Sikap Kewaspadaan Empat Sahabat Besar dalam Meriwayatkan Hadis

Sebagaimana yang kita ketahui sepeninggal Nabi wafat, kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang memimpin umat islam kala itu dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafa’ Al-Rasyidin atau disebut juga dengan sahabat besar. Priode ini dikenal dengan Zaman al Tathabbut wa al Iqlal min al Riwayah juga disebut sebagai masa pembatasan hadis dan penyedikitan periwayatan, Hal ini dilakukan karena para sahabat pada masa itu lebih sibuk menjaga dan menyebarkan Al-Qur’an. Akibatnya, periwayatan hadis tidak mendapat perhatian yang cukup, bahkan mereka berusaha untuk selalu bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadis. (Mu’awanah 2019, hlm.11.)

Pembatasan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis Nabi dengan dua cara, yaitu: Pertama, Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW. Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar mengingat apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Kedua, Hadis yang disebut periwayatan maknawi tidak sama dengan yang diucapkan Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap sama, sesuai dengan maksud Rasulullah SAW (Gufron 2020, hlm. 6.), berikut kebijakan yang ditunjukkan oleh masing-masing dari empat khalifah tersebut; Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali.

Abu Bakar al-Siddiq

Menurut Muhammad al-Dzahabi, Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Pernyataan ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar menjawab bahwa, dia tidak melihat petunjuk Al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberi bagian harta kepada seorang nenek. Abu bakar lalu bertanya kepada para sahabat, Al-Mughirah ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan harta bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Mendengar pernyataan tersebut , abu bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi (Zain 2014, hlm. 12.) 

Umar Ibn al-Khattab

Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Selain itu Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi dimasyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami Al-Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijaksanaa Umar inilah yang kemudian mampu menghargai orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis (Andariati, 2020, 158).

Usman Ibn Affan

Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar al-Khattab. Dalam suatu kesempatan Khutbah, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini menunjukkan pengakuan Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati ini akan dilanjutkan pada masa kekhalifahanya (Zain 2014, hlm. 14.)

Ali Abi Thalib

Khalifah Ali Ibn Abi Thalib pun sama tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunuya. Ali hanya menerima riwayat hadis setelah periwayat mengucapkan sumpah bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jika periwayat benar-benar dipercayainya. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadis Ali tidak menjadi syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah tidak diperlukan jika orang yang menyampaikan hadis benar-benar diyakini tidak akan keliru. Hal ini terlihat misalnya ketika Ali menerima riwayat Abu Bakar al-Shiddiq terhadap Abu Bakar, Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat, Ali menyatakan, “Abu Bakar telah memberikan hadis kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu (Lukman Zain, 2014, 15).

oleh: Fitri Wahyuni, S.Ag.
(Alumni Ilmu Hadis UAD, sedang menempuh program magister Ilmu Hadis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)