Sejarah dan Keutamaan Salat Tarawih

YOGYAKARTA—”Kita anggap Ramadhan itu sebagai tamu. Bukti Allah swt mencintai kita adalah dengan adanya bulan suci Ramadhan ini. Rasulullah saw pernah bersabda: “Seandainya kalian tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, maka pasti kalian akan meminta seluruh bulan menjadi Ramadhan.” Lalu apa kelebihan dari Ramadhan?  Di bulan Ramadhan dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah swt, walaupun kita tidak meminta ampun kepada-Nya.  kedua ibadah yang kita lakukan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah swt.” Tutur ustaz Okrisal Eka Putra saat mengisi kajian Ahad pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (20/3).

Ustaz Okrisal menyampaikan sebuah prolog bahwa Ramadan adalah bulan tamu, maka kita perlu untuk mengistimewakannya sebagaimana kita mengistimewakan tamu yang datang ke rumah. Di antara cara untuk mengistimewakan Ramadan adalah:

Pertama, mengubah prilaku. Yaitu dengan mengurangi amalan-amalan yang sia-sia (tidak bermanfaat). Jadi, di Bulan Ramadan nanti harus mampu mengurangi dan bahkan meninggalkan hal-hal yang tidak menambah dan meningkatkan ilmu, iman, dan takwa. Contohnya menonton film/sinetron, bermain media sosial, dan yang lainnya. Allah berfirman:

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ

Artinya: Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun: 3)

Kedua, meningkatkan ibadah baik secara kualitas maupun kuantitas. Ibadah tersebut di antaranya salat, zikir, salawat, sedekah, membaca al-Qur’an, dan selainnya. Terkhusus membaca al-Qur’an, di bulan Ramadhan ini harus lebih ditingkatkan.

Ketiga, mengubah cara dalam mencari rezeki. Di luar bulan Ramadhan kita akan bekerja secara maksimal tidak mengenal waktu, maka di bulan Ramadan nanti hendaknya bekerja sewajarnya; mengurangi jam kerja atau jam buka toko. Hal ini dilakukan agar lebih banyak waktu yang disedikan untuk melakukan ibadah. Allah berfirman:

وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

Artinya: Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah Pemberi Rezeki yang terbaik. (QS. Al-Jumu’ah: 11)

Selanjutnya ustaz Okrisal menjelaskan salah satu amalan yang kita kerjakan di bulan suci Ramadhan adalah “qiyamul lail”. Adapun qiyamul lail itu termasuk salat yang paling utama setelah Salat Fardu. Rasulullah saw bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيْضَةِ قِيَامُ اللَّيْلِ

Artinya: Salat yang paling utama setelah salat fardu adalah qiyamul Lail. (HR. an-Nasa’i no. 1614)

Qiyamul lail artinya mendirikan salat di malam hari, yaitu salat malam dikerjakan sebelum tidur. Berbeda dengan tahajud, kalau tahajud itu dilakasanakan setelah seseorang tidur terlebih dahulu, baru kemudian bangun dan menunaikan salat malam. Kalau di bulan Ramadan, maka namanya “tarawih”. Tarawih itu sama dengan qiyamul lail. Artinya, seseorang yang telah menunaikan salat tarawih tidak perlu untuk menunaikan qiyamul lail. Di zaman Rasulullah saw dan para sahabat, kebanyakan mereka menunaikan salat tarawih itu di pertengahan malam (tidak habis Isya).

Qiyamul lail atau salat malam termasuk di antara perkara yang begitu penting, karena disebutkan dalam satu hadis bahwa salat malam adalah di antara penyebab masuknya seseorang ke dalam surga tanpa hisab. Ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Disebutkan dalam hadis Imam Ahmad bahwa kelak di padang Mahsyar para malaikat turun dalam keadaan berbaris. Mereka mencari dua kelompok manusia; pertama, kelompok yang rajin menunaikan salat tahajud (salat malam). Malaikat bertanya siapa yang biasa menunaikan salat tahajud? maka berdirilah mereka yang senantiasa menunaikan salat tahajud. Lalu malaikat mengatakan kepada mereka, “silakan engkau masuk dalam surga tanpa hisab”; kedua, kelompok orang yang sabar dalam menghadapi musibah. Kelak mereka ditanya, “siapa yang sering kena musibah?” Lalu mereka akan dipersilakan untuk masuk ke dalam surga tanpa hisab.

Kemudian ustaz Okrisal menjelaskan Rasulullah saw dalam menunaikan salat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan sama, yaitu sebelas raka’at; 8 raka’at tahajud dan 3 raka’at witir. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat. Caranya adalah beliau saw mengerjakan 4 rakaat, tetapi jangan tanya elok dan lamanya. Kemudian 4 raka’at lagi, lalu ditutup dengan witir 3 raka’at.

Ibnu Abbas pernah menceritakan bahwa saat dirinya salat malam bersama Rasulullah saw, beliau saw dalam 1 raka’atnya membaca 5 juz al-Qur’an. Pada rakaat pertama yang dibaca oleh Rasulullah  saw adalah surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa’.

Mengapa Rasulullah saw menunaikan tahajud hanya 8 rakaat? Ustaz Okrisal menjelaskan karena bacaan beliau panjang dan sudah mau mendekati waktu Subuh. Ketika menjelang Subuh maka beliau saw akan menutupnya dengan salat Witir.

Sebenarnya jumlah rakaat salat malam itu tidak terbatas. Ada yang 20 rakaat, di Madinah 36 raka’at, dan bahkan Imam Ahmad bin hambal itu sampai dengan 300 raka’at. Jadi, salat malam itu tidak ada batasnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah. Jadi, jika lebih dari 8 raka’at itu tidak termasuk perbuatan bidah. Cuma, ya Rasulullah hanya 8 rakaat, tetapi yang perlu dicontoh jangan cuma raka’atnya, bacaannya pun perlu untuk dicontoh.” Ujar pengurus Majelis Tablig PP Muhammadiyah.

Kata Tarawih berasal dari kata “tarawaha” yang artinya santai. Di zaman sahabat, setelah menunaikan salat dua raka’at ada istirahat atau jeda terlebih dahulu. Kemdudian dilanjutkan kembali. Jadi, salat malam di bulan Ramadan tersebut ditunaikan dengan santai dan tumakninah.

Pada zaman Rasulullah saw, beliau pernah melakukan salat Tarawih secara berjamaah pada tanggal 26 dan 27  Ramadan. Sahabat ada yang ikut berjamaah bersama beliau. Keesokannya bertambah banyak sahabat yang ikut salat malam bersama Rasulullah tersebut. Maka Rasulullah pun khawatir hal tersebut dapat menjadi wajib, sehingga pada malam 28 Ramadhan beliau tidak keluar menuju masjid. Ada sahabat yang bertanya mengapa Rasululullah saw tidak ke masjid, maka beliau pun menjawab takut hal tersebut akan dianggap wajib. Akhirnya beliau saw melakukan salat secara sendiri di rumahnya.

Ustaz Okrisal lalu menjelaskan bahwa di zaman sahabat, mereka pun melakukan salat tarawih secara sendiri-sendiri. Barulah pada masa khalifah Umar Bin Khattab, beliau melihat kondisi saat itu kurang “asyik”, sebab para sahabat melakukan salat sendiri-sendiri di setiap penjuru masjid. Lalu Umar bertanya kepada para sahabat, “Mengapa tidak kita satukan saja dalam melaksanakan salat malam ini?” Lalu ditunjuklah sahabat Ubay ibn Ka’ab untuk menjadi imam saat itu. Jumlah raka’at salatnya sebanyak 20 rakaat, tetapi bacaannya dikurangi tidak terlalu panjang.

Rasulullah saw pun ketika menunaikan salat secara berjamaah, bacaannya tidak panjang. Ukuran panjang bacaan ayat maksimal seperti surat al-A’la. Kecuali apabila kita sudah janji untuk menunaikan salat tarawih satu juz, maka itu tidak mengapa. Kalau salat jamaah biasa, maka jangan panjang-panjang bacaan al-Qur’annya. Demikian ujar Ustaz Okrisal.

Rasulullah saw jikalau salat sunnah di rumah, maka jangan tanya bagus dan panjangnya salat beliau. Menurut ustaz Okrisal itulah ciri-ciri orang yang ikhlas, yaitu semakin tersembunyi ibadah yang dilakukan, maka akan semakin sempurna ibadahnya.

Jadi salat tarawih secara berjamaah itu terjadi di masa Umar bin Khattab. Beliau menjadikannya secara berjamaah. Salah tidak? Tidak. Sebab ada salat sunnah yang boleh dilakukan secara berjamaah, seperti halnya salat malam. Hal ini juga pernah dilakukan Rasulullah bersama Abdullah ibn Abbas. Dengan demikian salat tarawih itu tata cara pelakasanaannga dengan santai, tumakninah, dan tidak terburu-buru. Pungkas ustaz Okrisal Eka Putra. (Ahmad Farhan)

 

Problem Rukyat dan Penggunaan Hisab

YOGYAKARTA—“Hisab artinya menentukan awal bulan dengan memperhitungkan posisi geometris benda langit yang tiga matahari bulan dan bumi di angkasa sana. Sedangkan rukyat itu menentukan awal bulan hijriyah dengan melihatnya secara langsung.” Tutur Ustaz Prof. Syamsul Anwar pada kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (13/3).

Ustaz Syamsul menjelaskan biasanya penggunaan rukyat ini dilakukan untuk menentukan tiga bulan ibadah; Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Rukyat itu biasanya dilakukan pada tanggal 29 untuk menentukan apakah besok sudah masuk tanggal 1 atau belum.

Ada perbedaan di kalangan umat Islam terkait dengan metode dalam penentuan awal bulan; ada yang menggunakan rukyat dan ada yang menggunakan hisab. Lalu, apa problem yang muncul di sana?

Ustaz Syamsul menyampaikan bahwa Ramadan 1443 H akan jatuh pada Sabtu, 2 April 2022 M. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan yang dilakukan; ijtimak akhir Syakban 1443 H terjadi pada Jum’at, 29 Syakban 1443 H/1 April 2022 M, pukul 13:27:13 WIB; tinggi bulan pada hari itu saat gurub (terbenamnya matahari) di Yogyakarta adalah +2° 18′ 12″. Di seluruh wilayah Indonesia bulan berada di atas ufuk. Dengan demikian, 1 Ramadan 1443 dimulai pada Sabtu, 02 April 2022 M.

Ada tiga syarat suatu bulan dapat dikatakan sudah memasuki bulan baru. Ketiga syarat tersebut harus terpenuhi seluruhnya.; pertama, telah terjadinya ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak tersebut terjadi sebelum matahari tenggelam (bulan berada di atas ufuk ketika matahari tenggelam); ketiga, pada saat terbenam matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk artinya bulan belum terbenam ketika matahari terbenam

Ustaz Syamsul menjelaskan kata “ijtimak” itu merupakan bentukan dari “ijtama’a-yajtami’u-ijtima’an” yang artinya bertemu dan berkumpul. Dalam istilah ilmu Falak ijtimak adalah “konjungsi”. Artinya, benda langit yang tiga –matahari, bumi, dan bulan itu berada pada satu garis yang sama (sejajar).

Bulan itu mengelilingi bumi. Ketika bulan mengelilingi bumi, maka bumi mengelilingi matahari. Durasi lamanya bumi mengelilingi matahari adalah 1 tahun sedangkan lamanya durasi bulan mengelilingi bumi adalah 29 hari 12 jam 44 menit 28 detik. Ini adalah waktu rata-ratanya. Semua benda langit tersebut mengelilingi ke arah kiri seperti halnya orang yang thawwaf di Ka’bah atau istilahnya adalah “berlawanan dengan arah jarum jam”.

Bulan mengelilingi bumi waktu yang dibutuhkan sekitar 27 hari 1/3 hari, tetapi untuk mencapai garis lurus antara bumi, bulan, dan matahari diperlukan waktu tambahan selama 2 hari, sehingga 29 hari lebih itu barulah terjadi ijtimak ke ijtimak. Setelah terjadinya ijtimak, untuk terlihatnya permukaan bumi yang disinari matahari diperlukan perjalanan beberapa jam lagi. Dalam ilmu Falak ini disebut dengan “ketinggian”.

“Jadi, ketika matahari terbenam di ufuk itu dari mata kita ke ufuk ditarik sebuah garis lurus.  Kemudian dari mata kita ditarik lagi satu garis lainnya melihat ke arah bulan di atas ufuk pada saat matahari tenggelam.  Sudut yang terbentuk yaitu garis lurus ke arah titik bulan dengan garis lurus ke atas ufuk itulah namanya ketinggian.” Ujar ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Ustaz Syamsul kemudian menjelaskan bahwa ada ada beberapa faktor yang memengaruhi bulan itu dapat terlihat (ketika rukyat); pertama, faktor geometris. Artinya sudut yang terbentuk di mata kita itu sudah besar atau belum. Maknanya bulan di atas ufuk itu tinggi atau sudah mendekati matahari atau bersama-sama dengan matahari; kedua, faktor atmosfer. Mungkin di sana banyak terdapat bintang-bintang, sehingga kita dapat terkecoh atau persis itu matahari, karena melihatnya itu ketika matahari tenggelam.

Lalu di mana posisi bulan itu? apakah di atas ufuk atau di bawahnya? Jika bulan lebih dahulu tenggelam, maka besok belum dapat dikatakan bulan baru, tetapi lusa. Ini karena saat matahari tenggelam bulan tidak terlihat (sudah tenggelam duluan). Ini merupakan problem.

Ada problem lain, apakah melihat bulan tersebut itu menggunakan alat atau tidak seperti teropong? Sebab Rasulullah saw pun melihatnya secara langsung tanpa menggunakan alat. Dengan demikian rukyat memiliki beberapa problem; pertama, problem geometris. Ini terkait dengan posisi-posisi benda langit; matahari bulan dan bumi ditambah dengan kondisi atmosfer; kedua, problem fisiologis. Yaitu kesehatan dan ketelitian mata dalam melihat. Menggunakan alat canggih pun terkadang bulan tidak terlihat, terlebih dengan menggunakan mata langsung.

Selanjutnya problem psikologis. Berdasarkan hasil penelitian di sejumlah negara, kecenderungan seseorang secara psikologis terdorong untuk timbulnya perasaan melihat (bulan/hilal) yang menurut ilmu itu belum mungkin terlihat. Penyebabnya adalah adanya dorongan dan harapan besar melihat tersebut, maka entah apakah itu halusinasi atau bukan.

Ustaz Syamsul menambahkan, jika kita menggunakan rukyat untuk menentukan 1 Ramadan, maka baru bisa dilakukan pada tanggal 29-nya. Belum lagi dipengaruhi oleh faktor cuaca. Sesungguhnya bulan sudah besar, tetapi karena cuaca menjadikannya tidak terlihat. Ini berbeda dengan hisab Ramadan dapat ditentukan sejak jauh-jauh hari.  Bulan itu tidak dapat terlihat dalam satu hari yang sama di seluruh dunia, sebab adanya perbedaan wilayah dan perbedaan waktu.

“Pesan saya adalah bagi yang pakai rukyat ya pakai rukyat bagi yang pakai hisab pakai hijab jangan saling menyalahkan dan cela-mencela gunakan saja paham masing-masing kita kembangkan toleransi yang besar tetapi kita juga perlu untuk menyatukan itu itu sebagaimana yang telah saya katakan untuk menyatukan hal itu hanya bisa dengan hisab kalau rukyat tidak bisa.” Tutuo ketua MTT PP Muhammadiyah. (Ahmad Farhan)

Dalil-Dalil tentang Penentuan Awal Ramadan

YOGYAKARTA—“Ini (penentuan awal Ramadan) sebenarnya merupakan hal yang sensitif, karena di tengah-tengah masyarakat masih bersifat kontroversi. Ada perbedaan pandangan, di satu sisi rukyat dan di sisi lain Hisab.” Tutur Ustaz Oman Fathurohman saat mengisi kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (6/3).

Perbedaan pendapat dalam hal tersebut; rukyat dan hisab adalah hal yang biasa terjadi, sehingga kita tidak perlu risau dalam menyikapinya. Kalau kita bicara soal ini, ada satu hal yang harus dipahami yaitu “manhaj” yang digunakan oleh Muhammadiyah, sehingga kita akan paham mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab daripada rukyat dalam penentuan awal bulan. Ini bukan berarti Muhammadiyah menafikan rukyat.

Manhaj adalah suatu sistem yang di dalamnya memuat wawasan, sumber, pendekatan, serta prosedur-prosedur (metode) teknis yang menjadi pegangan dalam ketarjihan dan istidlal. Wawasan adalah hal-hal yang mencakup paham agama, tajdid, toleransi, keterbukaan dan tidak berafiliasi pada mazhab tertentu. Sedangkan sumber itu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. Keduanya menjadi sumber utama (primer).

Pendekatan mencakup pendekatan bayani, pendekatan burhani, dan pendekatan Irfani. Sedangkan metode yang digunakan ada metode bayani, metode ta’lili, metode sinkronisasi, serta metode lainnya.

Kemudian ustaz Oman menjelaskan bahwa berkaitan dengan penentuan Ramadan telah ada dalil yang menyebutkannya, yaitu dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 183-185. Allah berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُون

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183)

Ayat ini berisikan informasi kepada orang-orang yang beriman mengenai kewajiban puasa sebagaimana kewajiban puasa yang telah dilakukan oleh umat umat terdahulu.

أَیَّامࣰا مَّعۡدُودَ ٰ⁠تࣲۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةࣱ طَعَامُ مِسۡكِینࣲۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَیۡرࣰا فَهُوَ خَیۡرࣱ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَیۡرࣱ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

Artinya: (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 184)

Ayat tersebut menyebutkan tentang waktu kapan puasa wajib dilakukan yaitu dalam beberapa hari tertentu, lalu apa yang dimaksud dengan “beberapa hari tertentu” tersebut. Ini masih belum jelas, maka dijelaskan dalam ayat setelahnya.

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡیَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۗ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُوا۟ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Artinya: Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`ān, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS. al-Baqarah: 185)

Beberapa hari tertentu yang dimaksud dalam ayat sebelumnya yaitu di bulan “Ramadan” yang dalam bulan tersebut jumlahnya bisa 29 hari atau bisa juga 30 hari.

Adapun mengenai kalimat “Faman Syahida Minkum asy-Syahra” dalam QS. 2: 185 terdapat beberapa pemahaman; pertama, Muhammadiyah memahami maknanya adalah “maka barangsiapa mengetahui bulan Ramadan maka berpuasalah”; kedua, yaitu “barangsiapa hadir; tidak berpergian atau ada di tempat dalam bulan Ramadan maka berpuasalah”; ketiga, “maka barang siapa yang melihat hilal maka berpuasalah.”

Selanjutnya, ustaz Oman menjelaskan dalam peribadahan itu ada yang disebut dengan sebab syar’i wajibnya ibadah dilakukan. Adpaun sebab syar’i wajibnya puasa Ramadan adalah sudah masuknya bulan Ramadan. Jikalau Ramadan belum masuk, maka tidak wajib melakukan puasa Ramadan. Contoh lainnya sebab syar’i dari kewajiban ditunaikannya salat zuhur. Sebab syar’inya adalah telah tergelincirnya matahari.

Bagaimana caranya kita mengetahui atau menentukan masuknya bulan Ramadan? Dalam al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 5 dan Yunus ayat 5 secara eksplisit di dalamnya disebutkan/ada isyarat mengenai hisab (perhitungan) bulan.  Jika ditinjau dari dalalatun nas-nya maka penentuan awal bulan, waktu salat, dan yang lainnya dapat ditentukan dengan hisab (perhitungan).

Dengan demikian maksud dari dua ayat tersebut adalah pahamilah peredaran bulan dan matahari, sehingga dapat diprediksi/ditentukan kapan masuknya awal bulan, waktu salat, dsb.

Rasulullah saw pernah bersabda mengenai perintah berpuasa jika melihat hilal:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal bulan baru), maka berbukalah. Tetapi jika mendung (tertutup awan) maka estimasikanlah (menjadi 30 hari). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis tersebut ada dua petunjuk untuk mengetahui kapan puasa Ramadan; dengan melihat hilal atau dengan mengestimasikan/menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari.  Jikalau kita menggunakan rukyat, maka kita belum tahu kapan akan datangnya bulan Ramadan karena harus menunggu tanggal 29 Sya’ban terlebih dahulu, kemudian melakukan rukyatul hilal.

Kalimat “Faqduru lahu” memiliki beberapa pemaknaan; pertama, sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari; kedua, jika hilal belum terlihat maka perkirakanlah bahwa hilal ada dibalik mendungnya awan; ketiga dengan hisab (perhitungan).

Ada hadis lain yang menjelaskan mengapa di zaman Rasulullah menggunakan rukyat bukan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadan:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ. الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا ” يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ.

Artinya: Sesungguhnya umatku ummiy, tidak dapat menulis dan juga berhitung. Adapun bulan ini (Sya’ban/Ramadan) seperti ini dan seperti itu, yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ustaz Oman menjelaskan bahwa berdasarkan dua hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwasannya fungsi dari rukyat hilal adalah untuk memastikan apakah umur 1 bulan itu 29 hari atau 30 hari. Jika hilal tidak terlihat, maka bilangan bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Maka, hadis yang menyebutkan bahwasanya umat beliau saw itu ummiy menjadi alasan mengapa saat itu tidak menggunakan hisab, karena belum adanya pengetahuan terkait dengan hisab.

Ustaz Oman menyampaikan kaidah Fikih:

الحكم يدور مع علته و سببه وجودا و عدما

Artinya: “Hukum itu berdasarkan ada tidaknya illat dan sebabnya.

Jika tidak bisa rukyat maka dengan hisab dan sebaliknya jika tidak bisa hisap maka dengan rukyat.

Ada juga kaidah kontemporer:

الأصل في إثبات الشهر أن يكون بالحساب

Artinya: “Pada asalnya dalam menetapkan (awal) bulan itu dengan menggunakan hisab.”

Adapun dasar Muhammadiyah menetapkan untuk menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan didasarkan pada petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40:

وَٱلۡقَمَرَ قَدَّرۡنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِیمِ (39) لَا ٱلشَّمۡسُ یَنۢبَغِی لَهَاۤ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّیۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ وَكُلࣱّ فِی فَلَكࣲ یَسۡبَحُونَ (40)

Artinya: 39). Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. 40). Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasin: 39-40)

Terakhir, ustaz Oman menyampaikan mengenai kriteria awal bulan menurut Muhammadiyah yaitu ada tiga kriteria; pertama, harus sudah ada ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak tersebut terjadi sebelum terbenamnya matahari; ketiga, pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk. Artinya, bulan belum terbenam ketika matahari terbenam. Adapun 3 kriteria tersebut harus terpenuhi semuanya dan ini berlaku untuk semua bulan bukan hanya Ramadan.

“Kalau di Muhammadiyah tanggal 1 Ramadan itu adalah tanggal 1 yang ada di kalender. kalau rukyat bisa terjadi begini, di kalendernya tanggal 1 tapi karena tidak terlihatnya hilal, maka puasanya besoknya tanggal 2. Ini bisa terjadi, maka di Muhammadiyah tidak seperti itu, karena antara kalender dengan sistem peribadatan di bulan Ramadan itu sama, maka dengan melihat kalender yang terbit untuk 1 tahun sudah dapat ditentukan kapan puasa dan kapan lebaran.” Ujar ustaz Oman, wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Ahmad)