Tiga Tingkatan Orang yang Berpuasa Menurut Al-Ghazali

YOGYAKARTA—“Mari kita sambut ibadah puasa ini dengan tauhid yang kuat-mengakar di hati kita dengan usaha maksimal zhahir dan batin, spiritual dan sosial, supaya kita betul-betul berhasil dan dapat membuktikan keberhasilan kita dalam menjalankan ibadah puasa di tahun ini.” Ujar ustaz Anhar Ansyory saat memberikan tausiyah sebelum Tarawih di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Sabtu (02/03).

Ustaz Anhar menyampaikan bahwa dalam rangka upaya mewujudkan puasa yang berkualitas tentu kita harus membaca dan memahami firman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah ayat 183:

يا ايُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah:183)

Ustaz Anhar menjelaskan dalam ayat ini Allah Swt menegaskan bahwa yang dipanggil/diseru dalam ayat ini untuk menunaikan ibadah puasa adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Jadi, selain orang-orang yang beriman tidak termasuk dalam kategori yang dipanggil oleh Allah Swt. Kenapa disebut panggilan? Karena ayat ini diawali dengan kata panggilan, yaitu “yā munāda“, yaitu “yā ayyuha-lladzīna āmanu”. Ayat tersebut sekaligus memberi isyarat kepada kita bahwa jika iman yang dituju oleh Allah, maka Iman pun yang akan menjawab, bukan jabatan, status, ras, golongan, serta bukan organisasi kita. Dengan demikian, Iman kita lah yang harus menjawab seruan tersebut.

Kalau kita bicara iman, inti dari iman adalah tauhid yaitu mengesakan Allah Swt, sehingga dalam setiap perintah dari Allah itu menunjukkan sebagai bukti bahwa kita mengesakan Allah Swt. Lalu, perintah tersebut apa? perintah wajibnya adalah kita berpuasa. Dalam ayat QS. al-Baqarah ayat 183 tidak termaktub kata “wajib”, lantas dimana yang mewajibkannya, padahal yang digunakan adalah kata “kutiba” yang berasal dari “kataba” yang artinya “telah tertulis atau ditulis”. Jadi puasa adalah syariat yang telah tercatat, dalam artian bahwa puasa ini menjadi kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh setiap orang Islam dari seluruh zaman sejak dahulu kala, sehingga ditegaskan lagi dalam redaksi ayatnya “kutiba alaikumus- siyam kama kutiba ‘ala-lladzina min qablikum”. Walaupun secara teknis pelaksanaan ada sedikit perbedaan dari syariat puasa pada para nabi sebelumnya Nabi Muhammad saw, baik itu jumlah hari atau yang lainnya.

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa puasa diwajibkan bagi kita? Ustaz Anhar menjelaskan bahwa jawaban singkatnya adalah untuk kepentingan manusia sebagai hamba Allah Swt. Ada yang perlu kita ingat, yaitu setiap perintah dari Allah itu mesti bertujuan untuk mengangkat harkat-martabat kita sebagai hamba, mengangkat kemuliaan kita kelak, serta membahagiakan kita. Mustahil Allah hendak menyengsarakan kita. Ini harus menjadi mindset berpikir kita.

Pertanyaan ketiga, betulkah untuk kita? lalu untuk kita itu apanya? Ustaz Anhar menjelaskan dengan puasa diharapkan kita dapat menjadi manusia-manusia yang bertakwa. Itu harapannya. Namanya harapan, kelak akan dapat menjadi kenyataan, sehingga dalam ayat menggunakan kata “la’alla” yang memiliki makna “lit-tarāji wat tawaquf” yang menunjukkan harapan. Sekali lagi, namanya harapan itu bisa menjadi kenyataan dan bisa juga tidak. Mudah-mudahan dengan puasa dapat mengorbitkan diri kita menjadi insan yang haqqa tuqatih (benar-benar) bertakwa. Orang-orang yang hak takwanya maka dia tidak akan berubah dan tidak akan bersifat temporer.

Kata “tattaqun” dalam bahasa Arab disebut dengan “fi’il mudari”, yaitu kata kerja yang memiliki makna sekarang, yang akan datang, dan berlangsung secara terus-menerus.

Mulai sekarang ketakwaan itu berlangsung terus-menerus sampai puasa saya akan datang.  Jadi ketakwaan yang tidak mengenal batas waktu dan tempat. Ini harus kita pahami agar kita kuat, tidak bersifat temporertidak bersifat lokal. Kita hanya mampu menunjukkan kita takwa, kita mampu mengendalikan hawa nafsu kita, mengendalikan lidah kita dari omong kotor, mengendalikan hati kita dari hati bejat pada bulan suci Ramadhan saja itu keliru. Justru pembuktianya kelak di bulan Syawwal. Kita yang akan membuktikannya sendiri bukan orang lain.” Tegas Kepala LPSI UAD.

Ustaz Anhar menegaskan ketakwaan yang ditargetkan menjadi tujuan puasa oleh Allah adalah ketakwaan yang permanen. Tidak mengenal batas waktu dan tempat. Tidak dibatasi oleh bulan. Ini yang harus dipahami.

Selanjutnya, Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan semata-mata mengharap pahala (dari Allah), maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis lain:

“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan semata-mata mengharap pahala (dari Allah), maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ustaz Anhar kemudian memberikan pemaknaan lain yang tidak kalah penting terhadap kedua hadis tersebut tanpa meninggalkan makna yang telah dikemukakan yaitu “mengharap-harap pahala”.  Beliau menerangkan boleh kita mengharapkan pahala, tetapi yang utama kita harapkan adalah rida Allah Swt bukan pahala, karena hal itu hanya dampak saja. Adapun makna “ihtisaban” itu artinya penuh pertimbangan dan perhitungan. Jadi iman yang fungsional itu adalah iman yang membimbing hati kita dan fikiran kita untuk selektif. Senantiasa selalu mengadakan pertimbangan dan perhitungan dalam berkata dan berbuat.

Ingatlah kata “takwa” juga memiliki makna lain, yaitu waspada dan hati-hati agar kita tidak berbuat laghaw (sia-sia). Kita melakukan sesuatu hal yang sia-sia, maka akan membuat nilai puasa kita ternoda/berkurang. Kelak kita akan termasuk golongan otang-orang yang bangkrut.

Oleh karena itu satu ciri iman atau tauhid yang fungsional itu adalah menuntut kita untuk selektif. Apapun yang kita katakan, lakukan, perbuat, pikirkan, dan angan-angankan itu semua dalam rangka me-make up ibadah puasa kita supaya kita tidak malas. Banyak hal yang kita lakukan tanpa pertimbangan.

Betul tidur itu ibadah, tetapi jika kebanyakan tidur justru kita lalai dari melakukan perbuatan baik. Membaca koran baik, tetapi jangan sampai waktu untuk membaca koran lebih banyak daripada membaca al-Qur’an.”

Nabi Saw pernah memberikan rangsangan kepada kita mengenai dibukanya pintu surga di bulan Ramadhan. Pertanyaannya, yang membuka pintu surga itu siapa? Allah dan rasulnya hanya memberikan ingatan bahwa yang dapat membuka pintu surga adalah amal-amal baik yang sifatnya zahir maupun batin. Semua amal kebaikan itu tak ubahnya seperti miftahul jannah (pembuka pintu surga). Lalu, pintu neraka ditutup. Siapa yg menutup pintu neraka? yang menutup adalah kita orang-orang yang beriman-bertauhid harus menutup pintu-pintu neraka. Ini merupakan bahasa isyarat yang terdapat dalam hadis Nabi.

Jangan sampai ada sikap dan tindakan kita sekecil apapun yang memberikan peluang bagi kita untuk membuka pintu neraka. Artinya, melakukan sesuatu yang membawa dosa. Jangan. Karena memang setan itu akan mengganggu untuk melakukan hal yang sia-sia. Kita jadikan setan itu tidak berkutik.” Pesan Ustaz Anhar.

Kelanjutan dari hadisnya adalah setan dibelenggu. Siapa yg membelenggunya? Yang membelenggunya adalah tauhid kita. Bagaiamana kita menjadikan setan itu tidak bisa membisikkan kita untuk melakukan perbuatan jahat .

Ustaz Anhar menegaskan Sesungguhnya setan itu lemah –QS. An-Nisa ayat 76– hanya saja dia menjadi kuat bagi orang-orang yang lemah imannya dan tauhidnya hanya menempel di lidah saja. Bagi orang yang kuat tauhidnya setan tidak akan mampu untuk menggoda.

Selanjjtnya, Imam al-Ghazali mengklasifikasikan tingkatan orang yang berpuasa sesuai kadar kemampuannya menjadi tiga tingkatan:

Tingkatan pertama, puasa awam. Kenapa disebut puasa awam? Karena umumnya setiap orang bisa melakukannya. Dimulai dari orang yang paling kuat imanya hingga yang paling lemah imannya. Mulai dari anak-anak hingga orang tua (dewasa). Cirinya adalah hanya mampu menahan diri dari makan dan minum, serta hal-hal yang dapat membatalkan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, tingkatan pertama ini penting, tetapi kalau kita berhenti di tingkatan pertama ini kita akan mengalami kebangkrutan. Sebagaimana hadis Nabi Saw yang menyebutkan betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Tingkatan kedua, puasa khusus. Tidak hanya menahan lapar dan dahaga saja ketika berpuasa, juga menahan untuk makan dan minum secara berlebihan ketika berbuka puasa, karena makan dan minum secara berlebihan akan membawa pada kemalasan. Ketika berbuka hindari untuk makan dan minum secara berlebihan. Dengan demikian, tetap kita harus menahan diri ini full time, setiap waktu. Selain itu, juga menahan diri untuk tetap melakukan ibadah-ibadah yang wajib secara istiqamah dan disiplin. Di antaranya adalah salat. Salat mesti ditunaikan secara berjama’ah baik di rumah maupun di musola-masjid. Syukur-syukur mau melangkahkan kaki ke masjid.

Kemudian menahan diri untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah secara istiqamah dan tingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Seperti qiyamur-ramadhan/tarawih, banyak membaca dan mengkaji al-Qur’an, banyak menyalurkan harta untuk sarana taqarrub kepada Allah; berbagi pada sesama.

Ingat! Jangan sampai kita dijangkiti oleh sifat-sifat malas, kita harus me-make up ibadah puasa dengan ibadah-ibadah yang lainnya.”

Tingkatan ketiga, puasa khususul-khusus. Ini adalah tingkatan tertinggi. Di samping tingkatan pertama dan kedua dilakukan dengan baik, lalu dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, serta dimake-up dengan ibadah-ibadah yang lain. Tingkatan ketiga ini sudah mulai membentengi hati dan pikiran.

Jangan sampai ada dalam hati dan pikiran niat-niat untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Jadi hubungannya secara spiritual dengan Allah selalu terjaga dengan permanen, sehingga muru’ah itu tetap terjaga. Kemana pun dia, dia akan ingat kepada Allah. Begitu keluar dari rumah akan ingat kepada Allah. Tidak ada kesempatan sedikit pun bagi hati dan pikirannya untuk memikirkan kekurangan dan kesalahan orang lain. Dalam arti lain tidak ada perbuatan laghaw (sia-sia) yang dilakukan.

Mudah-mudahan kita bisa mencapai tingkatan ini, sehingga kita layak untuk disebut sebagai orang yang ber-idul fitri. Idul fitri itu artinya suci, yaitu suci hubungannya dengan Allah. Setiap hari, setiap malam kita memohon ampun. Sebesar-besarnya murka Allah, tetapi rahmat-Nya lebih besar. Maka dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah Swt. Lalu suci hubungan secara horizontal. Dengan siapa? Dengan sesama manusia. Mulai dari rumah tangga kita, tetangga kita, masyarakat kita, dst. Tidak ada rasa dendam, tidak ada rasa benci, yang ada adalah rasa persaudaraan, rasa kasih sayang, dan rasa saling menghormati antar sesama.

Jangan sampai puasa kita lengah-lunglai tak berdaya, yang kita harapkan puasa dapat mengembalikan kita suci zahir-batin, berhubungan dengan Allah Swt dan sesama manusia. Tutup Kepala LPSI UAD dan wakil ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah. (Ahmad Farhan)

 

https://www.youtube.com/watch?v=w5WshNFqGZU