Tiga Cara Allah Mengawasi Manusia

YOGYAKARTA—Allah berbicara kepada manusia itu melalui dua level; level yang pertama menggunakan diksi “yā ayyuhan-nās”; level yang kedua menggunakan diksi “yā ayyuhal-ladzīna āmanū.” Hal ini disampaikan oleh ustaz Andy Darmawan (Dosen UIN Sunan Kalijaga) saat memberikan tausiyah qabla Tarawih di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Rabu (06/04).

Pada level pertama, Allah berbicara kepada manusia menggunakan diksi “yā ayyuhan-nās”. Mengapa Allah menggunakan diksi yā ayyuhan-nās? Ustaz Andy menerangkan karena Allah Swt berbicara kepada seluruhnya bukan hanya manusia, tetapi juga alam semesta dan lingkungan kita. Contohnya di QS. al-Baqarah ayat 21:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya: Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 21)

Dalam ayat tersebut Allah berbicara kepada manusia seluruhnya dimulai dari orang-orang yang kafir hingga orang yang beriman tanpa terkecuali. Lalu, level yang kedua Allah berbicara kepada manusia, secara khusus untuk orang-orang yang beriman. Contohnya QS. Al-Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 183)

Ustaz Andy menyatakan bahwa dalam ayat tersebut kalau kita bahasakan dengan bahasa kita itu maknanya “Hai orang-orang yang beriman yang tidak beriman tidak hai”. Sesungguhnya orang-orang kafir pun berpuasa, bahkan orang-orang purbakala yang hidup 400 tahun SM ; sahabat-sahabatnya Socrates, Plato, Aristoteles, dan yang lainnya.  Zaman saat itu mereka berpuasa. Tujuannya adalah untuk penyucian diri dan harga diri mereka sebagai pimpinan kaum. Lantas, perbedaannya dengan kita di mana? Orang kafir itu berpuasa tetapi tidak ada SOP; buka sesuka hatinya, mereka tidak memakan hewan supaya nafsu hewaniyah tidak masuk ke dalam diri mereka, juga tidak memakan hal-hal yang akan merusak mentalnya.

“Umat Islam, terkhusus orang-orang yang beriman itu memiliki SOP; mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka, sehingga dalam berislam itu wajib hukumnya untuk mengikuti tuntunan yang jelas. Tuntunan ini dimiliki oleh orang yang beriman yaitu lā tusrik billāh, jangan berselingkuh di belakang Allah dengan cara apapun, dengan model apapun, dengan alasan apapun, dan dengan alibi apapun.” Tegas salah satu dosen di UIN Sunan Kalijaga ini.

Adapun orang-orang yang mengamalkan lā tusrik billāh itu relatif memiliki keimanan yang stabil, walaupun yazid wa yanqus, terkadang imannya naik dan terkadang menurun. Sehingga melaksanakan puasa Ramadhan itu adalah bagian dari yang disebut oleh Allah sebagai “āmanū” bukan “an-Nās” saja. Oleh karena itu kita tidak perlu geer Ramadhan sendiri, sebab orang-orang sebelum kita sudah berpuasa tetapi mereka tanpa adanya SOP. Kalau kita umat Islam memiliki aturan yang jelas.

Dalam Islam tuntunan itu diperlukan agar ibadah yang kita lakukan memiliki SOP yang jelas. Kecuali sosial. kalau sosial mau tanpa SOP itu boleh. Tapi kalau judulnya ibadah mesti harus ada SOP-nya. Kenapa demikian karena Allah mengawasi kita.” Pungkas ustaz Andy.

Selanjutnya, bagaimana cara Allah mengawasi kita? Ada tiga cara Allah mengawasi kita; pertama, Allah mengawasi manusia melalui manusia itu sendiri. Dasar hukumnya adalah QS. Qaf ayat 16:

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ

Artinya: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS. Qaf: 16)

Adapun cara yang kedua adalah Allah mengawasi manusia melalui malaikat-malaikat-Nya. Dasar hukumnya QS. Qaf ayat 17:

إِذۡ يَتَلَقَّى ٱلۡمُتَلَقِّيَانِ عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ قَعِيدٞ

Artinya: (Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat amal (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. (QS. Qaf: 17)

Allah senantiasa menempatkan dua malaikat di sebelah kanan dan kiri kita untuk mencatat kegiatan kita sehari-hari yang masyhur disebut dengan malaikat Raqib dan Atid. Dua pengawasan ini ternyata belum cukup, sehingga ada cara ketiga, yaitu yang mengawasi manusia adalah manusia itu sendiri. Dasar hukumnya QS. Yasin: 65:

ٱلۡيَوۡمَ نَخۡتِمُ عَلَىٰٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَتُكَلِّمُنَآ أَيۡدِيهِمۡ وَتَشۡهَدُ أَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

Artinya: Pada hari ini Kami tutup muLuṭ mereka; dan tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Yasin: 65)

Itulah mengapa berbuat baik saja belum cukup. Itu kaitannya baru perkara muamalah dengan manusia, tetapi kepada Allah belum. Kalau ada orang yang meyakini yang penting berbuat baik; tidak perlu salat, zakat, haji, infak, sedekah. Pertanyaannya, lalu siapa yang memberikan jantung, liver, ginjal, hati, mata, telinga, dan kedua kaki yang kokoh menopang tubuh itu? Kita belum berterima kasih kepada Allah baru berterima kasih di hadapan manusia saja.

“Di Taklim yang terakhir ini, pertama lā tusrik billāh, jangan berselingkuh di belakang Allah dengan cara apapun, dengan dalih apapun, dengan alibi apapun, dan dengan model apapun. Yang kedua kita diawasi oleh Allah melalui tiga mekanisme; yaitu oleh Allah sendiri, oleh para malaikat, dan oleh manusia itu sendiri.

“Karena itu mari di kesempatan Ramadhan ini kita maksimalkan tensi infak dan sedekah kita. Kita maksimalkan ibadah kita dan kita maksimalkan kebaikan-kebaikan yang akan kita presentasikan di 11 bulan yang akan datang.” Tutup Ustaz Andy Darmawan, salah satu dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Ahmad Farhan)