Sikap Kewaspadaan Empat Sahabat Besar dalam Meriwayatkan Hadis

Sebagaimana yang kita ketahui sepeninggal Nabi wafat, kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang memimpin umat islam kala itu dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafa’ Al-Rasyidin atau disebut juga dengan sahabat besar. Priode ini dikenal dengan Zaman al Tathabbut wa al Iqlal min al Riwayah juga disebut sebagai masa pembatasan hadis dan penyedikitan periwayatan, Hal ini dilakukan karena para sahabat pada masa itu lebih sibuk menjaga dan menyebarkan Al-Qur’an. Akibatnya, periwayatan hadis tidak mendapat perhatian yang cukup, bahkan mereka berusaha untuk selalu bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadis. (Mu’awanah 2019, hlm.11.)

Pembatasan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis Nabi dengan dua cara, yaitu: Pertama, Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW. Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar mengingat apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Kedua, Hadis yang disebut periwayatan maknawi tidak sama dengan yang diucapkan Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap sama, sesuai dengan maksud Rasulullah SAW (Gufron 2020, hlm. 6.), berikut kebijakan yang ditunjukkan oleh masing-masing dari empat khalifah tersebut; Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali.

Abu Bakar al-Siddiq

Menurut Muhammad al-Dzahabi, Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Pernyataan ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar menjawab bahwa, dia tidak melihat petunjuk Al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberi bagian harta kepada seorang nenek. Abu bakar lalu bertanya kepada para sahabat, Al-Mughirah ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan harta bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Mendengar pernyataan tersebut , abu bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi (Zain 2014, hlm. 12.) 

Umar Ibn al-Khattab

Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Selain itu Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi dimasyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami Al-Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijaksanaa Umar inilah yang kemudian mampu menghargai orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis (Andariati, 2020, 158).

Usman Ibn Affan

Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar al-Khattab. Dalam suatu kesempatan Khutbah, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini menunjukkan pengakuan Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati ini akan dilanjutkan pada masa kekhalifahanya (Zain 2014, hlm. 14.)

Ali Abi Thalib

Khalifah Ali Ibn Abi Thalib pun sama tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunuya. Ali hanya menerima riwayat hadis setelah periwayat mengucapkan sumpah bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jika periwayat benar-benar dipercayainya. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadis Ali tidak menjadi syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah tidak diperlukan jika orang yang menyampaikan hadis benar-benar diyakini tidak akan keliru. Hal ini terlihat misalnya ketika Ali menerima riwayat Abu Bakar al-Shiddiq terhadap Abu Bakar, Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat, Ali menyatakan, “Abu Bakar telah memberikan hadis kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu (Lukman Zain, 2014, 15).

oleh: Fitri Wahyuni, S.Ag.
(Alumni Ilmu Hadis UAD, sedang menempuh program magister Ilmu Hadis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Khutbah Jum’at: Pentingnya Meningkatkan Kecintaan Kepada Nabi SAW

Umat Islam senantiasa dibiasakan untuk bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan-Nya. Segala anugerah yang diterima oleh hamba-hambaNya, maka sebagai hamba harus dapat menghasilkan berbagai amal shalih. Karena itu menjadi bekal yang terbaik sebagai manifestasi dari ketakwaan.

Pada Jum’at kali ini, ustadz Dadi Nurhaedi, S.Ag., M.Si. selaku khatib di Masjid Islamic Center UAD (6/10). Masih dalam momentum Maulid nabi, Dadi menjelaskan terkait perlunya untuk meningkatkan penguatan keimanan dan kecintaan umat muslim kepada nabi SAW. semua itu agar dapat meningkatkan juga pada pemahaman sampai pengamalan nilai-nilai yang dicontohkan oleh nabi SAW.

Sebagai pengikut nabi SAW, harus memiliki komitmen agar warisan nabi dapat diamalkan. Dalam hal ini, umat Islam memiliki tanggung jawab agar perjuangan rasulullah SAW tetap dilanjutkan, sehingga misi risalah kenabian itu semakin luas dan semakin banyak dirasakan oleh umat manusia.

ada dua warisan yang penting untuk umat muslim, sebagaimana yang terekam dalam beberapa kitab hadis. Misalnya dalam Mustadrak Hakim atau Mustadrak ala shahihain, mereka meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah dari Ibnu Abbas meskipun derajat atau kualitasnya tidak sampai shahih tetapi cukup untuk dijadikan dalil. Menurut Dadi, dari peneliti hadis mengatakan hadis tersebut hasan tetapi dengan redaksi yang berbeda tetapi substansinya sama (riwayah bil Ma’na).

“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selaam berpegang teguh kepada keduanya. (Yaitu) kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (H.R. Al-Hakim)

Dua hal ini menjadi warisan yang sangat penting. Rasulullah SAW tidak meninggalkan kekayaan yang banyak tetapi terpenting adalah dua hal itu yati al-Qur’an dan as-Sunnah.

“Allah ingin berpesan kepada makhluk-Nya lalu kemudian mengutus dan memillih manusia pilihan yaitu rasulullah SAW untuk menyampaikan firman-Nya sekaligus memberikan contoh atau model terbaik tentang bagaimana firman-Nya dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.” Terang Dadi.

Penjelasan Dadi itu yang disebut dengan hadis atau sunnah yang berisikan rekaman tentang kehidupan nabi SAW. dua hal ini yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian dari umat Islam, sehingga pesan-pesan Allah dapat diteruskan atau dilanjutkan.

Dadi mengajak para jamaah untuk merenungkan, bahwa al-Qur’an sebagai warisan dari nabi belum tentu telah menjadi sebagai teman atau sahabat karib dalam kehidupan sehari-hari dan terkadang masih ada orang yang dalam sehari-harinya tidak menyentuh atau tidak membaca al-Qur’an.

“satu kenyataan ini menjadi bahan renungan bagi kita, apakah al-Qur’an sudah dibaca tiap hari atau tidak. Berapa banyak waktu yang kita alokasikan untuk memperhatikan atau membaca surat cinta dari Allah untuk kita semua. Mudah-mudahan kita semuanya dapat mengemban amanah ini dengan penuh tanggung jawab dalam menjalaninya, sehingga kita semuanya akan menjadi orang-orang yang beruntung.” Tutupnya.

(Badru Tamam)

Link Full Video:

 

Khutbah Jum’at: 2 anugerah terbaik yang diberikan kepada manusia

Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sempurna daripada makhluk lainnya. Dalam Q.S. at-Tin ayat 4 memberikan pandangan bahwa manusia memiliki kelebihan dan keistimewaan. Jika dilihat secara kasat mata fisik manusia tentu berbeda dengan makhluk lainnya. Namun, tidak hanya itu Allah SWT menurunkan kepada manusia sebuah keistimewaan, di mana manusia memiliki dua anugerah yang Allah berikan yaitu akal pikiran dan hawa nafsu.

Ada 4 (empat) macam makhluk yang diciptakan oleh Allah menurut imam al-Ghazali, Pertama yaitu makhluk yag diberi Allah akal namun tidak diberikan hawa nafsu, hal ini disebut dengan malaikat. Kedua, makhluk yang diberi oleh Allah hawa nafsu tapi tidak dengan akal, maka dikenal dengan hewan atau binatang. Kemudian Allah juga menciptakan makhluk yang tidak diberikan hawa nafsu maupun akal, maka dikenal dengan benda mati. Kemudian, keempat yaitu makhluk yang diberi akal dan hawa nafsu yaitu manusia.

Dari empat macam makhluk Allah ini, imam al-Ghazali menjelaskan bahwa dua anugerah terbaik kepada manusia itu adalah akal dan hawa nafsu. Akal memiliki energi positif, karena hal itu akal dapat memberikan wawasan informasi dan pertimbangan apa itu baik atau buruk. Berbeda dengan hawa nafsu yang memiliki energi negatif, yang mendorong dan memotivasi manusia untuk melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan hal itu baik atau tidak.

Ustadz Budi Jaya Putra selaku khatib pada hari Jum’at (22/09) masjid Islamic center UAD, ia sampaikan, bahwa ketika akal mampu mengontrol hawa nafsu sehingga manusia berada di atas hawa nafsunya, maka manusia akan menjadi makhluk yang mulia. Sebagaimana Q.S. An-Nazi’at ayat 40-41

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ ^ فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ

Artinya:

“Adapun orang yang takutkan keadaan semasa ia berdiri di mahkamah Tuhannya, (untuk dihitung amalnya), serta ia menahan dirinya dari menurut hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat kediamannya.”

Dari dua ayat tersebut, secara jelas Allah memberikan cara dalam potensi akal untuk menguasai hawa nafsu dan mengantarkan kebaikan manusia menuju surgaNya,  ketika dirinya telah mampu mengontrol hawa nafsunya. Dan hal itu manusia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah SWT. Sebaliknya ketika hawa nafsu menguasainya maka manusia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dimurkai oleh Allah SWT.

Sllah langsung terangkan pada Q.S. Al-A’raaf ayat 179

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

“Marilah kita senantiasa berusaha untuk berjuang sebaik-baiknya agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu yang telah dianugerahkan kepada kita dengan menjadikan akal pikiran sebagai pengevaluasi diri dari hawa nafsu yang ada pada diri kita. Oleh karena itu kita untuk senantiasa selalu memperbanyak pengetahuan sehingga kita dapat mengerti yang hak dan yang batil.” Tutupnya.

(Badru Tamam)

Link Full Video:

Khutbah Jum’at: Tiga Ketentuan Orang Berhak Masuk Surga

Khutbah Jum’at kali ini tentang . Di mana hal ini menjadi bahan renungan dan nasihat untuk semua kaum muslimin. Pada kesempatan kali ini, Jum’at (29/9) khutbah Jum’at kali ini disampaikan oleh Kepala Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD yaitu Rahmadi Wibowo Suwarno, Lc., M.A. M.Hum.

Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam. Di mana kedua sumber itu menjadi tempat kembali untuk mengetahui apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Hadis. Sebagai umat Islam diharuskan ketika memiliki masalah-masalah yang ada di sekitar, maka harus merujuk kembali kepada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis.

Hal itu menjadikan dua sumber tersebut menjadi petunjuk hidup kaum muslimin. Rahmadi sampaikan cara menjalaninya dalam mendapatkan petunjuk dari kedua sumber tersebut. Berdasarkan sabda nabi SAW. “Barangsiapa yang ridha bahwa Islam sebagai agama dan ridha Muhammad itu utusan Allah maka baginya adalah surga”.

Keyakinan bahwa hidup ini tidak hanya di dunia saja tetapi setelah mati pun ada kehidupan kembali. Sebagaimana Q.S. Al-Baqarah ayat 28

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah padahal kamu sebelumnya mati kemudian dihidupkan lalu dimatikan dan dihidupkan kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Menurut al-Qur’an tentang kehidupan ini dan nanti akan dihidupkan itu hanya dua tempat yaitu surga atau neraka. Kemudian dari hadis secara spesifik bahwa orang yang berhak masuk surga ada tiga ketentuan. Pertama, Ridha Allah sebagai tuhannya. Maksudnya percaya dengan sungguh-sungguh Allah sebagai tuhannya. Kedua, ridha Islam sebagai agamanya. Semua agama berhak mendapatkan surga, tetapi perlu dipahami bahwa Q.S. Ali-Imran ayat 102 bahwa umat Islam harus senantiasa taat kepada Allah agar ketika wafat keadaan beragama Islam.

Ketiga, ridha nabi Muhammad SAW sebagai rasulnya. Di mana ia harus rela untuk mengikuti apa yang dicontohkan oleh nabi SAW. jika tidak mengakui bahwa nabi SAW adalah rasul, Rahmadi menegaskan maka kesengsaraan yang diperolehnya.

(Badru Tamam)

Link Full Video:

Mengagumkan, Mufti Perlis mengisi Kajian Rutin Masjid Islamic Center UAD

YOGYAKARTA- Pada pagi hari ini yang penuh istimewa, Ahad (24/09) Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kedatangan Prof. Dato’ Arif Perkasa Dr. Mohd Asri bin Zainul Abidin (Prof. MAZA). Kedatangannya ini untuk mengisi kajian rutin Ahad Pagi Masjid Islamic Center UAD. tema yang dibawakan adalah “Rabiulawal: Mounth of death of the prophet?”

Pada kajian kali ini dihadiri oleh Wakil Rektor I UAD bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yaitu Parjiman, M.Ag. dan rombongan dari Jawatan Kuasa Fatwa Negeri Perlis Sampena, Malaysia. Kajian diselenggarakan secara langsung di Masjid Islamic Center UAD dan secara online melalui channel Youtube Masjid Islamic Center UAD.

Bulan Rabi’ul Awwal menjadi bulan yang istimewa karena bulan tersebut nabi Muhammad SAW lahir di muka bumi ini. Ada beberapa pendapat yang berbeda terkait tanggal kelahiran nabi Muhammad SAW. Pendapat pertama disampaikan oleh Imam Ibnu Ishaq bahwa nabi lahir tanggal 12. Pendapat kedua, oleh Imam al-Humaidi bahwa nabi lahir tanggal 8. Kemudian ketiga, dinukilkan oleh Ibnu Dihyah bahwa nabi lahir tanggal 10. Keempat, ada yang mengatakan nabi Muhammad lahir tanggal 9.

Dari pendapat-pendapat tersebut, bahwa titik perbedaan yang muncu di antara para ulama terletak pada tanggal kelahiran nabi SAW. adapun hari dan bulan, nabi SAW pernah mengatakan sendiri bahwa beliau dilahirkan pada hari senin bulan Rabi’ul Awwal. Dan tidak ada yang berbeda juga dalam penanggalan wafat nabi SAW yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awwal.

Dia jelaskan bahwa perbedaan tanggal yang muncul pada kalangan ulama itu karena penanggalan hijriyah baru di mulai jauh setelah nabi lahir, tepatnya ketika nabi dan para sahabat hijrah ke Madinah.

“Kelahiran bukanlah sesuatu yang berat. Tentu kelahiran itu membuat kita bahagia. Apalagi dengan lahirnya nabi SAW. The first generation of Islamic or salafussalih, mereka tidak ada satu perayaan. Semua sejarawan bersepakat, bahwa perayaan pertama dilakukan pada masa dinasti Fathimiyah diprakarsai oleh Ubaid al-Mahdi. Tidak hanya itu, juga merayakan hari lahir sayyidina Ali, Fathimah dan lainnya, kemudian (ketika runtuhnya Fathimiyah) datang dari kalangan Sunni memadamkan perayaan (yang tidak sesuai syariat Islam) dan mempertahankan perayaan maulid.” Terangnya.

Prof. MAZA juga menyebutkan bahwa di Perlis, bulan Rabi’ul Awwal disebut bulan Zikru Rasul (mengingat rasul). Mulai dari kelahiran, perjalanan hidup sampai dakwahnya selama 23 tahun dengan berbagai cobaan yang dihadapinya. Dia menceritakan bahwa kelahiran nabi SAW, terjadi sesuatu yang disebut dengan Irhas (kejadian-kejadian luar biasa). Tetapi sebagian kejadian itu tidak dapat dibuktikan melalui riwayat yang sahih. Seperti cerita ketika waktu malam nabi lahir, datangnya aisyah dan maryam yang menjadi bidan atau menyambut kelahiran nabi (ini tidak ada riwayatnya).

Ketika di tengah kehidupan Mekkah jahiliyah, nabi SAW mulai berdakwah pada keluarga terdekatnya yaitu bani Hasyim dan akhirnya diterima oleh Ali bin Abi Thalib dan Abu Thalib, pamannya. Ini episode paling penting dalam kehidupannya. Apabila nabi SAW dijadikan rasul, maka dia telah mengubah cara pikir menurut sikap dan sudut pandang orang-orang Mekkah kepada nabi Muhammad SAW.

Ketika nabi SAW berdakwah dan dianggap gila bahkan dilempar batu dan kotoran hewan ke badan nabi SAW. hal ini karena, banyak penentang mengintimidasi pengikut nabi agar meninggalkannya. Dan banyak yang mengkhawatirkan bahwa nabi Muhammad akan merusak penyembahan berhala yang sudah dilakukan sejak nenek moyang. Bahkan sampai kaum Quraisy ingin membunuh nabi SAW. dan banyak sekali tuduhan yang didapatkan oleh nabi SAW.Tetapi, nabi tidak membalasnya, padahal jika nabi berdoa maka Allah akan segera mengabulkannya.

Prof. MAZA menceritakan tentang nabi Muhammad SAW sedang menjalanan ibadah di Mekkah dan melaksanakan khutbatul Wada’. Dalam Khutbatul Wada’ yang sangat menyentuk sanubari jama’ah, di dalamnya menekankan bahwa pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan sesama. Menjaga kebersihan hati bahkan nabi SAW memperhatikan hak-hak wanita, sehingga nabi SAW memuliakan sosok wanita.

“Ketika nabi masuk Madinah, Madinah menjadi bersinar. Pada nabi Muhammad wafat Madinah menjadi suram. Sampai sebagian sahabat nabi lari dan bersembunyi karena terlalu sedih. Sebagian lainnya belum mempercayai jika nabi wafat.” Tutupnya.

(Badru Tamam)

Link Full Video

Kajian Rutin Ahad Pagi: Keistimewaan orang yang memiliki karakter Mukhbitin

Hari Ahad menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh orang lain, karena hari itu menjadi istimewa, ada sebagian digunakan untuk jalan-jalan bersama keluarga, ada yang untuk istirahat di rumah dan ada yang digunakan untuk berproduktivitas dengan mengikuti kajian ahad Pagi. Salah satunya yang diselenggarakan Masjid Islamic Center UAD yaitu kajian rutin setiap Ahad Pagi, pada kesempatan kali ini Ahad (17/09), yang mengisi materi yaitu Dr. H. Khoiruddin Bashori, M.Si. (Wakil Ketua LP2M PP Muhammadiyah).

Pada kajian kali ini, yaitu membahas tentang al-Mukhbitin di mana kata tersebut jarang sekali didiskusikan dan belum banyak yang mengetahuinya, padahal kata tersebut sangat relevan dengan keadaan masa kini. Dalam Q.S. al-Hajj ujung ayat 34 dan ayat 35 yang memberikan ciri-cirinya. Bahwa Allah SWT memberikan kabar gembira kepada orang yang tunduk dan patuh padaNya.

… وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ (۳٤) الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَالصَّابِرِيْنَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيْمِى الصَّلَوةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ (۳۵)

“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka. Orang-orang yang mendirikan shalat dan orang dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Q.S. Al-Hajj ayat 34-35)

Orang Mukhbitin ini selalu menjadi orang yang gembira dalam hidupnya walaupun banyak persoalan hidup. Maka semakin tinggi posisi atau tanggung jawab, persoalan pun makin banyak. Terkadang hidup juga sawang sinawang di mana ketika ada musibah dia saja yang terkena tetapi ketika ada kenikmatan orang lain yang mendapatkannya.

Orang yang terlihat ceria dan bahagia itu belum tentu dalam hatinya begitu, karena terkadang ada orang yang pandai menutup kesedihannya dengan senyum kepada orang lain. Dalam Q.S. al-Balad pun Allah memberikan statement bahwa manusia diciptakan dalam keadaan susah payah dalam banyak hal maka harus diperjuangkan.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ (٤)

“Sungguh, kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” (Q.S. Al-Balad ayat 4)

Dalam Ibnu Katsir diterangkan bahwa salah satu makna Kabad itu bukan hanya diartikan bersusah payah tetapi juga tegak lurus. Dan orang yang bisa tegak lurus itu orang yang sudah melalui banyak sekali perjuangan diri. Maka menikmati perjuangan itu penting, dengan mengatasi segala dinamika kehidupan dengan tersenyum.

Al-Mukhbitun berasal dari kata al-Khabtu atau al-Ikhbat, al-Khabtu bermakna permukaan tanah yang luas dan tenang, semacam lembah yang dalam, luas, sunyi dan terhampar. Ibnu Abbas RA mengartikan lafadz al-Mukhbitin dalam ayat ini sebagai mutawadhi’in (orang-orang yang merendahkan diri). Sedangkan menurut Mujahid, Mukhbitin artinya adalah Muthmainnin (orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah).

“itu orang yang hatinya selalu tenang meskipun sebetulnya dalam pengalaman hidupnya dia mengalami banyak hal yang tidak mudah tapi dia tetap tenang” jelasnya.

Maka ma’iyatullah (bersama Allah) itu penting. Bahwa dengan dekat dengan Allah dan yakin tidak ada apa-apa jika Allah diam saja, maka Allah akan membelanya. Kemudian Dia sampaiakn beberapa ciri-ciri Mukhbitun, yaitu: Pertama, jika asma Allah disebut itu hatinya bergetar. Al-Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar takut karena mengingat kekuasaan dan hukuman Allah atau merasa melihatNya.

Kedua, orang-orang yang bersabar terhadap apa yang menimpa dirinya. Sabar secara bahasa adalah al-Habsu, yaitu menahan jiwa dari sedih dan gelisah. Menahan diri dari rasa sedih dan gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari keluh kesah dan menahan anggota badan dari kekacauan. Kemudian sabar adalah menahan jiwa dalam tiga keadaan: 1). sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. 2). sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah SWT. 3). Sabar atas cobaan dari Allah SWT.

Ketiga, menegakkan shalat. Shalat adalah ibadah yang teragung. Ibadah ini memiliki pengaruh besar bagi kesalihan pribadi dan sosial seseorang.

“salah satu cara yang sangat bagus untuk memperbanyak zikir juga di saat setelah selesai shalat kemudian menghafal dan sebagainya, in syaa Allah menjadi lebih kuat kita bisa menjadi lebih tenang dalam menghadapi dinamika kehidupan” jelasnya.

Keempat¸orang yang hatinya selalu tenang itu orang yang dermawan bukan yang pelit. Salah satu resep dari Ibnul Qayyim bahwa hidup bermanfaat bagi orang lain dan dermawan, dia orang-orang yang paling lapang dadanya. Infak atau nafkah dalam ayat ini mencakup semua infak, baik yang wajib seperti zakat, kafarat dan nafkah keluarga juga mencakup yang mushabbah.

“Al-Mukhbitun senantiasa berinfak di jalan Allah, meski dalam kesulitan. Sedekah menjadi sebab dari kelapangan dada. Orang yang senantiasa hidupnya bermanfaat bagi orang lain, senantiasa berbuat baik kepada sesama dan dermawan adalah orang-orang yang paling lapang dadanya dan paling baik jiwa dan hatinya.” Tutupnya.

(Badru Tamam)

Link Full Video

Khutbah Jum’at: Hikmah menjadi generasi cerdas dan berkemajuan

Pada Jum’at (15/09), Masjid Islamic Center UAD didatangi para mahasiswa baru Universitas Ahmad Dahlan (UAD) untuk mengerjakan shalat Jum’at berjamaah. Pada kesempatan kali ini yaitu ustadz Jannatul Husna, Ph.D. bertindak sebagai khatib Jum’at.

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ

“Maka Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadilah: 11)

Dia sampaikan bahwa salah satu cara untuk mengangkat status atau mobilitas sosial ekonomi bangsa adalah melalui jalur pendidikan. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat. Pada ayat tersebut, agar orang-orang beriman menjadi generasi yang cerdas berkemajuan menurut al-Quran dan hadis.

Jannatul Husna berikan beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu pertama, menuntut ilmu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah. sebagaimana nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa menuntut ilmu itu kewajiban bagi setiap orang muslim.

“bagi setiap muslim karena itu pertama yang perlu ditanamkan adalah untuk apa kita kuliah? Jangan sampai kuliah ini hanya kita buat sebagai rutinitas saja seperti kebanyakan setelah orang tamat SD masuk SMP setelah SMP lanjut SMA kemudian kuliah”

Dia tegaskan kuliah itu dalam rangka menyempurnakan perintah Allah dan rasul yaitu menuntut ilmu. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa seruan menuntut ilmu itu sejatinya harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Jangan sampai niat karena ingin disebut terdidik atau kaum intelektual saja, hal ini yang dikhawatirkan oleh nabi SAW.

Atau bahkan ingin berdebat dikalangan orang-orang bodoh atau karena ingin pandangan masyarakat tertuju padanya maka mereka akan berada di dalam neraka. Dalam hadis lain disebutkan bahwa pentingnya menuntut ilmu dimulai dengan niat yang baik yaitu ketika diberikan peringatan oleh nabi SAW dalam sebuah riwayat bahwa kelak ada tiga golongan manusia yang diadili di hadapan Allah SWT, salah satunya adalah kaum intelektual.

“… giliran orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Setelah itu dihadapkan kepada Allah, maka orang itu ditanya, “Apa yang telah kamu lakukan di dunia hai hambaKu?” Allah SWT berkata padanya, “Kamu telah berdusta. Sebenarnya kamu mencari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain agar kamu disbeut orang alim. Kamu un membaca al-Qur’an agar kamu disebut sebagai orang yang pandai membacanya.” (H.R. Muslim)

Dia sampaikan pesan dan mengaja kepada mahasiswa baru untuk memulai estafeta kehidupan yaitu proses perkuliahan dengan niat yang baik dalam rangka mendapatkan keridhaan Allah SWT karena menuntut ilmu adalah kewajiban dalam agama. Kedua, belajar dengan sungguh-sungguh, karena dengan kesungguhan itu menjadi nikmat terbesar bagi para penuntut ilmu terkhusus yang berstatus mahasiswa.

Orang yang bisa melanjutkan kuliah itu menjadi nikmat kesempatan di mana tidak semua orang dapat melanjutkannya, tetapi harus dimanfaatkan sebaik mungkin dengan menggali potensi skill dan mengembangkannya. Dan masa muda ini menjadi sesuatu mudah dilakukan untuk berprestasi dan akan sulit ketika sudah masa tua. Karena nabi SAW bersabda dalam banyak riwayat bahwa pentingnya mengoptimalkan usia muda sehingga tidak menyia-nyiakan usia muda. Sebagai dalam hadis nabi tentang lima kesempatan sebelum data lima kesempatan berikutnya, salah satunya mengoptimalkan masa muda sebelum masa tua.

“Mari kita bersungguh-sungguh dalam belajar, ikutilah perkuliahan dengan baik, asah kemampuan kita, berinteraksi, leadership, kita komunikasikan kita melalui organisasi yang memacu minat dan bakat kita menjadi mahasiswa yang luar biasa. Dan menjadikan lingkungan kita benar-benar mampu mendorong kita menjadi pribadi-pribadi yang terbaik.” pesannya

Ulama juga berpendapat tidak mungkin ilmu itu didapat dengan berleha-leha atau kebalikan dari sungguh-sungguh. Ketiga, harus merawat ketaatan dan ketundukkan kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan salah satu dari tujuh generasi adalah seorang pemuda atau pemudi yang tumbuh dan berkembang dalam ketaatan kepada Allah SWT.

Dalam Islam ilmu tidak hanya dapat dikejar dengan mengoptimalkan kemampuan indera tetapi Allah menitipkan ilmu yang tidak diketahui melalaui ketaatan dan ketundukkan seorang hamba kepadaNya. dengan semua hal itu, kelak menjadi generasi yang cerdas dan berkemajuan seperti yang diisyaratkan oleh nabi SAW.

(Badru Tamam)

Link Full Video:

Perjuangan menghadirkan generasi Qur’ani: Keutamaan membaca al-Qur’an

Pagi yang cerah di hari libur (10/9), Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) melanjutkan kajian Sirah Nabawiyah bagian kedua yang disampaikan oleh ustadz Akhmad Arif Rif’an dengan tema perjuangan menghadirkan generasi Qur’ani.

Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam hidup orang-orang bertakwa, menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan atau pedoman dan dengan hal itu Allah berikan jaminan kepada mereka. Jaminan pertama dari Allah akan dinilai fi sabilillah ketika menuntut ilmu. Selanjutnya ketika mereka baca al-Qur’an dan menyampaikan kepada suatu kaum di masjid maka Allah turunkan ketenangan bagi mereka, yaitu: hati, diliputi kasih sayang Allah, disebutkan para malaikat melindungi mereka dengan sayapnya dan disebut-sebut oleh Allah dihadapan para malaikat.

Keutamaan dalam membaca al-Qur’an menjadi penting dikarenakan banyak kebaikan yang dapat diperoleh sebagaimana dalam hadis bahwa dengan membaca satu huruf al-Qur’an saja itu akan mendapatkan 10 kebaikan. Pada kajian pertama tentang perjuangan menghadirkan generasi qur’ani, diawali dengan kisah perjuangan Rasulullah SAW selama 23 tahun berdakwah di Mekah dan Madinah, ini menjadi alasan di antara ayat-ayat yang turun dalam al-Qur’an ada yang disebut ayat Makkiyah dan Madaniyah.

Di dalamnya juga dijelaskan Rasulullah diutus karena karakteristik buruk orang-orang yang disebut dengan zaman jahiliyah bahkan dalam al-Qur’an dijelaskan juga karakter yang dimiliki rasulullah yaitu  tidak dapat membaca atau menulis (umi). Kedatangan rasulullah SAW di Mekkah sesuai dengan doa nabi Ibrahim AS (Q.S. Al-Baqarah: 129).

Dari ayat tersebut, memohon kepada Allah agar diutus rasul yang membacakan ayat-ayat Allah. maka Allah kabulkan sesuai pada Q.S. Al-Baqarah ayat 151. Dalam redaksi ayat tersebut, ada kata tilawah. Tilawah di sini tidak hanya dapat diartikan membaca saja tetapi juga mempelajarinya, menghafalkannya dan mengamalkannya serta bentuk pengagungan Allah karena nabi dan rasul tidak pernah menggunakan kata Qoro’a (membaca) tetapi menggunakan kata tilawah

Kemudian dijelaskan lagi pada Q.S. Ali-Imran ayat 164 dan Q.S. Al-Jumu’ah ayat 2. Ini yang menggambarkan bahwa Rasulullah diperintah untuk tilawah al-Qur’an. Agar memperkuat pemahaman, pertama Q.S. Al-Kahfi ayat 27 dan al-Ankabut ayat 45 2 ayat tersebut menggunakan kata tilawah, sehingga tidak boleh meremehkan al-Qur’an, karena keutamaanya disebutkan kurang lebih 15 ayat dalam al-Qur’an.

. “dalam mendidik generasi penerus, kita tidak boleh tidak mengenal al-Qur’an, harus mengenal al-Qur’an.” Jelasnya.

Allah SWT menjelaskan apa yang diperintahkan kepada nabi untuk menyembah Tuhan dan Mekah menjadikan tempat suci dan kekuasanNya, agar termasuk orang-orang yang berserah diri (Q.S. An-Naml ayat 91-92). Tilawah menjadi perintah bagi umat Islam yang harus kita jaga, karena rasulullah SAW bersabda bahwa di antara puncak kebaikan seorang hamba itu terletak pada interaksinya dengan al-Qur’an.

“Ahli Qur’an adalah keluarga Allah itu menunjukkan pengakuan dan penghargaan bahwa mereka yang dekat dengan al-Qur’an sangat dekat dengan Allah SWT jika membacanya, mempelajarinya, menghafalnya dan mengamalkannya dengan benar. Semoga menjadi penambah kekuatan bagi kita dalam interaksi kita dengan al-Qur’an dan jalan bagi kita untuk menguatkan generasi.” Tutupnya.

(Badru Tamam)

Link Full Video

Khutbah Jum’at: Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid

Khutbah Jum’at kali ini tentang pemberdayaan ekonomi umat berbasis masjid. Di mana hal ini menjadi bahan renungan dan nasihat untuk semua kaum muslimin. Pada kesempatan kali ini, Jum’at (8/9) khutbah Jum’at kali ini disampaikan oleh Dr. Riduwan, S.E., M.Ag. kepala KUBI Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Riduwan menceritakan tentang MUI yang bekerjasama denan Dewan Masjid Indonesia wilayah DIY untuk menyelenggarakan workshop terkait pemberdayaan masjid. Dengan harapan, masjid-masjid yang ada itu memiliki orientasi dakwah yang luas dengan membuat program-program yang sejalan dengan kebutuhan para jama’ah.

Untuk dapat mengetahui kebutuhannya adalah dengan menganalisis sederhana tentang persoalan yang terjadi pada jama’ah masjid. Sehingga takmir masjid bisa memiliki peta permasalahan sosial ekonomi dan lainnya pada para jama’ah.

Hal ini dikarenakan  program-program yang dibangun oleh takmir masjid itu belum berorientasi pada kebutuhan jama’ah dan lebih banyak pada keinginan pemahaman dari para pengurus takmir masjid. Sehingga, adanya masjid belum menjadi tempat solusi kehidupan di tengah masyarakat sekitarnya.

Ekonomi dan sosial jama’ah juga menjadi permasalahan utama di mana kemiskinan secara nasional hampir 10% dari jumlah penduduk Indonesia. Maka, dia telah mengembangkan studi tentang tentang penelitian model pembiayaan mikro untuk pengentasan kemiskinan berbasis nelayan. Di mana masyarakat pesisir utara dari Pacitan sampai Cilacap mengalami persoalan kemiskinan yang sangat parah sesuai dengan data dari pemerintah.

“sumber penghidupannya terbuka sangat luas kalau melaut dan seterusnya, tapi karena rata-rata mereka telah mendapatkan pinjaman berbunga dan berdenda tinggi, sehingga hasil melautnya seringkali tidak memadai untuk kebutuhan hidupnya apalagi mengembangkan kehidupannya menjadi tidak miskin lagi tentu ini sangat ironis” jelasnya.

Dia sampaikan bahwa yang menikmati sumber penghidupan itu bukan mereka yang bekerja di sektor itu tapi yang berada di atasnya. Ada faktor lain yang mendorong untuk memenuhi kebutuhan dan pencapaiannya, yaitu dengan kehadiran seseorang untuk dapat membantu membangun penyadaran.

Sebagaimana dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata “miskin” lebih dari 25 kali dengan berbagai derivasinya. Hal ini mengandung tujuan agar yang mengetahui dan memiliki kesadaran tinggi untuk membantu mereka lebih serius. Riduwan juga menjelaskan bahwa masjid dapat jadi model yang memperdayakan ekonomi bagi masyarakat miskin, sehingga tidak hanya membicarakan persoalan ibadah kemakmuran masjid tetapi juga kehidupan muamalah duniawiyah.

“mudah-mudahan ini bisa menjadi stimulasi bagi kita individu maupun kolektif untuk menata kembali bagaimana program pemberdayaan masyarakat miskin berbasis masjid kita masing-masing. Jika kita bisa berbuat semampu kita maka kontribusi Islam dalam upaya pengurangan kemiskinan akan bisa diwujudkan.” Harapnya.
(Badru Tamam)

Link Full Video

Khutbah Jum’at: Pentingnya Tiga Hal dalam Hidup

Pada hari Jum’at (1/9), sudah waktunya rutinitas seorang muslim untuk melaksanakan shalat Jum’at, salah satunya di masjid Islamic Center UAD, yang berkesempatan menjadi khatib adalah Dr. Untung Cahyono, M.Hum. dia adalah Dewan Pakar Majelis Pendayagunaan dan Wakaf PP Muhammadiyah.

Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 218 ada tiga kata yang sangat penting yakni Amanu orang beriman), Hajaru (orang yang berhijrah) dan Jahadu (orang yang jihad) itu semua orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Dia sampaikan pertama bahwa iman menjadi persoalan yang sudah lama untuk selalu ditekankan oleh siapapun terkait dengan pembinaan baik individu maupun jamaah.

Dalam kehidupan umat Islam berbicara iman ini tidak sekedar terkait dengan keyakinan saja tetapi juga berkaitan dengan yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan kehidupannya dalam banyak hal lebih baik.

Kedua, orang-orang yang berhijrah secara umum dapat dipahami arti berhijrah adalah berpindahnya dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketiga, orang-orang yang berjihad. Kata jihad dalam negeri ini disampaikan sebagai hal yang negatif. Di mana pernyataan itu karena dilakukan oleh orang-orang yang tidak benar, sehingga disimbolkan sebagai negatif. Bersamaan dengan itu juga, umat Islam harus bisa memahami terkait hal itu baik lewat omongan atau tulisan agar tidak berpikir seperti itu.

Dia sampaikan iman, hijrah dan jihad sebenarnya itu sesuatu yang secara individu atau jamaah tidak boleh lepas dari pemahaman kita sebagai umat Islam dalam melaksanakan dirinya sebagai hamba Allah.

“Karena ketika soal iman tidak pernah ada yang menyukai dan kemudian kualitas kehidupan masyarakat menurun dari sisi keimanan, yang kemudian berimbas pada perilaku yang merusakkan dirinya bahkan juga merusakkan warga dan masyarakat, maka tentu itu sebuah persoalan.” Jelasnya.

Iman menjadi skala prioritas dan amat penting bagi seorang muslim. Kedua, berhijrah pada hakikatnya kita dituntut untuk hijrah. Terutama untuk mengubah dari hal yang baik menjadi lebih baik. dari keberadaan pendidikan, ekonomi dan lainnya berkembang menjadi lebih baik dan bermanfaat.

“Tapi ketika lepas dari pikiran itu maka menjadi persoalan negara ketika tidak ada lagi yang punya respect, tanggung jawab dan perhatian terhadap hijrah. Dan kemudian bermakna jika berpindah dari situasi yang tidak baik menjadi lebih baik.” terangnya.

Ketiga adalah jihad. Tentu jihad menjadi sebuah perjuangan dalam segala hal dalam dakwah pun demikian. Maka, tidak bisa satu sisi ekonomi maju tapi moralitas dibiarkan, begitupun sebaliknya.

“Tentu saja kita juga sadar belum terlalu lama umat Islam memiliki peran yang signifikan. Bahkan saat ini relatif menurut saya setidaknya umat Islam sudah cukup kuat, tapi begitu masuk persoalan yang harus melibatkan diri terkait dengan keimanan, maka disitu ujian komitmen seseorang”. Tambahnya.

Dari hal itu, diupayakan umat Islam tidak hanya sekedar mandiri tapi juga memiliki mentalitas keimanan yang memadai. Jika keimanan sudah memadai, maka diimbangi dengan sebuah usaha untuk merubah keadaan jadi lebih baik.

(Badru Tamam)

Link Full Video