Dalil-Dalil tentang Penentuan Awal Ramadan

YOGYAKARTA—“Ini (penentuan awal Ramadan) sebenarnya merupakan hal yang sensitif, karena di tengah-tengah masyarakat masih bersifat kontroversi. Ada perbedaan pandangan, di satu sisi rukyat dan di sisi lain Hisab.” Tutur Ustaz Oman Fathurohman saat mengisi kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (6/3).

Perbedaan pendapat dalam hal tersebut; rukyat dan hisab adalah hal yang biasa terjadi, sehingga kita tidak perlu risau dalam menyikapinya. Kalau kita bicara soal ini, ada satu hal yang harus dipahami yaitu “manhaj” yang digunakan oleh Muhammadiyah, sehingga kita akan paham mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab daripada rukyat dalam penentuan awal bulan. Ini bukan berarti Muhammadiyah menafikan rukyat.

Manhaj adalah suatu sistem yang di dalamnya memuat wawasan, sumber, pendekatan, serta prosedur-prosedur (metode) teknis yang menjadi pegangan dalam ketarjihan dan istidlal. Wawasan adalah hal-hal yang mencakup paham agama, tajdid, toleransi, keterbukaan dan tidak berafiliasi pada mazhab tertentu. Sedangkan sumber itu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. Keduanya menjadi sumber utama (primer).

Pendekatan mencakup pendekatan bayani, pendekatan burhani, dan pendekatan Irfani. Sedangkan metode yang digunakan ada metode bayani, metode ta’lili, metode sinkronisasi, serta metode lainnya.

Kemudian ustaz Oman menjelaskan bahwa berkaitan dengan penentuan Ramadan telah ada dalil yang menyebutkannya, yaitu dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 183-185. Allah berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُون

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183)

Ayat ini berisikan informasi kepada orang-orang yang beriman mengenai kewajiban puasa sebagaimana kewajiban puasa yang telah dilakukan oleh umat umat terdahulu.

أَیَّامࣰا مَّعۡدُودَ ٰ⁠تࣲۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةࣱ طَعَامُ مِسۡكِینࣲۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَیۡرࣰا فَهُوَ خَیۡرࣱ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَیۡرࣱ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

Artinya: (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 184)

Ayat tersebut menyebutkan tentang waktu kapan puasa wajib dilakukan yaitu dalam beberapa hari tertentu, lalu apa yang dimaksud dengan “beberapa hari tertentu” tersebut. Ini masih belum jelas, maka dijelaskan dalam ayat setelahnya.

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡیَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۗ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُوا۟ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Artinya: Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`ān, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS. al-Baqarah: 185)

Beberapa hari tertentu yang dimaksud dalam ayat sebelumnya yaitu di bulan “Ramadan” yang dalam bulan tersebut jumlahnya bisa 29 hari atau bisa juga 30 hari.

Adapun mengenai kalimat “Faman Syahida Minkum asy-Syahra” dalam QS. 2: 185 terdapat beberapa pemahaman; pertama, Muhammadiyah memahami maknanya adalah “maka barangsiapa mengetahui bulan Ramadan maka berpuasalah”; kedua, yaitu “barangsiapa hadir; tidak berpergian atau ada di tempat dalam bulan Ramadan maka berpuasalah”; ketiga, “maka barang siapa yang melihat hilal maka berpuasalah.”

Selanjutnya, ustaz Oman menjelaskan dalam peribadahan itu ada yang disebut dengan sebab syar’i wajibnya ibadah dilakukan. Adpaun sebab syar’i wajibnya puasa Ramadan adalah sudah masuknya bulan Ramadan. Jikalau Ramadan belum masuk, maka tidak wajib melakukan puasa Ramadan. Contoh lainnya sebab syar’i dari kewajiban ditunaikannya salat zuhur. Sebab syar’inya adalah telah tergelincirnya matahari.

Bagaimana caranya kita mengetahui atau menentukan masuknya bulan Ramadan? Dalam al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 5 dan Yunus ayat 5 secara eksplisit di dalamnya disebutkan/ada isyarat mengenai hisab (perhitungan) bulan.  Jika ditinjau dari dalalatun nas-nya maka penentuan awal bulan, waktu salat, dan yang lainnya dapat ditentukan dengan hisab (perhitungan).

Dengan demikian maksud dari dua ayat tersebut adalah pahamilah peredaran bulan dan matahari, sehingga dapat diprediksi/ditentukan kapan masuknya awal bulan, waktu salat, dsb.

Rasulullah saw pernah bersabda mengenai perintah berpuasa jika melihat hilal:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal bulan baru), maka berbukalah. Tetapi jika mendung (tertutup awan) maka estimasikanlah (menjadi 30 hari). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis tersebut ada dua petunjuk untuk mengetahui kapan puasa Ramadan; dengan melihat hilal atau dengan mengestimasikan/menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari.  Jikalau kita menggunakan rukyat, maka kita belum tahu kapan akan datangnya bulan Ramadan karena harus menunggu tanggal 29 Sya’ban terlebih dahulu, kemudian melakukan rukyatul hilal.

Kalimat “Faqduru lahu” memiliki beberapa pemaknaan; pertama, sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari; kedua, jika hilal belum terlihat maka perkirakanlah bahwa hilal ada dibalik mendungnya awan; ketiga dengan hisab (perhitungan).

Ada hadis lain yang menjelaskan mengapa di zaman Rasulullah menggunakan rukyat bukan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadan:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ. الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا ” يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ.

Artinya: Sesungguhnya umatku ummiy, tidak dapat menulis dan juga berhitung. Adapun bulan ini (Sya’ban/Ramadan) seperti ini dan seperti itu, yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ustaz Oman menjelaskan bahwa berdasarkan dua hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwasannya fungsi dari rukyat hilal adalah untuk memastikan apakah umur 1 bulan itu 29 hari atau 30 hari. Jika hilal tidak terlihat, maka bilangan bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Maka, hadis yang menyebutkan bahwasanya umat beliau saw itu ummiy menjadi alasan mengapa saat itu tidak menggunakan hisab, karena belum adanya pengetahuan terkait dengan hisab.

Ustaz Oman menyampaikan kaidah Fikih:

الحكم يدور مع علته و سببه وجودا و عدما

Artinya: “Hukum itu berdasarkan ada tidaknya illat dan sebabnya.

Jika tidak bisa rukyat maka dengan hisab dan sebaliknya jika tidak bisa hisap maka dengan rukyat.

Ada juga kaidah kontemporer:

الأصل في إثبات الشهر أن يكون بالحساب

Artinya: “Pada asalnya dalam menetapkan (awal) bulan itu dengan menggunakan hisab.”

Adapun dasar Muhammadiyah menetapkan untuk menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan didasarkan pada petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40:

وَٱلۡقَمَرَ قَدَّرۡنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِیمِ (39) لَا ٱلشَّمۡسُ یَنۢبَغِی لَهَاۤ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّیۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ وَكُلࣱّ فِی فَلَكࣲ یَسۡبَحُونَ (40)

Artinya: 39). Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. 40). Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasin: 39-40)

Terakhir, ustaz Oman menyampaikan mengenai kriteria awal bulan menurut Muhammadiyah yaitu ada tiga kriteria; pertama, harus sudah ada ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak tersebut terjadi sebelum terbenamnya matahari; ketiga, pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk. Artinya, bulan belum terbenam ketika matahari terbenam. Adapun 3 kriteria tersebut harus terpenuhi semuanya dan ini berlaku untuk semua bulan bukan hanya Ramadan.

“Kalau di Muhammadiyah tanggal 1 Ramadan itu adalah tanggal 1 yang ada di kalender. kalau rukyat bisa terjadi begini, di kalendernya tanggal 1 tapi karena tidak terlihatnya hilal, maka puasanya besoknya tanggal 2. Ini bisa terjadi, maka di Muhammadiyah tidak seperti itu, karena antara kalender dengan sistem peribadatan di bulan Ramadan itu sama, maka dengan melihat kalender yang terbit untuk 1 tahun sudah dapat ditentukan kapan puasa dan kapan lebaran.” Ujar ustaz Oman, wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Ahmad)