ISLAM, IMAN, DAN IHSAN SEBAGAI TIGA TINGKATAN TERTINGGI DALAM BERAGAMA

Suatu saat Jibril AS datang menemui Rasulullah SAW, dan bertanya kepada beliau tentang tiga persoalan yang sangat penting bagi umat Islam, yakni pengertian Islam, iman, dan ihsan.

Islam sebagaimana yang diketahui lalu dijawab oleh Rasulullah dengan 5 rukun Islam, dan iman dijawab dengan 6 rukun iman yang umat Islam yakini, dan semua dibenarkan oleh Jibril AS. Lalu terakhir, beliau bertanya tentang Ihsan dan dijawab dengan ungkapan yang sangat menarik; “anta’budallah kaannaka taraahu fa inlam yakun taraahu fainnahu yaraaka” (Kamu beribadah seakan-akan melihat Allah dan apabila kamu tidak bisa melihat Allah yakinlah bahwa Allah itu melihat kamu”.

Ketiga inilah yang dikatakan oleh para ulama sebagai tingkatan atau martabat yang tertinggi di dalam Islam. Prolog ustadz Fathurrahman Kamal, Lc., M. S. I. (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah), saat mengawali kajian singkat sebelum shalat tarwih di Masjid Islamic Center UAD.

Dia kembali melanjutkan bahwasanya, Islam seringkali dipahami sebagai persoalan-persoalan yang bersifat praktis di dalam kehidupan. Shalat, zakat, dan puasa yang umat Islam lakukan sehari-hari dinyatakan sebagai bagian daripada manifestasi Islam secara amaliyah, dan di atasnya menyangkut persoalan yang bersifat alyakiniyah, yaitu keyakinan kepada Allah SWT, lalu gabungan antara al-Islam dan al-iman itulah yang melahirkan ihsan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Sehingga Al-Ihsan ini merupakan tingkatan paling tinggi di antara ketiganya di hadapan Allah yang maha pengasih dan penyayang.

Puasa menjadi praktik suci yang ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan di antara mereka yang beriman. Hal ini dinyatakan ketika seseorang telah mencapai level kedua dalam keimanan, yaitu iman, dimana kebenaran agama diterima sepenuhnya sebagai bagian dari keyakinan yang melekat dalam diri. Kebenaran ini bisa datang dari wahyu ilahiyah yang mutlak atau dari kebenaran aqliyah yang dapat dibuktikan melalui akal.

Dengan mengamalkan puasa, seseorang diharapkan untuk menolak segala bentuk kontradiksi terhadap keyakinan tersebut. Inilah esensi minimal bagi seseorang yang ingin mencapai tingkat ketakwaan sejati, sesuai dengan ungkapan “la’allakum tattaqun”.

Kemudian, yang dimaksud dengan Al-ihsan ialah ketika hati seseorang benar-benar tertanam, terpatri dengan kokoh di dalam suasana yang penuh dengan nurani, suasana yang penuh dengan cahaya dan kebaikan, hingga bahkan sesuatu yang tidak tampak atau kasat mata bisa menjadi jelas ketika intuisi bahasa nurani seseorang mengalami suatu aktivitas yang baik.

Fathurrahman mengutip sebuah nasihat dari Ibnu Qayyim Al-Jauziah di dalam kitab beliau yang berjudul Al jawabul Kaffi; dikatakan bahwa di antara 2 pintu utama paling besar orang yang masuk ke dalam neraka, yaitu: Pertama ialah pintu ketamakan dan kerakusan. Kedua syahwat perut. Jika ini tidak tertahankan, maka diikuti dengan syahwat kemaluan. Begitulah seterusnya berbagai macam ketimpangan kekacauan sosial, politik, dan ekonomi berangkat dari satu persoalan, yaitu perut.

Jangan pernah merasa berjasa di hadapan Allah SWT ketika sanggup meninggalkan semua makan dan minum, binatang juga pun sanggup tidak makan dan minum. Rasulullah mengingatkan kepada umat Islam betapa banyak orang berpuasa tidak dapat apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga, betapa banyak orang yang menghidupkan malam harinya untuk shalat dan seterusnya tidak mendapatkan apa-apa kecuali seperti orang yang begadang.

Maka sesungguhnya yang ingin diaktivasi oleh Allah ialah bukan hanya persoalan pengetahuan tentang agama Islam, bukan hanya klaim keimanan yang terus diucapkan melalui lisan, tetapi satu hal yang sangat penting “apakah kalbu kita semakin hidup dengan kita menjaga jarak dari segala hal apa yang seharusnya diperbolehkan oleh Allah swt?”

“Jadi saudara sekalian, itulah kata para ahli tasawuf atau tazkiyatun nufus, manakala saudara belajar fiqih, maka fiqih itu berbicara tentang tata kelola shalat yang sifatnya amaliyah, manakala saudara berbicara tentang iman atau akidah, maka iman dan akidah itu berbicara tentang S.O.P kita berkeyakinan kepada Tuhan tetapi satu yang paling tinggi, manakala kita berbicara tentang tazkiyatun nufus, maka kita sedang berbicara bagaimana kita membuat satu sistem prosedural di dalam menata hati qolbu dan nurani kita,” tutup beliau. (Siti Kamaria)

Inilah Kriteria-Kriteria Wujudul Hilal Dalam Penentuan Awal Puasa

Yogyakarta Pada sholat tarawih Ramadhan 1445 H perdana ini Masjid Islamic Center UAD dipenuhi oleh para jamaah dari berbagai kalangan, baik Mahasiswa UAD sendiri maupun masyarakat umum dan ceramah tarawih perdana ini disampaikan oleh Prof. Dr. Muchlas, M.T selaku rektor Universitas Ahmad Dahlan. Ahad (10/03).

“Ketika kita akan melaksanakan sesuatu tentu kita harus memiliki alasan termasuk mengapa malam ini kita sudah memasuki bulan Ramadhan, maka saya akan membahas sedikit mengenai wujudul hilal yang merupakan metode yang dipakai oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang metode ini juga sama-sama yang berkembang di Indonesia, selain rukyatul hilal bilfi’li yang digunakan oleh pemerintah dengan cara melihat secara langsung posisi hilal apakah sudah terlihat atau belum” Prolog Prof Muchlas mengawali ceramahnya.

Dia menjelaskan mengenai apa saja kriteria-kriteria yang digunakan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menentukan awal puasa yang menggunakan wujudul hilal agar yang berpuasa besok semakin mantap ketika memutuskan berpuasa selama 30 hari kedepannya, namun metode wujudul hilal ini akan diganti menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) dimulai pada 1 Muharram 1446 H. Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) merupakan versi paling mutakhir dari upaya umat Islam sedunia untuk menyatukan penanggalan mereka. Kalender ini berprinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Artinya jatuhnya tanggal baru Hijriah adalah pada hari yang sama di seluruh muka bumi. adapun berikut kriteria-kriteria wujudul hilal dalam menentukan puasa:

  1. Conjuction terjadi sebelum maghrib, bulan mengelilingi bumi kemudian ada sinar matahari dan sinarnya sejajar dengan bidang ekliptika dengan bulan, dan inilah disebut dengan Conjuction.
  2. Terjadinya peristiwa moonset after sunset, matahari tenggelam terlebih dahulu dan bulan akan terlihat dan saat itulah ketinggian bulan akan diukur.
  3. Ketinggian bulan berada di atas posisi 0 derajat.

“Kesimpulannya adalah hari ini sudah masuk 1 Ramadan 1445 Hijriyah pada ba’da magrib karena di dalam kalender Hijriyah perubahan hari itu dilaksanakan atau terjadi setelah maghrib jika bulan Syamsiah atau bulan biasa itu tengah malam setelah jam 12 berganti hari, jika bulan Hijriyah pergantian harinya atau pergantian tanggalnya adalah setelah Magrib dan hari ini adalah tanggal 1 Ramadhan.” Terang Ustaz Muchlas.

Tak sampai disitu saja, Ustaz Muchlas juga mengajak para jamaah terawih untuk senantiasa mengisi hari-hari dengan berbagai amal sholeh dengan memperhatikan apa saja kebiasaan Nabi menjelang Ramadhan. Puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi kita semuanya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Maka hal yang perlu seseorang lakukan adalah banyak bersedekah dan berinfaq, menahan amarah, jangan sedikit-sedikit marah, memperbanyak kalimat yang baik, mudah memaafkan kesalahan orang lain dan memperbanyak senyum. Diakhir ceramahnya Ustaz Muchlas berpesan sebagai ketua majelis pustaka dan informasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengajak bijak dalam bersosial media.

“Tentu kita semua saat ini tidak bisa lepas dari sosial media, bahkan ketika bangun tidur yang pertama kali kita buka adalah sosial media, maka saya harap kita semua memiliki kebijakan yang baik dan memiliki karakter yang baik dalam bersosial media dan mari kita gunakan sosial media ini untuk amal sholeh, sampaikanlah kebaikan-kebaikan hal-hal yang benar, karena orang beriman diperintahkan untuk senantiasa mengucapkan perkataan yang baik” Tutupnya.