatu kegelapan, maka cahayanya ialah bersatu, jika memonopoli perdagangan adalah kegelapan, maka kejujuran ialah cahayanya, ketika pertikaian adalah kegelapan, maka persatuan dan kesejahteraan bagi semua merupakan cahaya. Apabila berhala-berhala sebagai kegelapan, maka tauhid yang murni ialah cahayanya.
Al-Quran diturunkan untuk membangun peradaban yang tujuannya ialah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Adapun, masyarakat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ””. 1) lahum ajruhum ‘inda robbihim, maknanya ialah hidup sejahtera; 2) walâ khaufun ‘alaihim, maknanya ialah damai; dan 3) wa lâhum yahzanûn, yaitu bahagia. Apabila ketiga hal tersebut terwujud, maka masyarakat itu sudah baik, berkemajuan dan berkeadabaan.