Menuju Mi’raj Ruhani

YOGYAKARTA—“Dalam hari-hari yang banyak dikaji terkait dengan Isra Mikraj maka ada istilah Mi’raj rohani ini istilah yang sudah lama di populer dipopulerkan termasuk oleh beberapa pimpinan (Muhammadiyah).” Ujar ustaz Hendra Darmawan saat menyampaikan kajian Ahad pag di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (27/2)

Ustaz Hendra menjelaskan ada sebuah definisi agama yang disebutkan oleh KH. Ahmad Dahlan, “Apakah agama itu? Agama adalah kecenderungan ruhani yang dengan itu jiwa mendaki menuju kesempurnaan dan kesucian.”

Sedangkan definisi agama menurut Muhammadiyah atau Himpunan Putusan Tarjih (HPT) bahwa agama adalah apa-apa yang diturunkan oleh Allah melalui lisan para nabi-Nya yang di dalamnya terdapat perintah-perintah, larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan hidup didunia dan diakhirat. Adapun yang dimaksud dengan Irsyadat (petunjuk) adalah takwil ilmu yang dapat dijadikan sebagai landasan.

Ustaz Hendra menghimbau agar kita harus berupaya untuk senantiasa menjaga kecenderungan ruhani kita, yaitu memastikan iman kita terjaga dan selamat. Ini sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an:

فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا  ۝  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ۝ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Artinya: 8). maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. 9). Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). 10). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams: 8-10)

Dalam istilah lain yaitu hadis, Rasul saw bersabda: “Mintalah pendapat atau fatwa pada ruhanimu”. Ini  agar kita tidak sembrono atau sembarangan dalam berbuat. Disebutkan juga oleh Rasulullah dalam hadisnya yang lain perihal ada seseorang yang pagi-paginya beriman, tetapi sorenya kafir dan juga ada seseorang yang sorenya beriman, tetapi pagi-paginya kafir, maka kita perlu untuk menjaga iman ini. Allah berfirman:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٖۖ فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

Artinya: Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang.* Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (QS. Surat Al-Hajj: 11)

Ustaz Hendra menjelaskan ayat tersebut seakan-akan menggambarkan mengenai hubungan kita dengan Allah yang bersifat transaksional. ketika kita mendapat kebaikan atau kenikmatan biasanya kita akan langsung dekat pada Allah, dan sebaliknya ketika kita mendapat keburukan maka kita akan jauh dari Allah. Oleh karena itu, kita harus berusaha apa apa yang kita upayakan itu orientasinya Allah (lillāhi ta’ala).

Kemudian beliau menyampaikan mengenai suatu hadis bahwasannya iman itu adalah sesuatu yang terbuka dan yang menutupinya adalah ketakwaan dan buahnya adalah rasa malu. Kita mengenal prinsip al-ihtiyat, yaitu prinsip kehati-hatian. Ini artinya kita harus berhati-hati dalam berperilaku, dalam menyebarkan sesuatu, sehingga kita akan memfilter terlebih dahulu sebelum menyebarkan informasi-informasi tersebut.

Kita sebagai umat Nabi Muhammad harus berusaha untuk meneladani beliau, lalu apakah bentuk meneladani tersebut harus dengan cara puasa sepanjang tahun dan qiyamul lail setiap malam? Tentunya tidak seperti itu. Dalam menjalankan agama ini yg terpenting adalah istiqamah walaupun amalnya secara kuantitas sedikit.

Ustaz Hendra menyampaikan untuk untuk meningkatkan mi’raj ruhani maka yang harus dilakukan adalah terus istiqamah dalam melakukan hal-hal yang telah diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw. Kelak hal tersebut akan menjadi kebiasaan, lalu akan memunculkan dan meningkatkan kecenderungan ruhani kita. Disebutkan juga dalam hadis Rasulullah mengabarkan bahwa amalan yang dicintai oleh Allah swt adalah amalan yang dikerjakan secara terus-menerus (istiqamah) walaupun secara kuantitas sedikit.

Selanjutnya ustaz Hendra menyampaikan tentang perjuangan Rasulullah saw dalam berdakwah. Banyak terjadi perang perang besar di zaman Rasulullah dan di antaranya beliau memimpin secara langsung peperangan tersebut.  Dikisahkan saat terjadi Perang Tabuk ada sahabat yang meminta izin kepada Rasulullah untuk tidak ikut berperang. Hal ini diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an.

مَا كَانَ لِأَهۡلِ ٱلۡمَدِينَةِ وَمَنۡ حَوۡلَهُم مِّنَ ٱلۡأَعۡرَابِ أَن يَتَخَلَّفُواْ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ وَلَا يَرۡغَبُواْ بِأَنفُسِهِمۡ عَن نَّفۡسِهِۦۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٞ وَلَا نَصَبٞ وَلَا مَخۡمَصَةٞ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئٗا يَغِيظُ ٱلۡكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوّٖ نَّيۡلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٞ صَٰلِحٌۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Artinya: Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. Surat At-Taubah: 120)

Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah agar kita jangan pernah absen dalam berjuang mempertahankan dan mendakwahkan Islam. Demikianlah yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Ustaz Hendra menyampaikan kalau kita berdakwah kemudian merasa tenang dan mudah-mudah saja berarti ada yang salah dengan dakwah kita atau dengan kata lain pengorbanan yang kita berikan kurang. Sebab setiap dakwah itu pasti penuh dengan tantangan dan pengorbanan.

Kemudian beliau menceritakan tentang kisah perjuangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di kala itu KH. Ahmad Dahlan menderita sakit yang cukup parah sebab kelelahan dalam berdakwah di Yogyakarta. Kemudian beliau diungsikan ke daerah Jawa Timur di daerah pegunungan agar beliau dapat istirahat secara penuh. Namun, ketika dibawa ke sana beliau bukannya istirahat malah tetap berdakwah sampai-sampai di daerah tersebut itu lahir ranting Muhammadiyah. Ketika Kyai Dahlan dilarang berdakwah oleh Nyai Ahmad Dahlan dengan spontan Kiyai Dahlan menjawab:

“Tantangan Muhammadiyah ke depan akan makin sulit Kalau saya tidak meletakkan pondasi-pondasi yang kuat maka sulit bagi generasi selanjutnya untuk melanjutkan dakwah ini.”

Dari situ kita mengambil pelajaran bahwa dalam kondisi sesulit apapun kita harus tetap memulainya karena ada mahfuzot, “keutamaan itu bagi mereka generasi-generasi pionir yang memulai meskipun generasi setelahnya bisa membawa kemajuan”. lalu ustaz Hendra berpesan:

“Jadilah pionir-pionir kebaikan atau mata rantai dalam kebaikan.” (Ahmad)

Meraih Husnul Khatimah

YOGYAKARTA—Diantara prinsip dalam beragama yang perlu kita pahami bahwa dalam hidup itu ada keseimbangan, berjalan bersama, salah satu diantaranya tidak dapat ditinggalkan yaitu terkait dengan dunia dan akhirat. Tutur ustaz Rahmadi Wibowo pada saat menyampaikan kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center UAD (20/2).

Ustadz Rahmadi menjelaskan mengenai prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat telah dijelaskan oleh Allah swt dalam al-Qur’an:

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qasas: 77)

Di dunia segala sesuatu itu bersifat terbatas dan sementara sedangkan di akhirat sifatnya tidaklah terbatas dan kekal abadi. Contohnya makan dan minum, di dunia itu terbatas sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Ketika sudah kenyang (terepenuhi), maka sudah cukup. Sedangkan di akhirat nanti tidak ada batasnya.

Terkadang manusia itu lebih mementingkan kebahagiaan hidup di dunia, terlebih orang-orang kafir. Mereka lebih cenderung untuk mengejar sesuatu yang sifatnya terbatas dan sementara ini dibandingkan untuk mengejar sesuatu yang sifatnya tidak terbatas dan kekal abadi. Allah berfirman:

بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا۝ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ

Artinya: Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A’la: 16-17)

Kemudian Ustad Rahmadi menjelaskan mengenai perbedaan (perbandingan) waktu antara dunia dengan akhirat. Ini didasarkan pada petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Ma’arij ayat 4 bahwa perbedaan waktu antara dunia dan akhirat adalah 1 berbanding 50.000 tahun. 1 hari dunia berarti sama dengan 50.000 tahun di akhirat. 1 tahun dunia berarti 17.750.000 tahun akhirat.

Rasulullah saw pernah memberikan keterangan kepada kita umatnya bahwa umur umat beliau itu di antara 60 -70 tahun dan sedikit sekali dari umatnya yang lebih dari itu. Rasulullah saw menjelaskan bahwas sebaik-baik manusia adalah mereka yang umurnya panjang dan baik amalnya, sebaliknya seburuk-buruknya manusia adalah yang umurnya panjang dan buruk amalnya.

Selanjutnya, ustaz Rahmadi menjelaskan dalam al-Qur’an terdapat penjelasan bahwasannya kita itu mengalami hidup 2 kali dan mati pun 2 kali. Allah berfirman:

كَيۡفَ تَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَكُنتُمۡ أَمۡوَٰتٗا فَأَحۡيَٰكُمۡۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمۡ ثُمَّ يُحۡيِيكُمۡ ثُمَّ إِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ

Artinya: Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan? (QS. Al-Baqarah: 28)

kematian yang pertama itu adalah ketika kita berada ada di dalam rahim seorang ibu sebelum ruh ditiupkan oleh Allah, lalu Allah hidupkan kita hingga saat ini. Setelah itu Allah akan mematikan kita dan kelak kita akan dihidupkan (dibangkitkan) kembali pada saat tibanya Hari Akhir.

Kematian itu pasti akan datang dan menimpa setiap makhluk, terkhusus manusia. Ketika kematian sudah tiba maka tidak akan ada yang dapat mengelak darinya. Allah berfirman:

Dimana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?” (QS. An-Nisa: 78)

Ada 3 hal yang harus kita persiapkan sebagai bekal untuk menuju kematian yang husnul khatimah; pertama, takwa; kedua, perbanyak amal saleh; dan ketiga, taubat nasuha (taubat yang sebenar-benarnya).

Terakhir, ustaz Rahmadi menyampaikan tujuh tanda seseorang dapat disebut husnul khatimah (akhir hidup yang baik dan indah). Tujuh tanda ini didasarkan pada hadis-hadis Rasulullah saw; pertama, tidak berbuat syirik; kedua, mengucapkan kalimat syahadat/tahlil ketika meninggal; ketiga, mengerjakan amal saleh (sebelum meninggal);

Kemudian keempat syahid fī sabīlillāh; kelima, mati karena musibah (penyakit, tenggelam, longsor, tertimpa reruntuhan, terbakar, dsb) ; keenam, perempuan yang meninggal karena melahirkan; ketujuh, mempertahankan harta (dari pencuri/perampok). (Ahmad)

Link full video: https://youtu.be/Havzq8-zFvU

Islam: Agomo dan Ageman

YOGYAKARTA—”Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji Islam sebagai agama dan agama yaitu sebagai sistem nilai atau sesuatu yang melandasi sehingga berimplikasi dari penghayatan nilai-nilai tersebut dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari.” Demikian prolog yang disampaikan Ustaz Ustadzi Hamzah dalam kajian Ahad pagi secara offline dan online di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (13/2).

Ustaz Ustadzi menjelaskan bahwa hakikat Islam adalah sebagai agama yang universal, yaitu agama dari para nabi sejak awal hingga nabi yang terakhir. Ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 163:

Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya; Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.(QS. an-Nisa’: 163)

Ayat tersebut berisi penjelasan bahwa apa yang diwahyukan kepada Rasulullah saw berupa al-Qur’an isinya itu sebagaimana yang telah Allah swt wahyukan juga kepada nabi-nabi yang lain. Ini menunjukkan kejelasan bahwa Islam adalah agama para nabi.

Selain ayat tersebut Ustaz Ustadzi menjelaskan juga ada ayat-ayat lain yang memberi penguatan bahwa agama dari para nabi adalah Islam; QS. asy-Syura ayat 13, QS. Ali Imran ayat 19 dan 85, serta QS.  al-Hajj ayat 78.  Ayat-ayat tersebut berisikan informasi bahwa Islam adalah agama para nabi. Jika diibaratkan dengan sebuah bangunan yang berisikan batu bata, maka Rasulullah Muhammad termasuk dalam bagian dari bangunan tersebut. Rangkaian-rangkaian ayat yang telah dijelaskan itu menunjukkan tidak ada keraguan bahwa Islam adalah agamanya para nabi. Semua ajaran dan risalah yang dibawa nabi itu sama; Perintah menegakkan tauhid—kalimat “Lailaha illa Allah” tidak ada tuhan selain Allah—, menegakkan keadilan dan menebarkan kebaikan.

Ustaz Ustadzi juga menyampaikan ada yang pernyataan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang khusus bagi pengikut Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya ini merupakan pernyataan yang salah, yang benar Islam adalah agamanya para nabi, termasuk agamanya Nabi Isa dan Nabi Musa. Adapun Yahudi dan Nasrani itu merupakan agama yang muncul jauh setelah wafatnya Nabi Musa dan Nabi Isa.

Kemudian, sejak dalam kandungan kita sudah memberikan kesaksian bahwa kita adalah seorang Muslim. Kita senantiasa mengesakan Allah swt. Ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 172.  Ayat ini berisikan peringatan bagi kita ketika di hari kiamat kelak kita tidak dapat mengelak bahwasannya kita dahulu pernah bersaksi kepada Allah swt.

Ustaz Ustadzi menjelaskan bahwa “agomo” dalam istilah Jawa itu adalah sistem nilai dalam kehidupan. Agomo menjadi faktor atau situasi yang dapat mempengaruhi perilaku kita sehari-hari, sehingga agomo (agama Islam) harus menjadi ageman yaitu sesuatu yang melekat dan menjadi pakaian. Ini artinya segala sesuatu itu terikat dengan sistem-sistem nilai, yaitu agama Islam.

Agama memiliki pengaruh pada perilaku yang disebut dengan “takwa kepada Allah”. Apapun yang kita lakukan adalah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Terkait dengan hal ini telah disebutkan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 26. Ayat ini menyebut “takwa” sebagai pakaian terbaik.

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi aurat kamu dan untuk perhiasan bagi kamu. Tetapi, pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (QS. al-A’raf: 26)

Selanjutnya, fungsi ageman berdasarkan ayat di atas ada dua; pertama, sebagai pakaian untuk menutupi aurat. Yaitu untuk menciptakan kehormatan dan wibawa seseorang; kedua, sebagai perhiasam. Yaitu sisi keindahan (estetika) dan kesopanan. Contohnya saja mengenai pakaian yang disyariatkan oleh Allah dengan pakaian yang tidak disyariatkan oleh Allah. Masing-masing memiliki efek sosialnya. Misalnya saja perempuan yang menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat –di antaranya menggunakan pakaian minimalis yang tidak menutup aurat— maka efek sosialnya adalah timbulnya fitnah dan respon negatif dari sosial. Sedangkan perempuan yang menggunakan pakaian yang sesuai syariat –menutup aurat—, maka efek sosial berupa orang-orang akan menghormati perempuan tersebut dan berlaku sopan padanya.

Ustaz Ustadzi menjelaskan bahwa agama (buahnya adalah ketakwaan) dapat memberikan keseimbangan pada aspek lahiriyah dan batiniyah, serta keseimbangan antara ibadah mahdah dengan muamalah duniawiyah. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177. Ayat tersebut menyebutkan tentang keseimbangan antara ibadah mahdah dan muamalah duniawiyah.

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah: 177)

Kemudian, tugas kita sebagai Muslim adalah harus selalu mempersolek (mempercantik) diri dengan ageman takwa. Dengan demikian Ibadah mahdah harus ditegakkan, mencukupkan diri dengan al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman –ini termaktub dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 36—, serta muamalah duniawiyah harus ditunaikan

Terakhir, Ustaz Ustadzi menyampaikan mengenai tujuh penyakit manusia dalam bermuamalah; pertama pikiran yang negatif (su’uzhan); kedua, pengaruh prinsip hidup yang tidak maju. Prinsip hidup yang maju adalah ketika kita merasa cukup dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah, tetapi kita juga tetap harus berusaha dan semangat untuk mencapai yang lebih; ketiga, pengalaman pembelenggu. Pengalaman-pengalaman yang kurang baik di masa lalu yang dapat menghambat kita, maka itu harus ditinggalkan.

Keempat, kepentingan sesaat. Melakukan sesuatu itu jangan hanya kalau ingin dipuji, banyak followers-nya, dan yang lainnya. Kita harus melakukan sesuatu itu untuk mendapatkan makna hidup dari hal-hal tersebut; kelima, sudut pandang sepihak. Ukuran dalam memandang sesuatu itu jangan “aku” (menurut pribadi yang sepihak). Idealnya ukuran dalam memandang sesuatu itu adalah Allah dan Rasul-Nya; al-Qur’an dan Sunnah, bukan menggunakan sudut pandang “aku” atau sudut pandnag sepihak.

Keenam, pembanding yang tidak utuh. Yaitu membanding-bandingkan sesuatu dengan sesuatu yang tidak sebanding. Misalnya kehidupan atau harta yang kita miliki dengan harta yang dimiliki orang lain, atau seorang anak dengan anak yang lain. Ada dua zat yang tidak boleh dibanding-bandingkan: Allah dan manusia. Allah itu kekuasaan dan keagungannya tidak terbatas, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan selai-Nya. Adapun manusia masing-masing memiliki plus-minus. Masing-masing memiliki keistimewaan dan kekurangan, sehingga kita harus bijak dalam menyikapi segala perbedaan; ketujuh, membaca referensi-referensi yang membodohkan, yaitu membaca informasi hanya dari satu referensi, kemudian menjadikannya sebagai sumber untuk menilai orang lain. Jadi, jangan sampai kita hanya membaca dan mendengar sesuatu hanya dari satu sumber saja lantas berani untuk menilai sesuatu.

Kita harus mengikis ini pelan-pelan dengan menjadikan agama sebagai ageman.” Tutup Ustaz Ustadzi Hamzah. (Ahmad)

Mengisi Bulan Rajab dengan Amalan Masyru’

YOGYAKARTA—Hendaknya setiap ada dalil yang menjelaskan mengenai keutamaan sesuatu, maka itu harus dipahami secara utuh. Jangan parsial. Contohnya, ada dalil yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Ramadan, keutamaan bulan Rajab, dan keutamaan bulan-bulan lainnya itu ketika dipahami secara parsial akan dapat menafikan keutamaan bulan-bulan lainnya. Contoh kedua, ada dalil yang menyebutkan keutamaan surat Yasin yang disebut sebagai “jantungnya al-Quran”. Ketika hal itu dipahami secara parsial, maka akan berimplikasi menafikan surat dan ayat yang lainnya, sehingga akan mengesampingkan ayat dan surat selain surat Yasin. Demikian pengantar yang disampaikan ustaz Ruslan Fariadi dalam kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center (6/2).

Ustaz Ruslan menyebutkan adapun dalil pokok yang menjelaskan mengenai empat bulan haram itu terdapat dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 36 sebagai berikut:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Artinya: Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa. (QS. at-Taubah: 36)

Empat bulan haram yang disebutkan dalam ayat tersebut memiliki sejarah peristiwa dan tarikh tasyri’ (sejarah pensyariatan). Adapun maksud dari “jangan sampai kamu menzalimi diri sendiri” adalah jangan melakukan kemaksiatan di bulan ini yang dapat menyebabkan diri diazab oleh Allah. Dengan demikian dapat diambil mafhum aulawi bahwasa dalam semua bulan dilarang untuk berbuat maksiat, terlebih di bulan-bulan haram.

Ustaz Ruslan kemudian menyebutkan hadis yang menjelaskan bahwa dari 12 bulan itu ada 4 bulan haram; tiga diantaranya berurutan yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram; dan 1 bulan lagi terpisah disebut dengan “bulan mudhar”, yakni Rajab.

Berkaitan dengan bulan Muharram, bulan ini merupakan bulan pertama dari tahun hijriah dan bulan tersebut memiliki sejarah tersendiri bagi Kaum Yahudi dan Nasrani, sehingga keduanya begitu menghormati dan memuliakan bulan Muharram. Di antaranya adalah peristiwa Nabi Musa as diselamatkan dari kejaran Firaun dan peristiwa Nabi Isa as diselamatkan dari proses penyaliban.

Bulan Rajab sendiri memiliki 17 nama di antaranya adalah Syahrullah, Rajab, Rajab Mudhar, dan sebagainya. Bulan Rajab setidaknya memiliki 3 keutamaan; pertama, adanya peristiwa Perang Tabuk. Itu merupakan perang di zaman Rasulullah antara yang hak dan yang batil; kedua, terjadinya pembebasan Masjid al-Aqsha dari tangan tentara salib; ketiga, adanya peristiwa Isra’ dan Mikraj Nabi Muhammad saw. Peristiwa tersebut adalah sarana untuk menghibur Nabi atas kesedihan yang dialaminya dan sarana untuk menyampaikan syari’at salat Fardhu.

Selanjutnya, adapun amalan-amalan masyru’ di bulan Rajab adalah:

Pertama, Perbanyak melakukan puasa sunnah. Puasa sunah di sini meliputi puasa Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, dan Puasa Daud. Jangan sampai membuat jenis puasa sendiri misalnya saja yang banyak beredar di masyarakat keutamaan puasa di hari Kamis pekan pertama bulan Rajab. Sesungguhnya ini merupakan puasa yang tidak ada dalilnya, jika pun ada itu dilandaskan pada hadis maudhu’ (palsu). Di antara syarat ibadah itu diterima adalah ittiba’ (mengikuti tuntunan dan aturan Nabi saw).

Kedua, melakukan banyak amal saleh dan menjauhi maksiat. Ini didasarkan pada kandungan dari al-Qur’an surat at-Taubah ayat 36 yang memiliki kandungan agar kita dapat memaksimalkan amal saleh di bulan-bulan haram.

Ustaz Ruslan juga menyampaikan adanya beberapa penyimpangan yang terjadi di bulan Rajab; pertama, adanya salat Raghaib. Salat Raghaib adalah salat yang dilakukan pada malam Jumat pertama antara salat Maghrib dan Isya; kedua, berpuasa khusus pada hari Kamis pertama di bulan Rajab; ketiga, mengkhususkan malam tanggal 27 Rajab dengan ibadah dan ritual-ritual tertentu karena dikaitkan dengan kemuliaan malam Isra-Mikraj.

Tiga contoh penyimpangan tersebut sesungguhnya adalah amalan-amalan yang tidak ada landasan dalilnya yang kuat. Jika pun ada itu dilandaskan pada dalil yang maudhu (palsu). (Ahmad Farhan)

Sirah Nabawiyyah: Cara Membangun Peradaban

YOGYAKARTA—Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan kajian rutin di Ahad pagi. Adapun narasumber pada kajian kali ini adalah Ustaz Akhmad Arif Rif’an. Kajian ini diadakan secara offline dan online via Zoom Meeting dan live streaming Youtube di channel “MASJID ISLAMIC CENTER UAD” (23/1).

Dalam pembuka kajiannya, ustaz  Rif’an menjelaskan mengenai referensi yang beliau gunakan dalam kajian Sirah Nabawiyyah ini, yaitu kitab Ar-Rahiq al-Makhtum karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri. Beliau menjelaskan mengenai kelebihan kitab tersebut yaitu kitab yang cukup jelas dalam menjelaskan kronologi setiap peristiwa. secara umum, di dalam kitab tersebut berisikan dua pembahasan yaitu pra kelahiran Nabi dan pasca kelahiran Nabi. Ketika membahas bagian pasca kelahiran Nabi saw, maka al-Mubarakfuri membaginya dalam dua pembahasan; sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul dan setelah diangkat menjadi nabi dan rasul.

Selain itu, Ustaz Rif’an menjelaskan mengenai karakteristik bangsa Arab, yaitu mereka sangat menyukai kemuliaan. Salah satu ciri dari kemuliaan tersebut adalah kedermawanan (suka memberi), sehingga syaratnya harus menjadi orang-orang yang kaya. Saat itu, mereka harus berusaha menjadi orang yang kaya. Dalam mendapatkan kekayaan, ada dua cara yang dapat dilakukan; pertama, dengan cara berdagang;  dan kedua dengan berperang atau bertempur, sehingga sebab dua hal ini orang-orang Arab akan sangat bangga jikalau dikaruniai anak laki-laki, karena anak laki-laki kelak ketika dewasa akan dapat membantu dalam hal perdagangan dan pertempuran.

Kemudian, Ustaz Rif’an menjelaskan mengenai tujuan dan pentingnya kita mempelajari Sirah Nabawiyah yaitu agar memunculkan rasa cinta kita kepada Rasulullah dan juga agar kita dapat meneladani beliau dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah swt dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 31 yang berisikan penegasan dari Allah jikalau umat Muslim itu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah Nabi Muhammad saw. Kemudian ada penegasan dari Ummul Mukminin, Aisyah ketika ditanya oleh sahabat mengenai akhlak Rasulullah, maka beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an.” Demikian pantaslah Rasulullah diberikan gelar The Living Quran, al-Qur’an yang berjalan.

Selanjutnya,  dijelaskan mengenai periode Madinah yang di mana Nabi saw  tinggal di dalamnya. Al-Mubarakfuri membagi periode Madinah menjadi tiga; pertama, di tahun pertama – tahun ke-6 setelah hijrah. Di tahun tersebut dipenuhi dengan keguncangan. Sebab Rasulullah saw masih mendapati banyak gangguan daripada orang-orang yang belum menerima Islam dengan baik; periode kedua, tahun 6 – 8 setelah hijrah. Dalam periode ini terjadi beberapa perjanjian, di antaranya Perjanjian Hudaibiyah. Di tahun 8 Rasulullah kembali ke Mekkah untuk membebaskan kota mekkah dari berhala-berhala; Periode ketiga, tahun 8 – 10/11 setelah hijrah. Ini merupakan tahun pasca peristiwa Fathul Mekah sampai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw.

Ustaz Rif’an juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw merupakan sosok yang amat peduli terhadap anak-anak muda. Beliau senantiasa menerapkan sistem kaderisasi. Ini terbukti pada banyak peperangan Rasulullah senantiasa menunjuk anak-anak muda untuk menjadi panglima perang padahal di bawah kepemimpinan mereka terdapat banyak senior-senior yang ahli dalam perang, seperti Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, dan sebagainya.

Terakhir, beliau menyampaikan beberapa hal yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah. Ini menjadi sebuah dasar bagaimana Rasulullah saw membangun peradaban; pertama, beliau membangun masjid karena masjid dianggap memiliki kemaslahatan yang tinggi sebagai pusat dakwah dan pusat perkumpulan; kedua, mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor yang ke-3 melakukan berbagai perjanjian; pertama, membuat perjanjian internal di kalangan kaum muslimin; kedua, membuat perjanjian eksternal dengan orang-orang non muslim. (Ahmad Farhan)

Keluarga Sakinah: Tiga Ciri Keluarga yang Tangguh

YOGYAKARTA—Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan kajian rutin di Ahad pagi. Adapun narasumber pada kajian kali ini adalah Ustaz Khoiruddin Bashori. Kajian ini diadakan secara offline dan online via Zoom Meeting dan live streaming Youtube di channel “MASJID ISLAMIC CENTER UAD” (16/1).

Di awal kajian, Ustaz Khoiruddin membedakan definisi antara sakinah dengan tuma’ninah. Sakinah itu adalah ketenangan yang dinamis, pasti ada dinamika di dalamnya. Sedangkan tuma’ninah itu adalah ketenangan yang statis. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga (keluarga) itu pasti ada solusinya. Kunci untuk mendapatkan solusi itu adalah dengan komunikasi atau diskusi. Setiap ada masalah atau persoalan dalam keluarga sesungguhnya itu menjadi ujian, apakah keluarga yang diuji itu tangguh atau tidak.

Ada tiga ciri sebuah keluarga dapat disebut keluarga yang tangguh;  pertama, control (pengendalian); kedua commitment (komitmen); dan ketiga challenge (tantangan).

Pertama, pengendalian. keluarga yang tangguh dapat mengendalikan segala hal yang menimpa. Dalam Islam ujian itu terbagi dalam dua jenis. Ini berdasarkan firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 35.  Disebutkan di dalamnya bahwasannya ada dua jenis ujian; ujian dengan keburukan atau kekecewaan dan ujian berupa kebaikan atau kemuliaan. Maka, solusi daripada menghadapi ujian tersebut adalah kesabaran; sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam ketaatan, dan sabar dalam menjauhi maksiat. Dengan demikian, keluarga perlu melihat sisi positif dibalik Setiap kejadian atau musibah yang menimpa.

Kedua, komitmen. Keluarga yang tangguh pasti akan setia, teguh, dan ada pembuktian di dalamnya. Bukti yang dimaksud adalah sikap rela berkorban, penuh perhatian pada keluarga, serta teguh dalam memegang janji setia.

Ketiga, tantangan. Persoalan atau masalah adalah tantangan yang harus dihadapi secara bersama-sama oleh suami dan istri.

Di penghujung kajian, Ustaz Khoiruddin menyampaikan pesan bahwasannya dalam memilih pasangan itu harus sekufu (adanya kesetaraan) dalam hal agama, pendidikan, dan selainnya. Juga tidak lupa ketika mencari pasangan carilah yang memiliki kemampuan dalam hal pengendalian, memiliki komitmen, dan siap untuk menghadapi segala tantangan yang ada. (Ahmad Farhan)

Umat Islam sebagai Masyarakat Pilihan

YOGYAKARTA— Kajian Ahad pagi kali ini membahas penafsiran al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143-153. Adapun temanya adalah “Umat Islam sebagai Masyarakat Pilihan” dengan Narasumber Ustaz Nur Kholis. Kajian ini berlangsung di Aula Islamic Center (9/1).

Ustaz Nur membuka kajiannya dengan membacakan firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143 yang artinya:

“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyianyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusai.”

Ustaz Nur menjelaskan bahwa bentuk pengagungan Allah terhadap dirinya ialah dengan bentuk penyebutan diri-Nya dengan kalimat jamak “kami”. Ini menunjukkan keagungan Allah yang telah menjadikan timur dan barat menjadi milik-Nya. Dalam ayat tersebut juga dijelaskan siapa pun yang mendapat petunjuk maka pasti akan Allah memberikan bimbingan.

Kata “ummah” dalam ayat bermakna masyarakat yaitu sekumpulan orang yang dihimpun oleh suatu ikatan berupa agama. Sedangkan kata “wasathan” dalam ayat bermakna adil dan pilihan. Umat Islam adalah umat pilihan dan umat terbaik yang Allah ciptakan, sehingga ketika ada ketidakmampuan umat Islam untuk menjadi umat pilihan itu berarti bentuk pengkhianatan terhadap Allah atau terhadap amanah yang telah diberikan oleh Allah.

Ada dua fungsi umat pilihan; pertama, fungsi eksternal. Yaitu agar kita menjadi saksi atas umat yang lain kelak di akhirat, tetapi itu tidak hanya di akhirat. Umat Islam memiliki tugas untuk menjadi saksi sejarah atas masyarakat yang lain. Misalnya, ketika ada masyarakat yang tertindas maka umat Islam harus menguatkannya. Ketika ada masyarakat yang miskin maka umat Islam harus berbondong-bondong untuk membantu masyarakat yang miskin tersebut. ketika melihat ada masyarakat yang maju maka umat Islam harus objektif dalam melihatnya dan senantiasa mau belajar untuk meningkatkan keadaan dan kemampuan. Umat Islam adalah umat terbaik sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 110.

Kedua, fungsi internal. Umat Islam harus melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang dapat menjadikannya umat pilihan, sehingga Rasul dapat menjadi saksi atas mereka kelak di hari kiamat. Tentu, masyarakat pilihan ini adalah masyarakat yang diharapkan oleh Nabi saw.

Ada sepuluh ciri umat Islam disebut sebagai masyarakat pilihan. Pertama, berjiwa besar. Umat Islam itu senantiasa berjiwa besar dalam mengikuti kebenaran. Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya.

Kedua, terkemuka. Ini dipahami dari kata “fastabiqul khairat” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 148. “Khair” artinya kebaikan yang disenangi oleh semua orang. Sehingga makna ayat tersebut; oleh karena itu umat Islam harus berusaha untuk berada di depan yaitu dalam semua kebaikan yang disenangi oleh semua orang. Masyarakat Muslim harus berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam melakukan hal-hal yang disenangi oleh semua orang.

Ketiga, pencerah. ini dipahami dari al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 151. Masyarakat kala itu tercerahkan sebab al-Qur’an yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Beliau memiliki tugas untuk membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah kepada manusia, sehingga umatnya pun memiliki tugas untuk membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah kepada yang lain.

Keempat,  bersih. ini diambil dari kata “yuzakkīkum” dalam  al-Baqarah ayat 151. Nabi saw mensucikan mereka dari segala kotoran yang melekat pada batin dan lahir ketika mereka berada di zaman Jahiliyah.

Kelima, unggul. keunggulan ini sebab diberi pengajaran oleh Nabi saw. Saat itu, bangsa Arab menjadi sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang ada disekitarnya yang sebelumnya mereka telah diberikan kitab suci.

Keenam, berkearifan tinggi. Ketujuh, berwawasan luas. Kedelapan,  religius. Ini diambil dari al-Qur’an surat al-Baqarah “fadzkuruni adzkurkum” yang artinya dapat menghadirkan Allah dalam segala tindakan dan kehidupan nyata.

Kesembilan, efektif. Ini diambil dari kata “waskuruli”.  Arti efektif adalah kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Kesepuluh, efisien. Ini diambil dari kata “walā takfurun”. Ini berisikan larangan bagi umat Islam untuk melakukan pengingkaran dalam hal aqidah dan anugerah. Artinya, dapat menjalankan tugas dengan baik dan tepat. Mereka juga dapat melakukan sesuatu sesuai dengan rencana dan tidak membuang-buang waktu. (Ahmad Farhan)