Tadabur Quran Surah At-Tin

Oleh Budi Jaya Putra, S.Sy., S.Th.I., M.H.

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ * وَطُورِ سِينِينَ * وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ*

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ * ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ * إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ *

 فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ * أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ*

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2), dan demi kota (Mekah) ini yang aman (3), Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (4). Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) (5), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (6). Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?(7) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?(8).

(QS. at-Tin/95: 1-8)

Karena pendeknya suatu surat dalam Al-Quran, biasanya orang lupa untuk belajar memahaminya, atau karena pada dasarnya memang sungkan dan tidak punya keinginan. Salah satunya yaitu QS. At-Tin, yang menjadi salah satu surat favorit ketika salat tarawih. Untuk itulah, pembahasan ini mencoba mentadabburi apa yang terkandung dalam QS. At-Tin. Surat ini diawali dengan tiga buah sumpah dan dua huruf taukid, atau dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan huruf penegasan. Tiga hal yang dijadikan sumpah oleh Allah ialah: buah tin-buah zaitun, bukit tursina dan negeri yang aman.

            Dalam kitab tafsir Ibnu Kasir, buah tin melambangkan Baitul Maqdis dan juga melambangkan kenabian, yaitu Nabi Isa as. Bukit tursina, yang mana di sana terdapat kisah Nabi Musa as. Kemudian selanjutnya “baladun amin” yaitu kota Mekah sebagai lambang kenabian Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang muslim seharusnya tertarik dengan adanya tiga lambang tersebut. Dengan tiga hal tersebut dengannya Allah jadikan sebagai sumpah, hal itu mengindikasikan adanya sesuatu yang harus diperhatikan.

            Ayat selanjutnya diawali dengan dua buah huruf taukid, yaitu huruf lam dan kata qad yang berarti sesuatu setelahnya pasti terjadi/ akan terjadi. “sungguh-sungguh, manusia itu diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk”. Hal ini menunjukkan suatu pemberitahuan, penjelasan dan peringatan dari Allah SWT bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya bentuk.

            Bertafakurlah sejenak dengan beberapa binatang yang biasa dijumpai. Ada kambing, sapi, kuda, kucing. Semua memiliki empat kaki dan selalu berjalan menunduk. Setelah itu perhatikanlah manusia yang dengan dua kakinya dapat tegap berdiri dengan gagah, dua mata yang begitu sempurna dan indah. Telinga kanan dan kiri, tangan dan kaki yang begitu sempurna. Dan satu hal yang membedakan antara manusia dengan mahluk yang lain ialah bahwa manusia dikaruniai akal. Dengan akal yang Allah berikan untuk manusia, maka menjadikannya mampu berfikir, sehingga mereka dapat membuat sesuatu yang sejatinya tidak dimilikinya.

            Manusia bisa terbang tanpa harus mempunyai sayap, dengan akal pikirannya ia membuat pesawat, sehingga dapat terbang. Manusia bisa berjalan lebih cepat, karena dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat membuat motor, mobil, kereta, kapal dan sejenisnya. Mereka juga dapat masuk ke dalam lautan yang dalam tanpa harus memiliki insang seperti ikan, dengan ilmu yang dimiliki dapat membuat kapal selam. Sungguh luar biasa, begitu sempurnanya manusia ketika diciptakan.

            Akan tetapi ayat tersebut dilanjutkan, ‘kemudian manusia dikembalikan ke dalam keadaan yang selemah-lemahnya, dalam keadaan yang buruk’. Adapun alasan manusia dikemblikan ke tempat yang buruk ialah karena manusia tidak melaksakan apa yang diperintahkan Allah. Lihatlah dengan akal pikiran yang luar biasa dan anggota tubuh yang luar biasa, akan tetapi masih banyak manusia seperti bukan manusia. Sebagaimana dalam QS. al-A’rof/7: 179, bahwa ada di antara mereka yang seperti binatang, bahkan lebih rendah dari itu. Hal tersebut karena mereka tidak menggunakan apa yang Allah karuniakan dengan sebaik-baiknya.

            Terdapat salah satu falsafah kehidupan atau kata mutiara: ‘tiada harimau yang memakan anaknya sendiri’, namun sekarang banyak terjadi orangtua/ ayah yang tega menzinahi anaknya sendiri, bahkan ada juga yang menjualnya lalu uangnya digunakan untuk berfoya-foya. Mereka itulah yang akan kembali ke tempat yang hina sebab hidup tidak sesuai dengan kehendak Allah. Maka, keterangan selanjutnya ialah, ‘kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh’.

            Ada golongan manusia yang tidak akan kembali ke tempat yang buruk itu, yaitu bagi mereka yang memiliki dua syarat, yakni iman dan amal saleh. Orang tersebut tidak akan kembali kepada kesesatan, kehancuran, atau tempat yang serendah-rendahnya. Dua syarat itu juga disebutkan dalam QS. Al-’Asr. Diterangkan bahwa manusia berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh.

            Dari informasi tersebut, maka kunci hidup agar tidak terpuruk ialah segera memeriksa tingkat keimanan, bagaimana hubungan dengan Allah. Masalah iman, ketika dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah/2: 183, menurut Ibnu Abbas ra. apabila dalam suatu ayat terdapat lafadz yaa ayyuhalladzina amanu, hal tersebut menunjukkan ada sesuatu yang khusus dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang beriman saja, lain tidak. Bahkan, sekalipun orang yang mengaku sebagai muslim sekalipun.

            Sebab dalam ajaran Islam, ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni Islam, iman dan ihsan. Islam sebagai syariat, syarat masuknya mudah, tetapi untuk dapat melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah dalam syariat Islam tersebut, dibutuhkan keimanan sampai mencapai derajat ihsan atau takwa.

            Jika puasa tidak dilandasi dengan iman, maka tidaklah sempurna apa yang dikerjakan. Misalnya seperti yang biasa terjadi ketika bulan Ramadhan, ketika masih awal warung dipinggir jalan masih sepi dan tidak banyak dijumpai orang yang berani makan dipinggir jalan. Namun ketika sudah masuk pertengahan akhir, orang tidak lagi merasa malu. Bagi yang perempuan mungkin dengan mudah beralasan ia sedang berhalangan. Tapi bagi mereka yang laki-laki: bukan orang yang sakit, musafir, pekerja berat ataupun tua renta, yang merupakan rukhsoh bagi orang yang tidak berpuasa. Tapi masih saja tidak menjalankan ibadah puasa.

            Selain itu ada yang berusaha mencari-cari tempat persembunyian. Pernah suatu ketika dijumpai terdapat bungkus makanan di kamar mandi. Mereka lebih malu di hadapan manusia daripada kepada Allah, tidak bisa dibayangkan bagaimana orang tersebut makan di kamar mandi. Seperti itulah mereka yang tidak memiliki keimanan yang baik. Dalam satu hadis kudsi disebutkan bahwa puasa itu untuk-Ku (Allah), karena hakikatnya yang mengetahui seseorang sedang berpuasa atau tidak hanyalah Allah dan dirinya sndiri.

            Orang akan masuk pada tahapan yang lemah dan dalam keadaan seburuk-buruknya ketika dia tidak mau beriman dan beramal saleh. Adapun, Ibnu Abbas ra. menafsirkan ayat ini bahwa manusia diciptkan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Melewati masa kecil, tumbuh menjadi muda, dewasa lalu dapat berbuat baik sebanyak-banyaknya. Namun, ketika menginjak masa tua dan dalam keadaan yang selemah-lemahnya, sebagai seorang yang tua renta.

            Apabila saat masih muda mampu melakukan perbuatan yang baik/ amal saleh, biasanya ketika sudah tua akan mampu berbuat yang baik juga. Lihatlah di sekitar, bagaimana keadaan orang tua tersebut. Dapat dipastikan, ketika ada orang tua yang malas ke masjid, sudah barang tentu ketika masa mudanya juga malas. Meski, tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa yang meskipun masa mudanya malas, namun ketika sudah tua justru sangat rajin beribadah.

            Dengan demikian, mulai sekarang siapapun yang berada dalam usia muda, pergunakanlah dengan hal yang baik, memperbanyak amal saleh. Sehingga ketika tua nanti, ketika dalam keadaan asfala safilin, tidak dalam kondisi yang terpuruk atau dalam keadaan lemah yang miskin dengan iman dan amal saleh. Siapa yang menanam dialah yang akan memanen. Masa muda banyak menanam, masa tua saatnya memanen.