Posts

Tiga Cara Allah Mengawasi Manusia

YOGYAKARTA—Allah berbicara kepada manusia itu melalui dua level; level yang pertama menggunakan diksi “yā ayyuhan-nās”; level yang kedua menggunakan diksi “yā ayyuhal-ladzīna āmanū.” Hal ini disampaikan oleh ustaz Andy Darmawan (Dosen UIN Sunan Kalijaga) saat memberikan tausiyah qabla Tarawih di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Rabu (06/04).

Pada level pertama, Allah berbicara kepada manusia menggunakan diksi “yā ayyuhan-nās”. Mengapa Allah menggunakan diksi yā ayyuhan-nās? Ustaz Andy menerangkan karena Allah Swt berbicara kepada seluruhnya bukan hanya manusia, tetapi juga alam semesta dan lingkungan kita. Contohnya di QS. al-Baqarah ayat 21:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya: Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 21)

Dalam ayat tersebut Allah berbicara kepada manusia seluruhnya dimulai dari orang-orang yang kafir hingga orang yang beriman tanpa terkecuali. Lalu, level yang kedua Allah berbicara kepada manusia, secara khusus untuk orang-orang yang beriman. Contohnya QS. Al-Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 183)

Ustaz Andy menyatakan bahwa dalam ayat tersebut kalau kita bahasakan dengan bahasa kita itu maknanya “Hai orang-orang yang beriman yang tidak beriman tidak hai”. Sesungguhnya orang-orang kafir pun berpuasa, bahkan orang-orang purbakala yang hidup 400 tahun SM ; sahabat-sahabatnya Socrates, Plato, Aristoteles, dan yang lainnya.  Zaman saat itu mereka berpuasa. Tujuannya adalah untuk penyucian diri dan harga diri mereka sebagai pimpinan kaum. Lantas, perbedaannya dengan kita di mana? Orang kafir itu berpuasa tetapi tidak ada SOP; buka sesuka hatinya, mereka tidak memakan hewan supaya nafsu hewaniyah tidak masuk ke dalam diri mereka, juga tidak memakan hal-hal yang akan merusak mentalnya.

“Umat Islam, terkhusus orang-orang yang beriman itu memiliki SOP; mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka, sehingga dalam berislam itu wajib hukumnya untuk mengikuti tuntunan yang jelas. Tuntunan ini dimiliki oleh orang yang beriman yaitu lā tusrik billāh, jangan berselingkuh di belakang Allah dengan cara apapun, dengan model apapun, dengan alasan apapun, dan dengan alibi apapun.” Tegas salah satu dosen di UIN Sunan Kalijaga ini.

Adapun orang-orang yang mengamalkan lā tusrik billāh itu relatif memiliki keimanan yang stabil, walaupun yazid wa yanqus, terkadang imannya naik dan terkadang menurun. Sehingga melaksanakan puasa Ramadhan itu adalah bagian dari yang disebut oleh Allah sebagai “āmanū” bukan “an-Nās” saja. Oleh karena itu kita tidak perlu geer Ramadhan sendiri, sebab orang-orang sebelum kita sudah berpuasa tetapi mereka tanpa adanya SOP. Kalau kita umat Islam memiliki aturan yang jelas.

Dalam Islam tuntunan itu diperlukan agar ibadah yang kita lakukan memiliki SOP yang jelas. Kecuali sosial. kalau sosial mau tanpa SOP itu boleh. Tapi kalau judulnya ibadah mesti harus ada SOP-nya. Kenapa demikian karena Allah mengawasi kita.” Pungkas ustaz Andy.

Selanjutnya, bagaimana cara Allah mengawasi kita? Ada tiga cara Allah mengawasi kita; pertama, Allah mengawasi manusia melalui manusia itu sendiri. Dasar hukumnya adalah QS. Qaf ayat 16:

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ

Artinya: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS. Qaf: 16)

Adapun cara yang kedua adalah Allah mengawasi manusia melalui malaikat-malaikat-Nya. Dasar hukumnya QS. Qaf ayat 17:

إِذۡ يَتَلَقَّى ٱلۡمُتَلَقِّيَانِ عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ قَعِيدٞ

Artinya: (Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat amal (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. (QS. Qaf: 17)

Allah senantiasa menempatkan dua malaikat di sebelah kanan dan kiri kita untuk mencatat kegiatan kita sehari-hari yang masyhur disebut dengan malaikat Raqib dan Atid. Dua pengawasan ini ternyata belum cukup, sehingga ada cara ketiga, yaitu yang mengawasi manusia adalah manusia itu sendiri. Dasar hukumnya QS. Yasin: 65:

ٱلۡيَوۡمَ نَخۡتِمُ عَلَىٰٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَتُكَلِّمُنَآ أَيۡدِيهِمۡ وَتَشۡهَدُ أَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

Artinya: Pada hari ini Kami tutup muLuṭ mereka; dan tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Yasin: 65)

Itulah mengapa berbuat baik saja belum cukup. Itu kaitannya baru perkara muamalah dengan manusia, tetapi kepada Allah belum. Kalau ada orang yang meyakini yang penting berbuat baik; tidak perlu salat, zakat, haji, infak, sedekah. Pertanyaannya, lalu siapa yang memberikan jantung, liver, ginjal, hati, mata, telinga, dan kedua kaki yang kokoh menopang tubuh itu? Kita belum berterima kasih kepada Allah baru berterima kasih di hadapan manusia saja.

“Di Taklim yang terakhir ini, pertama lā tusrik billāh, jangan berselingkuh di belakang Allah dengan cara apapun, dengan dalih apapun, dengan alibi apapun, dan dengan model apapun. Yang kedua kita diawasi oleh Allah melalui tiga mekanisme; yaitu oleh Allah sendiri, oleh para malaikat, dan oleh manusia itu sendiri.

“Karena itu mari di kesempatan Ramadhan ini kita maksimalkan tensi infak dan sedekah kita. Kita maksimalkan ibadah kita dan kita maksimalkan kebaikan-kebaikan yang akan kita presentasikan di 11 bulan yang akan datang.” Tutup Ustaz Andy Darmawan, salah satu dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Ahmad Farhan)

Menciptakan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur

YOGYAKARTA—“Ungkapan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sudah sering kita dengarkan, terlebih bagi jama’ah yg aktif di persyarikatan Muhammadiyah. Ungkapan ini bahkan menjadi slogan. Di dalam dokumen-dokumen resmi disebutkan bahwa tujuan kita membentuk organisasi, salah satunya adalah untuk membantu terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.” Demikian ungkap ustaz Ahmad Muttaqin (Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan BPH UAD) saat menyampaikan kultum qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Selasa (05/04).

Kalimat “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” ini termaktub dalam firman Allah Swt di dalam al-Qur’an:

لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ

Artinya: Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’: 15)

Kalau kita bertanya siapakah kaum Saba’ itu? Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Azhim menyebutkan bahwa Kaum Saba’ itu adalah sebutan bagi raja-raja di negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk di antara mereka adalah raja-raja dari Thababi’ah. Termasuk juga yang kita kenal yaitu Ratu Bilqis yang kelak menjadi istri Nabi Sulaiman.

Ustaz Muttaqin menerangkan bahwa dulu, kaum Saba’ ini berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang luar biasa; negerinya, kehidupannya, kelapangan rezekinya, tanaman-tanamannya, serta buah-buahnya melimpah ruah. Kemudian Allah Swt mengutus kepada mereka beberapa rasul. Tentu, para rasul tersebut menyeru agar mereka senantiasa memakan rezeki yang telah dianugerahkan-Nya dan bersyukur kepada-Nya dengan cara mentauhidkan-Nya, serta beribadah kepada-Nya.

Keadaan mereka yang makmur itu terus berlangsung hingga waktu yg dikehendaki oleh Allah. Namun, tiba-tiba saja mereka berpaling dari apa yang diserukan oleh para nabi dan rasul yang telah diutus kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang. Kemudian akibatnya mereka pun terpencar-pencar di banyak negeri. Mengenai kemakmuran negeri Saba’ ini, juga disebutkan oleh para mufassir lainnya.

Adapun ungkapan “baldatun thayyibatun” secara lughawi artinya adalah negeri yang baik dan itu mencakup seluruh kebaikan alamnya, sehingga secara sumber daya alam (SDA) di sana begitu luar biasa. Kemudian, ungkapan “wa rabbun ghafur” menunjukkan bahwa tuhan itu maha pengampun dan ini mencakup seluruh kebaikan dari prilaku penduduknya, sehingga berimplikasi datangnya ampunan dari Allah Swt.

“Ketika mereka belum maksiat dan abai terhadap perintah Allah negeri itu betul-betul makmur, ungkapan bahasa Jawanya adalah “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo” .  Beberapa mubalig sering memaknai ungkapan baldhatun thayyibatun dengan ungkapan Jawa tersebut. pungkas Ahmad Muttaqien BPH UAD.

Kemudian, bagaimana kebaikan dan kenyamanan negeri Saba’ itu? Imam asy-Syaukani menerangkan kemakmuran negeri ini ditunjukkan karena banyaknya pohon-pohon yang rindang lagi meneduhkan, serta buahnya yang bagus-bagus. Sedangkan Ibnu Zaid menerangkan dengan sebuah gambaran, yaitu di daerah mereka tidak pernah terlihat adanya nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan binatang-binatang lain yang sering mendatangkan penyakit. Bahkan digambarkan dengan yang lain, seandainya seseorang melewati dua tamannya, maka ketika dia masuk melewati taman tersebut dengan membawa keranjang kosong, maka keranjangnya akan penuh dengan buah-buahan tanpa ia petik dari pohonnya. Ini menunjukkan betapa makmurnya negeri Saba’ yang disebut oleh Allah sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Selain itu, Ibnu Katsir menjelaskan juga bahwa hal tersebut terjadi sebab cuaca yang baik dan alam yang sehat. Itu merupakan bentuk penjagaan dari Allah agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya.

Dari penjelasan mufassir terkait baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur ini kita dapat menangkap bahwa baldatun thayyibatun dapat tercipta dengan adanya dua dimensi sekaligus yaitu kemakmuran alam dan ketaatan kepada Allah Swt.

Selanjutnya, bagaimana dengan rabbun ghafur? Disebutkan oleh Ibnu Katsir ampunan Allah itu diperoleh oleh kaum Saba’ pada saat mereka terus-menerus mentauhidkan Allah. Imam ath-Thabari menyebutkan bahwa rabbun ghafur itu diperoleh ketika mereka menaati (perintah dan larangan) Allah, sedangkan Muqatil menyebutkan ampunan Allah atas dosa-dosa akan diperoleh ketika mensyukuri rezeki (pemberian) dari Allah swt.

Dari penjelasan para mufassir ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa rabbun ghafur itu akan diperoleh manakala kita senantiasa mentauhidkan Allah.

“Mari kita coba lakukan refleksi, mungkin kita sudah berbuih-buih mentauhidkan Allah secara lisan. Tahlil kita baca berulang-ulang. Namun pertanyaannya, sudahkah perbuatan kita, pikiran kita mentauhidkan Allah? Ketika mau pergi adik-adik mahasiswa lupa membawa hp, begitu lupa bawa hp seolah-olah dunia mau runtuh. Ketika lupa membawa hp lebih heboh dari lupa membaca basmallah. Ini tanda-tanda, jangan-jangan kita sudah menduakan Allah. Ketauhidan kita perlu untuk diasah lagi.” Tutur salah satu pengurus Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah.

Kemudian, syukur. Mungkin syukur kita sudah berbuih-buih juga, tetapi apakah tindakan kita sudah beryukur? Terkadang kita banyak mengeluh bahkan marah terhadap sesuatu yang belum bisa kita miliki. Pada saat yang sama kita lupa bersyukur kepada Allah terhadap apa yang sudah kita miliki

 

“Agar baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur miniaturnya tercipta di UAD, mari kriteria-kriteria ampunan Allah dengan tiga parameter tadi; mentauhidkan-Nya, menaati-Nya, dan mensyukuri rezeki-Nya senantiasa kita lakukan. Tidak hanya dalam lisan, tetapi juga dalam perbuatan.” Tutup ustaz Ahmad Muttaqin. (Ahmad Farhan)

 

Kesadaran Merasa Dekat dengan Allah Swt

YOGYAKARTA—“Paket dari ibadah puasa endingnya adalah dekat dengan Allah Swt. Ketika kita dekat dengan makhluk saja betapa bahagianya kita dan betapa mudahnya urusan-urusan kita. Begitu juga betapa dekatnya kita dengan keluarga, istri, anak-anak, suami, orang tua kita, bahkan cucu-cucu kita. Itu luar biasa. Terlebih dekat dengan Allah Swt.” Tutur ustaz Parjiman (Wakil Rektor 1 Bidang AIK UAD) saat memberikan kultum qabla tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Ahad (03/04).

Kemudian ustaz Parjiman membacakan Firman Allah Swt:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ

Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (QS. al-Baqarah: 186)

Sesungguhnya Allah Swt itu betul-betul dekat. Di ayat yg lain –QS. 50:16— Allah menegaskan bahwa diri-Nya itu amat dekat dengan hamba-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadinya sendiri.

Ustaz Parjiman menerangkan bahwa kesadaran adanya kedekatan itu penting bagi kita. Sebab, pada masanya kita tidak akan selalu bersama-sama. Memang sekarang kita bisa berjamaah bersama-sama, tetapi pada saatnya kita akan hidup sendiri, entah itu karena berbagai hal. Pasti kita akan mengalami masa-masa dalam kesendirian. Ketika dalam masa kesendirian itu kita tidak dekat dengam Allah, maka kita akan berada dalam keadaan yang nelangsa (celaka).

Ketika kita dekat dengan keluarga betapa bahagianya kita. Ini disebabkan oleh berbagai macam hal, sehingga terjadi komunikasi yang baik dan lancar. Demikian juga jikalau kita dekat dengan tetangga-tetangga kita. Banyak hadis yang menerangkan betapa pentingnya memiliki tetangga dan kita harus menghormati mereka. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan seakan-akan tetangga itu ada hak untuk mendapatkan warisan. Hal ini menunjukkan betapa bahagianya jikalau kita bisa hidup rukun dan dekat dengan tetangga-tetangga kita

“Kita juga tidak perlu mencari tetangga-tetangga yg semuanya muslim, karena memang ada paket kampung islami, paket perumahan islami. Sebab, jikapun kita semuanya Muslim, tetap akan ada permaslahan-permasalahan di dalamnya.

Saya selalu menggambarkan di perguruan tinggi tertentu nanti persaingannya antara Muslim dengan yang lainnya. Di tempat lain persaingannya antara sesama Muslim dengan A-Z. Ketika nilainya sama-sama A, maka di situ ada persaingan antara A1, A2, dan seterusnya. Jadi, jangan dikira ketika memutuskan untuk tinggal di suatu tempat yang semuanya Muslim pasti tidak ada masalah, karena masalah itu akan selalu ada dan justru ketika kita menyadari adanya masalah, barulah kita dapat dikatakan orang yang hidup dan normal. Sebab orang-orang yang tidak merasa punya masalah, itulah yang menjadi pusat permasalahannya. Pungkas Wakil Rektor 1 Bidang AIK UAD.

Selanjutnya, Adapun makna dari firman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah ayat 186 adalah ketika kita berdoa memohon pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Di antara doa-doa yang diijabah oleh-Nya adalah doa-doa yang dipanjatkan pada saat bulan suci Ramadhan, tetapi bagi orang yg sudah dekat dengan Allah pasti ia akan memintanya juga profesional. Jadi orang yang dekat itu tidak akan seenaknya sendiri. Ibaratnya, kalau kita sudah dekat dengan orang tua pun ketika kita meminta pada mereka, kita akan meminta dengan cara yang profesional. Tidak akan meminta sesuatu di luar kemampuan orang tua. Demikian juga ketika kita meminta pada Allah mesti profesional. Pasti kita tidak akan berdoa memohon, “Ya Allah tolong jadikan saya presiden”. Ya, kalau menjadi presiden dalam sinetron bisa. Tentu kita akan meminta pada Allah hal-hal yang pas bagi kita.

Ustaz Parjiman menegaskan bahwa ending kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan di samping la’allakum tattaqun juga ada yg lain, yaitu agar kita dekat kepada Allah. Jadi, dengan ibadah Ramadhan ini ending/goal kita adalah merasa dekat dengan Allah. Sebab, kalau sudah dekat dengan Allah, insya Allah kapan pun dan di mana pun kita berada kita tidak akan pernah merasa dalam kesendirian.

Kita harus sudah mulai melatih, apabila kesadaran merasa dekat dengan Allah itu sudah betul-betul kita rasakan, insya Allah di manapun dan kapan pun kita tidak akan pernah merasa khawatir, karena ternyata sehebat apapun rasionalitas kita untuk menggapai sesuatu, di sana ada qadarullah. Ada ukuran-ukuran Allah yang diberikan pada kita, tetapi bukan berarti kita harus pasrah, melainkan perlu ada ikhtiar yang dilakukan. Pada akhirnya tetap kembali pada qadarullah.

“Akhirnya, semua di antara kita memiliki peran yang begitu luar biasa. Pastinya setelah itu kita menyadari satu dengan yang lainnya saling menguatkan dan masing-masing memiliki peran yang luar biasa untuk memajukan Islam sehingga islam menjadi agama yang memang tinggi dan yang tidak pernah tertandingi oleh yang lain.” Tutup Ustaz Parjiman, Wakil Rektor 1 Bidang AIK UAD. (Ahmad Farhan)

 

Tiga Tingkatan Orang yang Berpuasa Menurut Al-Ghazali

YOGYAKARTA—“Mari kita sambut ibadah puasa ini dengan tauhid yang kuat-mengakar di hati kita dengan usaha maksimal zhahir dan batin, spiritual dan sosial, supaya kita betul-betul berhasil dan dapat membuktikan keberhasilan kita dalam menjalankan ibadah puasa di tahun ini.” Ujar ustaz Anhar Ansyory saat memberikan tausiyah sebelum Tarawih di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Sabtu (02/03).

Ustaz Anhar menyampaikan bahwa dalam rangka upaya mewujudkan puasa yang berkualitas tentu kita harus membaca dan memahami firman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah ayat 183:

يا ايُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah:183)

Ustaz Anhar menjelaskan dalam ayat ini Allah Swt menegaskan bahwa yang dipanggil/diseru dalam ayat ini untuk menunaikan ibadah puasa adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Jadi, selain orang-orang yang beriman tidak termasuk dalam kategori yang dipanggil oleh Allah Swt. Kenapa disebut panggilan? Karena ayat ini diawali dengan kata panggilan, yaitu “yā munāda“, yaitu “yā ayyuha-lladzīna āmanu”. Ayat tersebut sekaligus memberi isyarat kepada kita bahwa jika iman yang dituju oleh Allah, maka Iman pun yang akan menjawab, bukan jabatan, status, ras, golongan, serta bukan organisasi kita. Dengan demikian, Iman kita lah yang harus menjawab seruan tersebut.

Kalau kita bicara iman, inti dari iman adalah tauhid yaitu mengesakan Allah Swt, sehingga dalam setiap perintah dari Allah itu menunjukkan sebagai bukti bahwa kita mengesakan Allah Swt. Lalu, perintah tersebut apa? perintah wajibnya adalah kita berpuasa. Dalam ayat QS. al-Baqarah ayat 183 tidak termaktub kata “wajib”, lantas dimana yang mewajibkannya, padahal yang digunakan adalah kata “kutiba” yang berasal dari “kataba” yang artinya “telah tertulis atau ditulis”. Jadi puasa adalah syariat yang telah tercatat, dalam artian bahwa puasa ini menjadi kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh setiap orang Islam dari seluruh zaman sejak dahulu kala, sehingga ditegaskan lagi dalam redaksi ayatnya “kutiba alaikumus- siyam kama kutiba ‘ala-lladzina min qablikum”. Walaupun secara teknis pelaksanaan ada sedikit perbedaan dari syariat puasa pada para nabi sebelumnya Nabi Muhammad saw, baik itu jumlah hari atau yang lainnya.

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa puasa diwajibkan bagi kita? Ustaz Anhar menjelaskan bahwa jawaban singkatnya adalah untuk kepentingan manusia sebagai hamba Allah Swt. Ada yang perlu kita ingat, yaitu setiap perintah dari Allah itu mesti bertujuan untuk mengangkat harkat-martabat kita sebagai hamba, mengangkat kemuliaan kita kelak, serta membahagiakan kita. Mustahil Allah hendak menyengsarakan kita. Ini harus menjadi mindset berpikir kita.

Pertanyaan ketiga, betulkah untuk kita? lalu untuk kita itu apanya? Ustaz Anhar menjelaskan dengan puasa diharapkan kita dapat menjadi manusia-manusia yang bertakwa. Itu harapannya. Namanya harapan, kelak akan dapat menjadi kenyataan, sehingga dalam ayat menggunakan kata “la’alla” yang memiliki makna “lit-tarāji wat tawaquf” yang menunjukkan harapan. Sekali lagi, namanya harapan itu bisa menjadi kenyataan dan bisa juga tidak. Mudah-mudahan dengan puasa dapat mengorbitkan diri kita menjadi insan yang haqqa tuqatih (benar-benar) bertakwa. Orang-orang yang hak takwanya maka dia tidak akan berubah dan tidak akan bersifat temporer.

Kata “tattaqun” dalam bahasa Arab disebut dengan “fi’il mudari”, yaitu kata kerja yang memiliki makna sekarang, yang akan datang, dan berlangsung secara terus-menerus.

Mulai sekarang ketakwaan itu berlangsung terus-menerus sampai puasa saya akan datang.  Jadi ketakwaan yang tidak mengenal batas waktu dan tempat. Ini harus kita pahami agar kita kuat, tidak bersifat temporertidak bersifat lokal. Kita hanya mampu menunjukkan kita takwa, kita mampu mengendalikan hawa nafsu kita, mengendalikan lidah kita dari omong kotor, mengendalikan hati kita dari hati bejat pada bulan suci Ramadhan saja itu keliru. Justru pembuktianya kelak di bulan Syawwal. Kita yang akan membuktikannya sendiri bukan orang lain.” Tegas Kepala LPSI UAD.

Ustaz Anhar menegaskan ketakwaan yang ditargetkan menjadi tujuan puasa oleh Allah adalah ketakwaan yang permanen. Tidak mengenal batas waktu dan tempat. Tidak dibatasi oleh bulan. Ini yang harus dipahami.

Selanjutnya, Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan semata-mata mengharap pahala (dari Allah), maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis lain:

“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan semata-mata mengharap pahala (dari Allah), maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ustaz Anhar kemudian memberikan pemaknaan lain yang tidak kalah penting terhadap kedua hadis tersebut tanpa meninggalkan makna yang telah dikemukakan yaitu “mengharap-harap pahala”.  Beliau menerangkan boleh kita mengharapkan pahala, tetapi yang utama kita harapkan adalah rida Allah Swt bukan pahala, karena hal itu hanya dampak saja. Adapun makna “ihtisaban” itu artinya penuh pertimbangan dan perhitungan. Jadi iman yang fungsional itu adalah iman yang membimbing hati kita dan fikiran kita untuk selektif. Senantiasa selalu mengadakan pertimbangan dan perhitungan dalam berkata dan berbuat.

Ingatlah kata “takwa” juga memiliki makna lain, yaitu waspada dan hati-hati agar kita tidak berbuat laghaw (sia-sia). Kita melakukan sesuatu hal yang sia-sia, maka akan membuat nilai puasa kita ternoda/berkurang. Kelak kita akan termasuk golongan otang-orang yang bangkrut.

Oleh karena itu satu ciri iman atau tauhid yang fungsional itu adalah menuntut kita untuk selektif. Apapun yang kita katakan, lakukan, perbuat, pikirkan, dan angan-angankan itu semua dalam rangka me-make up ibadah puasa kita supaya kita tidak malas. Banyak hal yang kita lakukan tanpa pertimbangan.

Betul tidur itu ibadah, tetapi jika kebanyakan tidur justru kita lalai dari melakukan perbuatan baik. Membaca koran baik, tetapi jangan sampai waktu untuk membaca koran lebih banyak daripada membaca al-Qur’an.”

Nabi Saw pernah memberikan rangsangan kepada kita mengenai dibukanya pintu surga di bulan Ramadhan. Pertanyaannya, yang membuka pintu surga itu siapa? Allah dan rasulnya hanya memberikan ingatan bahwa yang dapat membuka pintu surga adalah amal-amal baik yang sifatnya zahir maupun batin. Semua amal kebaikan itu tak ubahnya seperti miftahul jannah (pembuka pintu surga). Lalu, pintu neraka ditutup. Siapa yg menutup pintu neraka? yang menutup adalah kita orang-orang yang beriman-bertauhid harus menutup pintu-pintu neraka. Ini merupakan bahasa isyarat yang terdapat dalam hadis Nabi.

Jangan sampai ada sikap dan tindakan kita sekecil apapun yang memberikan peluang bagi kita untuk membuka pintu neraka. Artinya, melakukan sesuatu yang membawa dosa. Jangan. Karena memang setan itu akan mengganggu untuk melakukan hal yang sia-sia. Kita jadikan setan itu tidak berkutik.” Pesan Ustaz Anhar.

Kelanjutan dari hadisnya adalah setan dibelenggu. Siapa yg membelenggunya? Yang membelenggunya adalah tauhid kita. Bagaiamana kita menjadikan setan itu tidak bisa membisikkan kita untuk melakukan perbuatan jahat .

Ustaz Anhar menegaskan Sesungguhnya setan itu lemah –QS. An-Nisa ayat 76– hanya saja dia menjadi kuat bagi orang-orang yang lemah imannya dan tauhidnya hanya menempel di lidah saja. Bagi orang yang kuat tauhidnya setan tidak akan mampu untuk menggoda.

Selanjjtnya, Imam al-Ghazali mengklasifikasikan tingkatan orang yang berpuasa sesuai kadar kemampuannya menjadi tiga tingkatan:

Tingkatan pertama, puasa awam. Kenapa disebut puasa awam? Karena umumnya setiap orang bisa melakukannya. Dimulai dari orang yang paling kuat imanya hingga yang paling lemah imannya. Mulai dari anak-anak hingga orang tua (dewasa). Cirinya adalah hanya mampu menahan diri dari makan dan minum, serta hal-hal yang dapat membatalkan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, tingkatan pertama ini penting, tetapi kalau kita berhenti di tingkatan pertama ini kita akan mengalami kebangkrutan. Sebagaimana hadis Nabi Saw yang menyebutkan betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Tingkatan kedua, puasa khusus. Tidak hanya menahan lapar dan dahaga saja ketika berpuasa, juga menahan untuk makan dan minum secara berlebihan ketika berbuka puasa, karena makan dan minum secara berlebihan akan membawa pada kemalasan. Ketika berbuka hindari untuk makan dan minum secara berlebihan. Dengan demikian, tetap kita harus menahan diri ini full time, setiap waktu. Selain itu, juga menahan diri untuk tetap melakukan ibadah-ibadah yang wajib secara istiqamah dan disiplin. Di antaranya adalah salat. Salat mesti ditunaikan secara berjama’ah baik di rumah maupun di musola-masjid. Syukur-syukur mau melangkahkan kaki ke masjid.

Kemudian menahan diri untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah secara istiqamah dan tingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Seperti qiyamur-ramadhan/tarawih, banyak membaca dan mengkaji al-Qur’an, banyak menyalurkan harta untuk sarana taqarrub kepada Allah; berbagi pada sesama.

Ingat! Jangan sampai kita dijangkiti oleh sifat-sifat malas, kita harus me-make up ibadah puasa dengan ibadah-ibadah yang lainnya.”

Tingkatan ketiga, puasa khususul-khusus. Ini adalah tingkatan tertinggi. Di samping tingkatan pertama dan kedua dilakukan dengan baik, lalu dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, serta dimake-up dengan ibadah-ibadah yang lain. Tingkatan ketiga ini sudah mulai membentengi hati dan pikiran.

Jangan sampai ada dalam hati dan pikiran niat-niat untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Jadi hubungannya secara spiritual dengan Allah selalu terjaga dengan permanen, sehingga muru’ah itu tetap terjaga. Kemana pun dia, dia akan ingat kepada Allah. Begitu keluar dari rumah akan ingat kepada Allah. Tidak ada kesempatan sedikit pun bagi hati dan pikirannya untuk memikirkan kekurangan dan kesalahan orang lain. Dalam arti lain tidak ada perbuatan laghaw (sia-sia) yang dilakukan.

Mudah-mudahan kita bisa mencapai tingkatan ini, sehingga kita layak untuk disebut sebagai orang yang ber-idul fitri. Idul fitri itu artinya suci, yaitu suci hubungannya dengan Allah. Setiap hari, setiap malam kita memohon ampun. Sebesar-besarnya murka Allah, tetapi rahmat-Nya lebih besar. Maka dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah Swt. Lalu suci hubungan secara horizontal. Dengan siapa? Dengan sesama manusia. Mulai dari rumah tangga kita, tetangga kita, masyarakat kita, dst. Tidak ada rasa dendam, tidak ada rasa benci, yang ada adalah rasa persaudaraan, rasa kasih sayang, dan rasa saling menghormati antar sesama.

Jangan sampai puasa kita lengah-lunglai tak berdaya, yang kita harapkan puasa dapat mengembalikan kita suci zahir-batin, berhubungan dengan Allah Swt dan sesama manusia. Tutup Kepala LPSI UAD dan wakil ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah. (Ahmad Farhan)

 

https://www.youtube.com/watch?v=w5WshNFqGZU

Menjaga dan Melestarikan Bumi

YOGYAKARTA—”Bulan Ramadhan tahun 1443 H ini mengulang kesempatan yang telah diberikan Allah di tahun sebelumnya. Demikianlah doa kita yang kita panjatkan sejak Rajab dahulu. Hari ini kita telah berada di Bulan Ramadhan. Dalam tradisi masyarakat Arab jahiliyah, kala itu jelang Ramadhan datang ada kesepakatan di antara mereka, kalau Ramadhan tiba maka berhentilah peperangan. Tidak ada perkelahian. Tidak ada aksi-aksi kriminalitas. Jangan sampai sedikit pun darah tercecer. Itu cara kaum Jahiliyah dalam menyambut Ramadhan kala itu.” Ujar Ustaz Hendra Darmawan (Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah dan Kepala Bidang Kaderisasi LPSI UAD) kala memberikan kultum qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Senin (04/03).
Ustaz Hendra menerangkan bahwa kata “Ramadhan” sendiri berasal dari kata “ramadha-yarmadhu” yang memiliki makna “membakar dengan ketinggian suhu bakar yang optimal”. Seakan-akan tersirat di dalamnya, Ramadhan adalah momentum untuk menempa diri, untuk berjibaku memanfaatkan kesempatan yang telah Allah berikan ini dengan upaya-upaya yang optimal; untuk menggapai apa yang disebut dengan “fadhail al-A’māl”, yaitu keutamaan-keutamaan dalam beramal.

Dalam rangkaian ayat yang membicarakan rangkaian puasa QS. Al-Baqarah ayat 183-187. Di penghujung ayat yang membahas tentang puasa ada ayat yg berbunyi sebagai berikut:

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

Artinya: Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 188)
Kita ingat bahwasannya di bulan puasa ini kalau kebutuhan basic manusia adalah makan dan minum. Di sisi lain adalah kebutuhan pemenuhan seksual bagi orang-orang yang sudah menikah. Namun, demi dedikasinya kepada Allah Swt panggilan dalam ayat ini direspon dengan “sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat)”. Hal-hal yang dihalalkan oleh Allah di luar Ramadhan kita hentikan demi ibadah puasa ini. Maka, kaitannya adalah orang-orang berjibaku mempertaruhkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat basic tadi, tetapi kita pun diberikan rambu-rambu melalui ibadah puasa ini. Ibadah puasa melatih kita untuk disiplin dan mengendalikan hawa nafsu agar sesuai dengan apa yang termaktub dalam QS. 2:188.
Kita amati hari ini banyak sekali model manusia yang demikian; menghalalkan segala cara, membuat skenario sosial engineering seakan-akan benar dan miliknya. Padahal, jelas-jelas itu bukan miliknya. Dalam bahasa sekarang masyhur disebut dengan korupsi, kolusi, dsb. Hari ini kita banyak disuguhkan beberapa kasus, seperti ada aset Muhammadiyah harus dirobohkan plang-nya. Selain itu, ada juga kasus yang baru sekolah Muhammadiyah di Bandung tiba-tiba keluar SK tanah yang baru yang dimilki oleh pihak lain. Maka, kita harus lebih hati-hati dalam merespon hal-hal tersebut agar kita tidak menjadi insan-insan yang merendahkan diri kita sendiri; menjatuhkan karamatul insan kepada kehinaan. Ini hanya demi memperturutkan hawa nafsu, sehingga implikasinya adalah menghalalkan segala cara, menggunting dalam lipatan, dsb.
Kemudian, tidak kalah pentingnya di bulan Ramadhan ini adalah terkait dengan daya konsumsi, kecenderungan kita untuk mengonsumsi makanan kadang berlebihan. Rasulullah saw bersabda:

إن عليك لبدنك حق

Artinya: “Sungguh bagimu anggota tubuhmu ada haknya.”
Maksudnya adalah tubuh kita ini harus di manaj kapan harus bekerja, kapan harus istirahat, kapan harus diisi dgn sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga untuk udara. Sebab, potensi konsumsi di bulan Ramadhan ini sungguh luar biasa, kadang-kadang kita terpicu mulai dari makan sahur, menjelang berbuka, bakda Tarawih, dst. Tapi perlu kita ingat, agar kita tidak termasuk kategori orang-orang yg merusak lingkungan akibat konsumsi, maka perlu ada green Ramadhan. Ramadhan tetapi tetap hijau. Tetap sehat. Rasulullah Saw bersabda:

فحافظوا من الأرض فإنها أمكم

Artinya: Jagalah oleh kalian bumi ini, karena sesungguhnya bumi ini adalah ibumu.
“Menjaga bumi sejajar dengan menjaga ibu kita. Keterampilan dan kebiasaan untuk menjaga bumi itu menunjukkan bagian dari kesalehan kita sebagai khalifatullah di bumi. Bagaimana dedikasi bumi untuk kita, semua tumbuh, semua tersedia di atas muka bumi ini dengan izin-Nya.” Tutur Kepala Bidang Kaderisasi LPSI UAD.
Menjaga bumi ini kita harus mulai dengam hal-hal yang praktis, seperti meminimalisir konsumsi, penggunaan plastik, dan sebagainya yang itu memilki potensi untuk merusak bumi seluruhnya. Hari ini cukup banyak pihak yang menggaungkan progress hijau. Bahkan ada buku yang berjudul “Green Din”, agama yang hijau. Sesungguhnya dalam Islam terdapat banyak pesan untuk menjaga bumi. Perlu kita cermati, selain Ramadhan untuk meraih keutamaan-keutamaan, perlu juga untuk meminimalisir hal-hal yang dapat merusak bumi.
“Dengan sadar pilihan konsumsi, pilihan yang kita makan haruslah makanan-makanan yang ramah lingkungan. Kemasannya bahkan isinya. Sungguh protein harus terpenuhi dan juga komponen-komponen yang lain, tetapi jika berlebihan itu juga akan berdampak pada menurunnya kesehatan kita.” Pungkas ustaz Hendra
Kondisi bumi kita hari ini sedang tidak baik-baik saja. Ada perubahan-perubahan yang perlu mendapat perhatian umat di seluruh dunia, terkhusus umat Islam yang di dalam ajaran Islam banyak terkandung mengenai ajaran-ajaran hijau, green din.
“Mudah-mudahan Allah terus memberikan kita keimanan dan keistiqamahan dalam mengisi bulan Ramadhan 1443 H ini dengan kesalehan yang hijau. Ada green din, sehingga bumi yang indah ini terus berkelanjutan. Tidak hanya bisa dinikmati oleh generasi hari ini, tetapi juga oleh generasi yang akan datang.” Tutup ustaz Hendra, pengurus Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah. (Ahmad Farhan)

Rektor UAD Sampaikan Tausiyah dan Resmikan Kegiatan Ramadan Di Kampus (RDK) 1443 H

YOGYAKARTA—Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan shalat Isya’ dan Tarawih secara berjama’ah, sekaligus launching kegiatan “Ramadan Di Kampus (RDK)” tahun 1443 H/2022 M. Acara ini turut dihadiri oleh Rektor UAD, segenap dosen, serta mahasiswa-mahasiswa UAD. Adapun penyelenggarannya dilakukan secara luring maypyn daring di kanal Youtube “Majid Islamic Center UAD” pada Jum’at (01/04).
Di antara rangkaian kegiatan Ramadan Di Kampus (RDK) UAD adalah takjilan, kajian jelang buka puasa, kajian dan shalat Tarawih, Tahsin dan Kajian Dhuha, santunan dhuafa dan anak yatim, RDK menyapa PCIM, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Rektor UAD, Dr. Muchlas, M.T sebelum meresmikan kegiatan RDK beliau menyampaikan tausiyah qabla tarawih terlebih dahulu.

Dalam tausiyahnya rektor menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda perihal dua nikmat yang banyak diabaikan oleh manusia; nikmat sehat dan nikmat waktu luang. Bagi orang-orang yang bersyukur tentu akan memanfaatkan nikmat ini untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, sehingga membuat hidup kita bermartabat di hadapan manusia, terkhusus dihadapan Allah Swt.

Dalam al-Qur’an –surat Ibrahim ayat 7— Allah Swt berfirman bagi mereka yang senantiasa bersyukur maka tentu Allah akan menambah nikmat kepadanya dan jika kufur maka ingatlah sesungguhnya azab Allah sangatlah pedih.
”Waktu luang harus dimanfaatkan agar kita semakin produktif dalam mengemban profesi kita dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya, bagi orang-orang yang kufur terhadap nikmat waktu boleh jadi modalnya itu terbuang sia-sia. Banyak kegiatan yang tidak menghasilkan manfaat di dalamnya; mudarat bahkan hal-hal yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam kemaksiatan dan kebatilan.” Ujar Rektor UAD. Ini sebagaimana kata-kata bijak:
“jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik maka dirimu pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang buruk.”

Pak Rektor menambahkan bahwa syukur perlu diwujudkan selain melalui hati, juga melalui lisan. Terlebih lagi syukur dapat diimplementasikan dan direalisasikan dalam bentuk amal saleh yang dapat memberikan manfaat pada orang lain.
Ada sebuah hadis dari Bunda Aisyah, beliau menceritakan bagaimana Rasul senantiasa menunaikan salat malam hingga kaki beliau bengkak, kemudian ketika Aisyah bertanya: “Mengapa engkau melakukan hal ini wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
“Marilah kita menjadi hamba-hamba yang pandai bersyukur kepada Allah Swt.” Pungkas beliau.

Kemudian, pak Muchlas menjelaskan di Indonesia ada tiga metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan baru; pertama, metode Rukyatul Hilal. Metode ini dilakukan dengan cara melihat hilal atau bulan baru secara langsung. Ini biasanya digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU); kedua, metode Imkanur Rukyat. Metode ini adalah dengan cara memperkirakan bulan dengan cara perhitungan. Metode ini digunakan oleh Kementerian Agama; ketiga, metode Hisab Hakiki wujudul Hilal. Metode ketiga ini digunakan oleh Muhammadiyah.

Dalam bulan Qomariyah pergantian tanggal itu terjadi di waktu Magrib, yaitu setelah Maghrib sudah masuk hari baru atau bulan baru. Sedangkan di Bulan Syamsiah pergantian tanggal dan bulan itu terjadi pada pertengahan malam atau terjadi pada pukul 00.00 WIB.

Pak Muchlas menjelaskan bahwa Muhammadiyah dalam menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal senantiasa memiliki tiga kriteria untuk menetukan sudah masuk bulan baru atau belum; pertama, telah terjadi Ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak terjadi sebelum maghrib; ketiga, pada saat pada saat matahari terbenam bulan belum terbenam atau bulan masih berada di atas ufuk.

Berdasarkan hisab yang dilakukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ijtimak terjadi pada hari Jum’at pukul 13:27:13 WIB. Adapun tinggi bulan mencapai 2° 18′ 12″ saat matahari terbenam (hilal sudah wujud). Lalu, di seluruh Indonesia saat matahari terbenam bulan masih berada di atas ufuk. Adapun kesimpulannya adalah Ramadan tahun 1443 H jatuh pada 1 April 2022 bakda Magrib.

“Sekarang kita sudah mantap. Adapun kebenaran itu relatif dihadapan Allah. Rukyatul Hilal memiliki kebenaran yang relatif. Imkanur Rukyat memiliki kebenaran relatif, dan kita juga memiliki kebenaran yang relatif. Tapi upaya kita untuk mendekatkan sains atau ilmu hisab ini untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu menjadi kewajiban kita. Saya mengamati di persyarikatan Muhammadiyah ini telah diupayakan dengan sangat kuat dengan adanya dukungan lebih dari 160 perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia dalam mendukung keilmuan dalam memverifikasi hisab yang telah dilakukan oleh PP Muhammadiyah.” Tegas pak Rektor.

Terkait dengan hisab ini pun telah mendapatkan legitimasi dari Allah Swt dalam al-Qur’an yaitu dalam QS. Ar-Rahman ayat 5 dan QS. Yunus ayat 5. Kedua ayat tersebut menjadi rekomendasi bahwasannya awal bulan dan awal tahun itu dapat ditentukan dengan cara hisab. Dengan demikian, dalam menentukan awal bulan dan awal tahun dapat dilakukan dengan hisab.

Kemudian, setelah kita mendapatkan kemantapan dari pengetahuan (hasil hisab) ini. Maka yang harus dilakukan selanjutnya yang jauh lebih penting adalah mempersiapkan diri dalam menyambut bulan Ramadan ini. Apa yang harus kita persiapkan? Pak Muchlas lalu menyampaikan sebuah hadis Nabi Saw:
“Selamat datang wahai yang menyucikan! para sahabat bertanya: “Siapakah wahai Rasulullah yang menyucikan itu?” Beliau menjawab: “Yaitu bulan Ramadan, bulan yang menyucikan kita dari segala dosa.”

Dalam kesempatan lain Rasulullah Saw melakukan penyambutan terhadap bulan Ramadan:
“Wahai manusia bulan yang mulia dan penuh berkah telah datang menaungi kalian. Suatu bulan yang di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari 1000 Bulan. Pada bulan ini Allah menetapkan puasa sebagai kewajiban dan qiyamulail sebagai ibadah sunnah. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu perbuatan yang baik, maka dia bagaikan melakukan kewajiban di bulan lainnya, dan barang siapa yang melakukan kewajiban di bulan ini maka dia sama dengan melakukan 70 kewajiban di bulan lainnya.”

Kemudian, kita perlu melakukan persiapan. Setidaknya yang harus dipersiapkan adalah persiapan ilmu, yaitu dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan seputar puasa atau yang disebut dengan “Fikih Puasa”. Lalu, persiapan fisik dan mental. Kita kondisikan fisik kita dan biasakan untuk mengontrol diri dari melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.

“Mari kita laksanakan amalan-amalan di bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya ada beberapa amalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Wasallam di bulan ini: memperbanyak sedekah, membaca al-Qur’an, qiyamur-ramadaan/tarawih, jauhkan diri dari segala perkataan dan perbuatan yg dapat mengurangi pahala puasa kita, seperti dusta, ghibah, fitnah, berkata kasar, dan perbuatan lainnya.” Pesan Rektor.

Selanjutnya beliau menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kegiatan pelaksanaan Ramadan di kampus UAD, baik itu para narasumber maupun seluruh panitia yang telah mempersiapkan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya, serta kepada seluruh jamaah Islamic Center.

“Kami ucapkan selamat berpuasa. Mudah-mudahan Allah Swt memberikan kekuatan kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan ibadah puasa dan rangkaian-rangkaian ibadah yang menyertainya, sehingga tujuan puasa yaitu menjadikan kita bertakwa betul-betul bisa kita peroleh.”
“Dengan mengucap “Bismillahirrahmānirr-rahīm” Rangkain kegiatan Ramadan di kampus tahun ini resmi dimulai.” Tutup Rektor UAD. (Ahmad Farhan)

berita ini sudah diupload di Suara Muhammadiyah.

Sejarah dan Keutamaan Salat Tarawih

YOGYAKARTA—”Kita anggap Ramadhan itu sebagai tamu. Bukti Allah swt mencintai kita adalah dengan adanya bulan suci Ramadhan ini. Rasulullah saw pernah bersabda: “Seandainya kalian tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, maka pasti kalian akan meminta seluruh bulan menjadi Ramadhan.” Lalu apa kelebihan dari Ramadhan?  Di bulan Ramadhan dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah swt, walaupun kita tidak meminta ampun kepada-Nya.  kedua ibadah yang kita lakukan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah swt.” Tutur ustaz Okrisal Eka Putra saat mengisi kajian Ahad pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (20/3).

Ustaz Okrisal menyampaikan sebuah prolog bahwa Ramadan adalah bulan tamu, maka kita perlu untuk mengistimewakannya sebagaimana kita mengistimewakan tamu yang datang ke rumah. Di antara cara untuk mengistimewakan Ramadan adalah:

Pertama, mengubah prilaku. Yaitu dengan mengurangi amalan-amalan yang sia-sia (tidak bermanfaat). Jadi, di Bulan Ramadan nanti harus mampu mengurangi dan bahkan meninggalkan hal-hal yang tidak menambah dan meningkatkan ilmu, iman, dan takwa. Contohnya menonton film/sinetron, bermain media sosial, dan yang lainnya. Allah berfirman:

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ

Artinya: Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun: 3)

Kedua, meningkatkan ibadah baik secara kualitas maupun kuantitas. Ibadah tersebut di antaranya salat, zikir, salawat, sedekah, membaca al-Qur’an, dan selainnya. Terkhusus membaca al-Qur’an, di bulan Ramadhan ini harus lebih ditingkatkan.

Ketiga, mengubah cara dalam mencari rezeki. Di luar bulan Ramadhan kita akan bekerja secara maksimal tidak mengenal waktu, maka di bulan Ramadan nanti hendaknya bekerja sewajarnya; mengurangi jam kerja atau jam buka toko. Hal ini dilakukan agar lebih banyak waktu yang disedikan untuk melakukan ibadah. Allah berfirman:

وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

Artinya: Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah Pemberi Rezeki yang terbaik. (QS. Al-Jumu’ah: 11)

Selanjutnya ustaz Okrisal menjelaskan salah satu amalan yang kita kerjakan di bulan suci Ramadhan adalah “qiyamul lail”. Adapun qiyamul lail itu termasuk salat yang paling utama setelah Salat Fardu. Rasulullah saw bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيْضَةِ قِيَامُ اللَّيْلِ

Artinya: Salat yang paling utama setelah salat fardu adalah qiyamul Lail. (HR. an-Nasa’i no. 1614)

Qiyamul lail artinya mendirikan salat di malam hari, yaitu salat malam dikerjakan sebelum tidur. Berbeda dengan tahajud, kalau tahajud itu dilakasanakan setelah seseorang tidur terlebih dahulu, baru kemudian bangun dan menunaikan salat malam. Kalau di bulan Ramadan, maka namanya “tarawih”. Tarawih itu sama dengan qiyamul lail. Artinya, seseorang yang telah menunaikan salat tarawih tidak perlu untuk menunaikan qiyamul lail. Di zaman Rasulullah saw dan para sahabat, kebanyakan mereka menunaikan salat tarawih itu di pertengahan malam (tidak habis Isya).

Qiyamul lail atau salat malam termasuk di antara perkara yang begitu penting, karena disebutkan dalam satu hadis bahwa salat malam adalah di antara penyebab masuknya seseorang ke dalam surga tanpa hisab. Ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Disebutkan dalam hadis Imam Ahmad bahwa kelak di padang Mahsyar para malaikat turun dalam keadaan berbaris. Mereka mencari dua kelompok manusia; pertama, kelompok yang rajin menunaikan salat tahajud (salat malam). Malaikat bertanya siapa yang biasa menunaikan salat tahajud? maka berdirilah mereka yang senantiasa menunaikan salat tahajud. Lalu malaikat mengatakan kepada mereka, “silakan engkau masuk dalam surga tanpa hisab”; kedua, kelompok orang yang sabar dalam menghadapi musibah. Kelak mereka ditanya, “siapa yang sering kena musibah?” Lalu mereka akan dipersilakan untuk masuk ke dalam surga tanpa hisab.

Kemudian ustaz Okrisal menjelaskan Rasulullah saw dalam menunaikan salat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan sama, yaitu sebelas raka’at; 8 raka’at tahajud dan 3 raka’at witir. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat. Caranya adalah beliau saw mengerjakan 4 rakaat, tetapi jangan tanya elok dan lamanya. Kemudian 4 raka’at lagi, lalu ditutup dengan witir 3 raka’at.

Ibnu Abbas pernah menceritakan bahwa saat dirinya salat malam bersama Rasulullah saw, beliau saw dalam 1 raka’atnya membaca 5 juz al-Qur’an. Pada rakaat pertama yang dibaca oleh Rasulullah  saw adalah surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa’.

Mengapa Rasulullah saw menunaikan tahajud hanya 8 rakaat? Ustaz Okrisal menjelaskan karena bacaan beliau panjang dan sudah mau mendekati waktu Subuh. Ketika menjelang Subuh maka beliau saw akan menutupnya dengan salat Witir.

Sebenarnya jumlah rakaat salat malam itu tidak terbatas. Ada yang 20 rakaat, di Madinah 36 raka’at, dan bahkan Imam Ahmad bin hambal itu sampai dengan 300 raka’at. Jadi, salat malam itu tidak ada batasnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah. Jadi, jika lebih dari 8 raka’at itu tidak termasuk perbuatan bidah. Cuma, ya Rasulullah hanya 8 rakaat, tetapi yang perlu dicontoh jangan cuma raka’atnya, bacaannya pun perlu untuk dicontoh.” Ujar pengurus Majelis Tablig PP Muhammadiyah.

Kata Tarawih berasal dari kata “tarawaha” yang artinya santai. Di zaman sahabat, setelah menunaikan salat dua raka’at ada istirahat atau jeda terlebih dahulu. Kemdudian dilanjutkan kembali. Jadi, salat malam di bulan Ramadan tersebut ditunaikan dengan santai dan tumakninah.

Pada zaman Rasulullah saw, beliau pernah melakukan salat Tarawih secara berjamaah pada tanggal 26 dan 27  Ramadan. Sahabat ada yang ikut berjamaah bersama beliau. Keesokannya bertambah banyak sahabat yang ikut salat malam bersama Rasulullah tersebut. Maka Rasulullah pun khawatir hal tersebut dapat menjadi wajib, sehingga pada malam 28 Ramadhan beliau tidak keluar menuju masjid. Ada sahabat yang bertanya mengapa Rasululullah saw tidak ke masjid, maka beliau pun menjawab takut hal tersebut akan dianggap wajib. Akhirnya beliau saw melakukan salat secara sendiri di rumahnya.

Ustaz Okrisal lalu menjelaskan bahwa di zaman sahabat, mereka pun melakukan salat tarawih secara sendiri-sendiri. Barulah pada masa khalifah Umar Bin Khattab, beliau melihat kondisi saat itu kurang “asyik”, sebab para sahabat melakukan salat sendiri-sendiri di setiap penjuru masjid. Lalu Umar bertanya kepada para sahabat, “Mengapa tidak kita satukan saja dalam melaksanakan salat malam ini?” Lalu ditunjuklah sahabat Ubay ibn Ka’ab untuk menjadi imam saat itu. Jumlah raka’at salatnya sebanyak 20 rakaat, tetapi bacaannya dikurangi tidak terlalu panjang.

Rasulullah saw pun ketika menunaikan salat secara berjamaah, bacaannya tidak panjang. Ukuran panjang bacaan ayat maksimal seperti surat al-A’la. Kecuali apabila kita sudah janji untuk menunaikan salat tarawih satu juz, maka itu tidak mengapa. Kalau salat jamaah biasa, maka jangan panjang-panjang bacaan al-Qur’annya. Demikian ujar Ustaz Okrisal.

Rasulullah saw jikalau salat sunnah di rumah, maka jangan tanya bagus dan panjangnya salat beliau. Menurut ustaz Okrisal itulah ciri-ciri orang yang ikhlas, yaitu semakin tersembunyi ibadah yang dilakukan, maka akan semakin sempurna ibadahnya.

Jadi salat tarawih secara berjamaah itu terjadi di masa Umar bin Khattab. Beliau menjadikannya secara berjamaah. Salah tidak? Tidak. Sebab ada salat sunnah yang boleh dilakukan secara berjamaah, seperti halnya salat malam. Hal ini juga pernah dilakukan Rasulullah bersama Abdullah ibn Abbas. Dengan demikian salat tarawih itu tata cara pelakasanaannga dengan santai, tumakninah, dan tidak terburu-buru. Pungkas ustaz Okrisal Eka Putra. (Ahmad Farhan)

 

Problem Rukyat dan Penggunaan Hisab

YOGYAKARTA—“Hisab artinya menentukan awal bulan dengan memperhitungkan posisi geometris benda langit yang tiga matahari bulan dan bumi di angkasa sana. Sedangkan rukyat itu menentukan awal bulan hijriyah dengan melihatnya secara langsung.” Tutur Ustaz Prof. Syamsul Anwar pada kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (13/3).

Ustaz Syamsul menjelaskan biasanya penggunaan rukyat ini dilakukan untuk menentukan tiga bulan ibadah; Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Rukyat itu biasanya dilakukan pada tanggal 29 untuk menentukan apakah besok sudah masuk tanggal 1 atau belum.

Ada perbedaan di kalangan umat Islam terkait dengan metode dalam penentuan awal bulan; ada yang menggunakan rukyat dan ada yang menggunakan hisab. Lalu, apa problem yang muncul di sana?

Ustaz Syamsul menyampaikan bahwa Ramadan 1443 H akan jatuh pada Sabtu, 2 April 2022 M. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan yang dilakukan; ijtimak akhir Syakban 1443 H terjadi pada Jum’at, 29 Syakban 1443 H/1 April 2022 M, pukul 13:27:13 WIB; tinggi bulan pada hari itu saat gurub (terbenamnya matahari) di Yogyakarta adalah +2° 18′ 12″. Di seluruh wilayah Indonesia bulan berada di atas ufuk. Dengan demikian, 1 Ramadan 1443 dimulai pada Sabtu, 02 April 2022 M.

Ada tiga syarat suatu bulan dapat dikatakan sudah memasuki bulan baru. Ketiga syarat tersebut harus terpenuhi seluruhnya.; pertama, telah terjadinya ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak tersebut terjadi sebelum matahari tenggelam (bulan berada di atas ufuk ketika matahari tenggelam); ketiga, pada saat terbenam matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk artinya bulan belum terbenam ketika matahari terbenam

Ustaz Syamsul menjelaskan kata “ijtimak” itu merupakan bentukan dari “ijtama’a-yajtami’u-ijtima’an” yang artinya bertemu dan berkumpul. Dalam istilah ilmu Falak ijtimak adalah “konjungsi”. Artinya, benda langit yang tiga –matahari, bumi, dan bulan itu berada pada satu garis yang sama (sejajar).

Bulan itu mengelilingi bumi. Ketika bulan mengelilingi bumi, maka bumi mengelilingi matahari. Durasi lamanya bumi mengelilingi matahari adalah 1 tahun sedangkan lamanya durasi bulan mengelilingi bumi adalah 29 hari 12 jam 44 menit 28 detik. Ini adalah waktu rata-ratanya. Semua benda langit tersebut mengelilingi ke arah kiri seperti halnya orang yang thawwaf di Ka’bah atau istilahnya adalah “berlawanan dengan arah jarum jam”.

Bulan mengelilingi bumi waktu yang dibutuhkan sekitar 27 hari 1/3 hari, tetapi untuk mencapai garis lurus antara bumi, bulan, dan matahari diperlukan waktu tambahan selama 2 hari, sehingga 29 hari lebih itu barulah terjadi ijtimak ke ijtimak. Setelah terjadinya ijtimak, untuk terlihatnya permukaan bumi yang disinari matahari diperlukan perjalanan beberapa jam lagi. Dalam ilmu Falak ini disebut dengan “ketinggian”.

“Jadi, ketika matahari terbenam di ufuk itu dari mata kita ke ufuk ditarik sebuah garis lurus.  Kemudian dari mata kita ditarik lagi satu garis lainnya melihat ke arah bulan di atas ufuk pada saat matahari tenggelam.  Sudut yang terbentuk yaitu garis lurus ke arah titik bulan dengan garis lurus ke atas ufuk itulah namanya ketinggian.” Ujar ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Ustaz Syamsul kemudian menjelaskan bahwa ada ada beberapa faktor yang memengaruhi bulan itu dapat terlihat (ketika rukyat); pertama, faktor geometris. Artinya sudut yang terbentuk di mata kita itu sudah besar atau belum. Maknanya bulan di atas ufuk itu tinggi atau sudah mendekati matahari atau bersama-sama dengan matahari; kedua, faktor atmosfer. Mungkin di sana banyak terdapat bintang-bintang, sehingga kita dapat terkecoh atau persis itu matahari, karena melihatnya itu ketika matahari tenggelam.

Lalu di mana posisi bulan itu? apakah di atas ufuk atau di bawahnya? Jika bulan lebih dahulu tenggelam, maka besok belum dapat dikatakan bulan baru, tetapi lusa. Ini karena saat matahari tenggelam bulan tidak terlihat (sudah tenggelam duluan). Ini merupakan problem.

Ada problem lain, apakah melihat bulan tersebut itu menggunakan alat atau tidak seperti teropong? Sebab Rasulullah saw pun melihatnya secara langsung tanpa menggunakan alat. Dengan demikian rukyat memiliki beberapa problem; pertama, problem geometris. Ini terkait dengan posisi-posisi benda langit; matahari bulan dan bumi ditambah dengan kondisi atmosfer; kedua, problem fisiologis. Yaitu kesehatan dan ketelitian mata dalam melihat. Menggunakan alat canggih pun terkadang bulan tidak terlihat, terlebih dengan menggunakan mata langsung.

Selanjutnya problem psikologis. Berdasarkan hasil penelitian di sejumlah negara, kecenderungan seseorang secara psikologis terdorong untuk timbulnya perasaan melihat (bulan/hilal) yang menurut ilmu itu belum mungkin terlihat. Penyebabnya adalah adanya dorongan dan harapan besar melihat tersebut, maka entah apakah itu halusinasi atau bukan.

Ustaz Syamsul menambahkan, jika kita menggunakan rukyat untuk menentukan 1 Ramadan, maka baru bisa dilakukan pada tanggal 29-nya. Belum lagi dipengaruhi oleh faktor cuaca. Sesungguhnya bulan sudah besar, tetapi karena cuaca menjadikannya tidak terlihat. Ini berbeda dengan hisab Ramadan dapat ditentukan sejak jauh-jauh hari.  Bulan itu tidak dapat terlihat dalam satu hari yang sama di seluruh dunia, sebab adanya perbedaan wilayah dan perbedaan waktu.

“Pesan saya adalah bagi yang pakai rukyat ya pakai rukyat bagi yang pakai hisab pakai hijab jangan saling menyalahkan dan cela-mencela gunakan saja paham masing-masing kita kembangkan toleransi yang besar tetapi kita juga perlu untuk menyatukan itu itu sebagaimana yang telah saya katakan untuk menyatukan hal itu hanya bisa dengan hisab kalau rukyat tidak bisa.” Tutuo ketua MTT PP Muhammadiyah. (Ahmad Farhan)

Dalil-Dalil tentang Penentuan Awal Ramadan

YOGYAKARTA—“Ini (penentuan awal Ramadan) sebenarnya merupakan hal yang sensitif, karena di tengah-tengah masyarakat masih bersifat kontroversi. Ada perbedaan pandangan, di satu sisi rukyat dan di sisi lain Hisab.” Tutur Ustaz Oman Fathurohman saat mengisi kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (6/3).

Perbedaan pendapat dalam hal tersebut; rukyat dan hisab adalah hal yang biasa terjadi, sehingga kita tidak perlu risau dalam menyikapinya. Kalau kita bicara soal ini, ada satu hal yang harus dipahami yaitu “manhaj” yang digunakan oleh Muhammadiyah, sehingga kita akan paham mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab daripada rukyat dalam penentuan awal bulan. Ini bukan berarti Muhammadiyah menafikan rukyat.

Manhaj adalah suatu sistem yang di dalamnya memuat wawasan, sumber, pendekatan, serta prosedur-prosedur (metode) teknis yang menjadi pegangan dalam ketarjihan dan istidlal. Wawasan adalah hal-hal yang mencakup paham agama, tajdid, toleransi, keterbukaan dan tidak berafiliasi pada mazhab tertentu. Sedangkan sumber itu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. Keduanya menjadi sumber utama (primer).

Pendekatan mencakup pendekatan bayani, pendekatan burhani, dan pendekatan Irfani. Sedangkan metode yang digunakan ada metode bayani, metode ta’lili, metode sinkronisasi, serta metode lainnya.

Kemudian ustaz Oman menjelaskan bahwa berkaitan dengan penentuan Ramadan telah ada dalil yang menyebutkannya, yaitu dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 183-185. Allah berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُون

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183)

Ayat ini berisikan informasi kepada orang-orang yang beriman mengenai kewajiban puasa sebagaimana kewajiban puasa yang telah dilakukan oleh umat umat terdahulu.

أَیَّامࣰا مَّعۡدُودَ ٰ⁠تࣲۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةࣱ طَعَامُ مِسۡكِینࣲۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَیۡرࣰا فَهُوَ خَیۡرࣱ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَیۡرࣱ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

Artinya: (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 184)

Ayat tersebut menyebutkan tentang waktu kapan puasa wajib dilakukan yaitu dalam beberapa hari tertentu, lalu apa yang dimaksud dengan “beberapa hari tertentu” tersebut. Ini masih belum jelas, maka dijelaskan dalam ayat setelahnya.

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡیَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۗ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُوا۟ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Artinya: Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`ān, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS. al-Baqarah: 185)

Beberapa hari tertentu yang dimaksud dalam ayat sebelumnya yaitu di bulan “Ramadan” yang dalam bulan tersebut jumlahnya bisa 29 hari atau bisa juga 30 hari.

Adapun mengenai kalimat “Faman Syahida Minkum asy-Syahra” dalam QS. 2: 185 terdapat beberapa pemahaman; pertama, Muhammadiyah memahami maknanya adalah “maka barangsiapa mengetahui bulan Ramadan maka berpuasalah”; kedua, yaitu “barangsiapa hadir; tidak berpergian atau ada di tempat dalam bulan Ramadan maka berpuasalah”; ketiga, “maka barang siapa yang melihat hilal maka berpuasalah.”

Selanjutnya, ustaz Oman menjelaskan dalam peribadahan itu ada yang disebut dengan sebab syar’i wajibnya ibadah dilakukan. Adpaun sebab syar’i wajibnya puasa Ramadan adalah sudah masuknya bulan Ramadan. Jikalau Ramadan belum masuk, maka tidak wajib melakukan puasa Ramadan. Contoh lainnya sebab syar’i dari kewajiban ditunaikannya salat zuhur. Sebab syar’inya adalah telah tergelincirnya matahari.

Bagaimana caranya kita mengetahui atau menentukan masuknya bulan Ramadan? Dalam al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 5 dan Yunus ayat 5 secara eksplisit di dalamnya disebutkan/ada isyarat mengenai hisab (perhitungan) bulan.  Jika ditinjau dari dalalatun nas-nya maka penentuan awal bulan, waktu salat, dan yang lainnya dapat ditentukan dengan hisab (perhitungan).

Dengan demikian maksud dari dua ayat tersebut adalah pahamilah peredaran bulan dan matahari, sehingga dapat diprediksi/ditentukan kapan masuknya awal bulan, waktu salat, dsb.

Rasulullah saw pernah bersabda mengenai perintah berpuasa jika melihat hilal:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal bulan baru), maka berbukalah. Tetapi jika mendung (tertutup awan) maka estimasikanlah (menjadi 30 hari). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis tersebut ada dua petunjuk untuk mengetahui kapan puasa Ramadan; dengan melihat hilal atau dengan mengestimasikan/menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari.  Jikalau kita menggunakan rukyat, maka kita belum tahu kapan akan datangnya bulan Ramadan karena harus menunggu tanggal 29 Sya’ban terlebih dahulu, kemudian melakukan rukyatul hilal.

Kalimat “Faqduru lahu” memiliki beberapa pemaknaan; pertama, sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari; kedua, jika hilal belum terlihat maka perkirakanlah bahwa hilal ada dibalik mendungnya awan; ketiga dengan hisab (perhitungan).

Ada hadis lain yang menjelaskan mengapa di zaman Rasulullah menggunakan rukyat bukan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadan:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ. الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا ” يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ.

Artinya: Sesungguhnya umatku ummiy, tidak dapat menulis dan juga berhitung. Adapun bulan ini (Sya’ban/Ramadan) seperti ini dan seperti itu, yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ustaz Oman menjelaskan bahwa berdasarkan dua hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwasannya fungsi dari rukyat hilal adalah untuk memastikan apakah umur 1 bulan itu 29 hari atau 30 hari. Jika hilal tidak terlihat, maka bilangan bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Maka, hadis yang menyebutkan bahwasanya umat beliau saw itu ummiy menjadi alasan mengapa saat itu tidak menggunakan hisab, karena belum adanya pengetahuan terkait dengan hisab.

Ustaz Oman menyampaikan kaidah Fikih:

الحكم يدور مع علته و سببه وجودا و عدما

Artinya: “Hukum itu berdasarkan ada tidaknya illat dan sebabnya.

Jika tidak bisa rukyat maka dengan hisab dan sebaliknya jika tidak bisa hisap maka dengan rukyat.

Ada juga kaidah kontemporer:

الأصل في إثبات الشهر أن يكون بالحساب

Artinya: “Pada asalnya dalam menetapkan (awal) bulan itu dengan menggunakan hisab.”

Adapun dasar Muhammadiyah menetapkan untuk menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan didasarkan pada petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40:

وَٱلۡقَمَرَ قَدَّرۡنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِیمِ (39) لَا ٱلشَّمۡسُ یَنۢبَغِی لَهَاۤ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّیۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ وَكُلࣱّ فِی فَلَكࣲ یَسۡبَحُونَ (40)

Artinya: 39). Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. 40). Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasin: 39-40)

Terakhir, ustaz Oman menyampaikan mengenai kriteria awal bulan menurut Muhammadiyah yaitu ada tiga kriteria; pertama, harus sudah ada ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak tersebut terjadi sebelum terbenamnya matahari; ketiga, pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk. Artinya, bulan belum terbenam ketika matahari terbenam. Adapun 3 kriteria tersebut harus terpenuhi semuanya dan ini berlaku untuk semua bulan bukan hanya Ramadan.

“Kalau di Muhammadiyah tanggal 1 Ramadan itu adalah tanggal 1 yang ada di kalender. kalau rukyat bisa terjadi begini, di kalendernya tanggal 1 tapi karena tidak terlihatnya hilal, maka puasanya besoknya tanggal 2. Ini bisa terjadi, maka di Muhammadiyah tidak seperti itu, karena antara kalender dengan sistem peribadatan di bulan Ramadan itu sama, maka dengan melihat kalender yang terbit untuk 1 tahun sudah dapat ditentukan kapan puasa dan kapan lebaran.” Ujar ustaz Oman, wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Ahmad)

Menuju Mi’raj Ruhani

YOGYAKARTA—“Dalam hari-hari yang banyak dikaji terkait dengan Isra Mikraj maka ada istilah Mi’raj rohani ini istilah yang sudah lama di populer dipopulerkan termasuk oleh beberapa pimpinan (Muhammadiyah).” Ujar ustaz Hendra Darmawan saat menyampaikan kajian Ahad pag di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (27/2)

Ustaz Hendra menjelaskan ada sebuah definisi agama yang disebutkan oleh KH. Ahmad Dahlan, “Apakah agama itu? Agama adalah kecenderungan ruhani yang dengan itu jiwa mendaki menuju kesempurnaan dan kesucian.”

Sedangkan definisi agama menurut Muhammadiyah atau Himpunan Putusan Tarjih (HPT) bahwa agama adalah apa-apa yang diturunkan oleh Allah melalui lisan para nabi-Nya yang di dalamnya terdapat perintah-perintah, larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan hidup didunia dan diakhirat. Adapun yang dimaksud dengan Irsyadat (petunjuk) adalah takwil ilmu yang dapat dijadikan sebagai landasan.

Ustaz Hendra menghimbau agar kita harus berupaya untuk senantiasa menjaga kecenderungan ruhani kita, yaitu memastikan iman kita terjaga dan selamat. Ini sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an:

فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا  ۝  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ۝ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Artinya: 8). maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. 9). Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). 10). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams: 8-10)

Dalam istilah lain yaitu hadis, Rasul saw bersabda: “Mintalah pendapat atau fatwa pada ruhanimu”. Ini  agar kita tidak sembrono atau sembarangan dalam berbuat. Disebutkan juga oleh Rasulullah dalam hadisnya yang lain perihal ada seseorang yang pagi-paginya beriman, tetapi sorenya kafir dan juga ada seseorang yang sorenya beriman, tetapi pagi-paginya kafir, maka kita perlu untuk menjaga iman ini. Allah berfirman:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٖۖ فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

Artinya: Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang.* Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (QS. Surat Al-Hajj: 11)

Ustaz Hendra menjelaskan ayat tersebut seakan-akan menggambarkan mengenai hubungan kita dengan Allah yang bersifat transaksional. ketika kita mendapat kebaikan atau kenikmatan biasanya kita akan langsung dekat pada Allah, dan sebaliknya ketika kita mendapat keburukan maka kita akan jauh dari Allah. Oleh karena itu, kita harus berusaha apa apa yang kita upayakan itu orientasinya Allah (lillāhi ta’ala).

Kemudian beliau menyampaikan mengenai suatu hadis bahwasannya iman itu adalah sesuatu yang terbuka dan yang menutupinya adalah ketakwaan dan buahnya adalah rasa malu. Kita mengenal prinsip al-ihtiyat, yaitu prinsip kehati-hatian. Ini artinya kita harus berhati-hati dalam berperilaku, dalam menyebarkan sesuatu, sehingga kita akan memfilter terlebih dahulu sebelum menyebarkan informasi-informasi tersebut.

Kita sebagai umat Nabi Muhammad harus berusaha untuk meneladani beliau, lalu apakah bentuk meneladani tersebut harus dengan cara puasa sepanjang tahun dan qiyamul lail setiap malam? Tentunya tidak seperti itu. Dalam menjalankan agama ini yg terpenting adalah istiqamah walaupun amalnya secara kuantitas sedikit.

Ustaz Hendra menyampaikan untuk untuk meningkatkan mi’raj ruhani maka yang harus dilakukan adalah terus istiqamah dalam melakukan hal-hal yang telah diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw. Kelak hal tersebut akan menjadi kebiasaan, lalu akan memunculkan dan meningkatkan kecenderungan ruhani kita. Disebutkan juga dalam hadis Rasulullah mengabarkan bahwa amalan yang dicintai oleh Allah swt adalah amalan yang dikerjakan secara terus-menerus (istiqamah) walaupun secara kuantitas sedikit.

Selanjutnya ustaz Hendra menyampaikan tentang perjuangan Rasulullah saw dalam berdakwah. Banyak terjadi perang perang besar di zaman Rasulullah dan di antaranya beliau memimpin secara langsung peperangan tersebut.  Dikisahkan saat terjadi Perang Tabuk ada sahabat yang meminta izin kepada Rasulullah untuk tidak ikut berperang. Hal ini diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an.

مَا كَانَ لِأَهۡلِ ٱلۡمَدِينَةِ وَمَنۡ حَوۡلَهُم مِّنَ ٱلۡأَعۡرَابِ أَن يَتَخَلَّفُواْ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ وَلَا يَرۡغَبُواْ بِأَنفُسِهِمۡ عَن نَّفۡسِهِۦۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٞ وَلَا نَصَبٞ وَلَا مَخۡمَصَةٞ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئٗا يَغِيظُ ٱلۡكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوّٖ نَّيۡلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٞ صَٰلِحٌۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Artinya: Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. Surat At-Taubah: 120)

Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah agar kita jangan pernah absen dalam berjuang mempertahankan dan mendakwahkan Islam. Demikianlah yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Ustaz Hendra menyampaikan kalau kita berdakwah kemudian merasa tenang dan mudah-mudah saja berarti ada yang salah dengan dakwah kita atau dengan kata lain pengorbanan yang kita berikan kurang. Sebab setiap dakwah itu pasti penuh dengan tantangan dan pengorbanan.

Kemudian beliau menceritakan tentang kisah perjuangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di kala itu KH. Ahmad Dahlan menderita sakit yang cukup parah sebab kelelahan dalam berdakwah di Yogyakarta. Kemudian beliau diungsikan ke daerah Jawa Timur di daerah pegunungan agar beliau dapat istirahat secara penuh. Namun, ketika dibawa ke sana beliau bukannya istirahat malah tetap berdakwah sampai-sampai di daerah tersebut itu lahir ranting Muhammadiyah. Ketika Kyai Dahlan dilarang berdakwah oleh Nyai Ahmad Dahlan dengan spontan Kiyai Dahlan menjawab:

“Tantangan Muhammadiyah ke depan akan makin sulit Kalau saya tidak meletakkan pondasi-pondasi yang kuat maka sulit bagi generasi selanjutnya untuk melanjutkan dakwah ini.”

Dari situ kita mengambil pelajaran bahwa dalam kondisi sesulit apapun kita harus tetap memulainya karena ada mahfuzot, “keutamaan itu bagi mereka generasi-generasi pionir yang memulai meskipun generasi setelahnya bisa membawa kemajuan”. lalu ustaz Hendra berpesan:

“Jadilah pionir-pionir kebaikan atau mata rantai dalam kebaikan.” (Ahmad)