Menuju Mi’raj Ruhani

YOGYAKARTA—“Dalam hari-hari yang banyak dikaji terkait dengan Isra Mikraj maka ada istilah Mi’raj rohani ini istilah yang sudah lama di populer dipopulerkan termasuk oleh beberapa pimpinan (Muhammadiyah).” Ujar ustaz Hendra Darmawan saat menyampaikan kajian Ahad pag di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (27/2)

Ustaz Hendra menjelaskan ada sebuah definisi agama yang disebutkan oleh KH. Ahmad Dahlan, “Apakah agama itu? Agama adalah kecenderungan ruhani yang dengan itu jiwa mendaki menuju kesempurnaan dan kesucian.”

Sedangkan definisi agama menurut Muhammadiyah atau Himpunan Putusan Tarjih (HPT) bahwa agama adalah apa-apa yang diturunkan oleh Allah melalui lisan para nabi-Nya yang di dalamnya terdapat perintah-perintah, larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan hidup didunia dan diakhirat. Adapun yang dimaksud dengan Irsyadat (petunjuk) adalah takwil ilmu yang dapat dijadikan sebagai landasan.

Ustaz Hendra menghimbau agar kita harus berupaya untuk senantiasa menjaga kecenderungan ruhani kita, yaitu memastikan iman kita terjaga dan selamat. Ini sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an:

فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا  ۝  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ۝ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Artinya: 8). maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. 9). Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). 10). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams: 8-10)

Dalam istilah lain yaitu hadis, Rasul saw bersabda: “Mintalah pendapat atau fatwa pada ruhanimu”. Ini  agar kita tidak sembrono atau sembarangan dalam berbuat. Disebutkan juga oleh Rasulullah dalam hadisnya yang lain perihal ada seseorang yang pagi-paginya beriman, tetapi sorenya kafir dan juga ada seseorang yang sorenya beriman, tetapi pagi-paginya kafir, maka kita perlu untuk menjaga iman ini. Allah berfirman:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٖۖ فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

Artinya: Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang.* Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (QS. Surat Al-Hajj: 11)

Ustaz Hendra menjelaskan ayat tersebut seakan-akan menggambarkan mengenai hubungan kita dengan Allah yang bersifat transaksional. ketika kita mendapat kebaikan atau kenikmatan biasanya kita akan langsung dekat pada Allah, dan sebaliknya ketika kita mendapat keburukan maka kita akan jauh dari Allah. Oleh karena itu, kita harus berusaha apa apa yang kita upayakan itu orientasinya Allah (lillāhi ta’ala).

Kemudian beliau menyampaikan mengenai suatu hadis bahwasannya iman itu adalah sesuatu yang terbuka dan yang menutupinya adalah ketakwaan dan buahnya adalah rasa malu. Kita mengenal prinsip al-ihtiyat, yaitu prinsip kehati-hatian. Ini artinya kita harus berhati-hati dalam berperilaku, dalam menyebarkan sesuatu, sehingga kita akan memfilter terlebih dahulu sebelum menyebarkan informasi-informasi tersebut.

Kita sebagai umat Nabi Muhammad harus berusaha untuk meneladani beliau, lalu apakah bentuk meneladani tersebut harus dengan cara puasa sepanjang tahun dan qiyamul lail setiap malam? Tentunya tidak seperti itu. Dalam menjalankan agama ini yg terpenting adalah istiqamah walaupun amalnya secara kuantitas sedikit.

Ustaz Hendra menyampaikan untuk untuk meningkatkan mi’raj ruhani maka yang harus dilakukan adalah terus istiqamah dalam melakukan hal-hal yang telah diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw. Kelak hal tersebut akan menjadi kebiasaan, lalu akan memunculkan dan meningkatkan kecenderungan ruhani kita. Disebutkan juga dalam hadis Rasulullah mengabarkan bahwa amalan yang dicintai oleh Allah swt adalah amalan yang dikerjakan secara terus-menerus (istiqamah) walaupun secara kuantitas sedikit.

Selanjutnya ustaz Hendra menyampaikan tentang perjuangan Rasulullah saw dalam berdakwah. Banyak terjadi perang perang besar di zaman Rasulullah dan di antaranya beliau memimpin secara langsung peperangan tersebut.  Dikisahkan saat terjadi Perang Tabuk ada sahabat yang meminta izin kepada Rasulullah untuk tidak ikut berperang. Hal ini diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an.

مَا كَانَ لِأَهۡلِ ٱلۡمَدِينَةِ وَمَنۡ حَوۡلَهُم مِّنَ ٱلۡأَعۡرَابِ أَن يَتَخَلَّفُواْ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ وَلَا يَرۡغَبُواْ بِأَنفُسِهِمۡ عَن نَّفۡسِهِۦۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٞ وَلَا نَصَبٞ وَلَا مَخۡمَصَةٞ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئٗا يَغِيظُ ٱلۡكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوّٖ نَّيۡلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٞ صَٰلِحٌۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Artinya: Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. Surat At-Taubah: 120)

Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah agar kita jangan pernah absen dalam berjuang mempertahankan dan mendakwahkan Islam. Demikianlah yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Ustaz Hendra menyampaikan kalau kita berdakwah kemudian merasa tenang dan mudah-mudah saja berarti ada yang salah dengan dakwah kita atau dengan kata lain pengorbanan yang kita berikan kurang. Sebab setiap dakwah itu pasti penuh dengan tantangan dan pengorbanan.

Kemudian beliau menceritakan tentang kisah perjuangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di kala itu KH. Ahmad Dahlan menderita sakit yang cukup parah sebab kelelahan dalam berdakwah di Yogyakarta. Kemudian beliau diungsikan ke daerah Jawa Timur di daerah pegunungan agar beliau dapat istirahat secara penuh. Namun, ketika dibawa ke sana beliau bukannya istirahat malah tetap berdakwah sampai-sampai di daerah tersebut itu lahir ranting Muhammadiyah. Ketika Kyai Dahlan dilarang berdakwah oleh Nyai Ahmad Dahlan dengan spontan Kiyai Dahlan menjawab:

“Tantangan Muhammadiyah ke depan akan makin sulit Kalau saya tidak meletakkan pondasi-pondasi yang kuat maka sulit bagi generasi selanjutnya untuk melanjutkan dakwah ini.”

Dari situ kita mengambil pelajaran bahwa dalam kondisi sesulit apapun kita harus tetap memulainya karena ada mahfuzot, “keutamaan itu bagi mereka generasi-generasi pionir yang memulai meskipun generasi setelahnya bisa membawa kemajuan”. lalu ustaz Hendra berpesan:

“Jadilah pionir-pionir kebaikan atau mata rantai dalam kebaikan.” (Ahmad)