Posts

Empat Macam Waktu

Oleh H. Nurkholis, S.Ag., M.Ag

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.“ (QS. Al-‘Ashr/103: 1-3)

Setiap orang diberikan modal yang sama oleh Allah, sehari selama 24 jam. Seminggu 168 jam dan sebulan 720 jam. Modal sama, namun isi belum tentu sama. Sebagai contoh di jam yang sama ada orang yang masih asik dengan buka bersama dan bercanda ria bersama sanak saudara, ada yang bergegas wudhu dan sholat di rumah, ada pula yang berangkat ke masjid shalat berjama’ah. Waktunya sama, namun isi berbeda. Bagi yang shalat di rumah hanya mendapat pahala shalat sendiri bila shalat sendiri. Yang di masjid langkah satu kaki menaikkan derajat, langkah kaki lainnya menghapus dosa. Shalat tahiyatul masjid dilanjutkan shalat berjama’ah isya. Sekali lagi, waktu yang sama tetapi isi berbeda.

Rasul menyampaikan ada dua nikmat yang sering diabaikan oleh manusia. Pertama ialah nikmat waktu luang. Kedua ialah nikmat sehat. Bagi mereka yang mau mensyukuri nikmat waktu, pastilah modal yang Allah berikan terisi dengan padat. Sebaliknya bagi yang kufur dengan nikmat waktu, boleh jadi modalnya itu terbuang sia-sia.

Dalam surat al-‘Ashr terdapat pesan yang sangat penting untuk menggugah dan mengingatkan diri akan anugerah yang Allah berikan berupa waktu itu. Waktu dalam al-Qur’an menggunakan empat kata. Yang pertama ialah ad-Dahru (hal ata ‘alal insani hinum minad dahri). Kedua ‘Ajal (idza ja a ajaluhum la yastahiruna sa’atan wa la yastaqdimun). Ketiga, al-Waqt (inna shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauquta). Keempat yakni al-‘Ashr, sebagaimana dalam QS. Al-‘Ashr.

Ad-Dahr adalah waktu sebelum keberadaan seseorang. Maka terhadap ad-Dahr seorang tidak mempunyai konsekuensi. Seorang tidak akan diminta pertanggung jawaban sebelum ia ada atau lahir.  ‘Ajal artinya batas keberadaan sesuatu. Itu mengapa orang yang meninggal sering disebut telah sampai pada ‘ajalnya, telah sampai batasnya. Al-Waqt/ waktu adalah batas dari berakhirnya suatu pekerjaan, seperti adanya batas-batas waktu dalam shalat. Allah peringatkan hambanya dengan al-‘Ashr, dulu al-‘ashr maknanya adalah memeras. Sebab dari pagi orang bekerja, memeras keringatnya hingga sore hari, waktu ‘Ashr.

Orang yang sudah sepuh biasa disebut dengan waktunya sudah ‘ashr, kalau masih muda, ia masih dhuha atau masih dzuhur. Biasanya orang akan merasakan kerugian kalau waktunya sudah ‘ashr. Bagi yang masih muda cenderung belum memikirkan kerugian. Sebab ia belum sampai pada ‘ashr. Sama seperti di penghujung Ramadhan. Pastilah ada orang yang menyesal. “Ya Allah mengapa ini baru sampai juz 15 membacanya”. Bagi yang sudah khatam iapun menyesal kenapa hanya bisa mengkhatamkan al-Qur’an sekali saja. Harta yang hilang bisa dicari lagi. Namun waktu yang hilang tidak pernah bisa akan kembali lagi.

Manusia yang berada dalam kerugian sebgaimana dalam surat al-‘ashr para ulama memilki beberapa penafsiran. Ada yang mengatakan bahwa manusia di sini ialah semua manusia. Ulama lainnya berpendapat manusia disini bermakna mereka yang sudah baligh. Sebab sebelum akil baligh semua amalan yang ia lakukan belum dihitung, belum mukallaf.

Dalam tafsir al-Kasyaf, akhiran kata ‘in’ dari kata ‘husrin’ (isim nakiroh) memiliki makna keaneka ragaman. Sehingga maknanya menjadi manusia itu akan berada dalam keanekaragaman kerugian. Kecuali mereka yang beriman. Iman itu adalah pembenaran dalam hati dari apa yang didengar, bukan pembenaran pikiran. Tidak semua yang didengar dan diyakini itu iman, maka yang dimaksud disini ialah Qur’an dan Sunnah.

Iman itu penyuburnya adalah ilmu. Sehingga bila ingin iman kuat, maka ilmulah yang bisa menyuburkan iman itu. Terus belajar, sebab belajar pupuk keimanan. Namun hanya iman saja orang masih rugi. Sehingga ayatnya dilanjutkan dengan wa ‘amilu shalihat. Amal itu adalah apa yang dihasilkan oleh pikiran, hati dan perbuatan. Bukan hanya perbuatan saja, pikiran merupakan amal, dan gerakan hati juga termasuk amal. Amilu shalihat maknanya bukan sembarang amal, akan tetapi amal yang shalih.

Orang hanya dengan iman dan beramal shalih masih rugi. Ditambahlah dengan watawa shaubil haq. Saling nasehat menasehati dalam soal yang haq. Haq itu makna asalnya yang kokoh, adapun yang kokoh itu ialah nilai-nilai agama. Di mana nilai-nilai agama ini akan selalu tegak dan kokoh kapan dan dimanapun. Dan hal itu juga masih dalam kategori merugi sampai ia senantiasa berlaku sabar.

JADWAL IMSAKIYYAH RAMADHAN 1441 H

Jadwal imsakiyah adalah satu informasi yang wajib dipantau umat Islam saat bulan Ramadan. Berikut jadwal imsakiyah dan buka puasa Ramadhan 1441 H/2020 untuk seluruh kota di Indonesia, dikutip dari suaramuhammadiyah.id

Nikmat Ramadhan Harus Didapatkan

oleh Irfan Nuruddin, S.Th.I., M.Hum

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(QS. Al-Baqarah/2: 183)

          Bulan Ramadhan ialah bulan yang suci. Maka orang-orang yang mampu merasakan indahnya bulan Ramadhan, nikmatnya bulan Ramadhan dan nikmatnya beribadah di bulan Ramadhan hanyalah orang-orang yang senantiasa mampu menjaga kesucian dirinya. Masuk bulan Ramadhan, namun tidak mampu menjaga kesucian, akan menjadi hambatan yang sangat serius bagi kaum muslimin untuk bisa merasakan indah dan nikmatnya Ramadhan sampai diakhir bulan.

          Ada lima hal bagi setiap muslim yang perlu dijaga kesuciannya. Pertama ialah kesucian secara fisik. Harus bisa memastikan badan dalam keadaan bersih dan suci. Begitupun harus bisa memastikan, pakaian, kendaraan dalam keadaan bersih dan suci. Sama halnya dengan kebersihan rumah, masjid, di mana kita melaksanakan ibadah selama Ramadhan.

          Kedua yakni kesucian dari dosa-dosa yang telah dikerjakan. Dosa ada yang kecil dan besar. Namun yang pasti dosa itu akan menjadi hambatan yang paling serius bagi setiap orang yang ingin merasakan betapa nikmatnya menjalankan puasa, menjalankan tarawih, menjalankan i’tikaf. Dosa kecil bisa dihapuskan dengan amal shaleh. Sedang dosa besar tidak ada cara lain untuk menghapusnya selain bertaubat pada Allah. Bila seorang mempunyai dosa setinggi langit, sedalam samudra dan seluas alam semesta, tentu apabila ia mau bertaubat maka ampunan Allah lebih luas dari dosa-dosanya.

          Ketiga ialah membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati. Ada rasa iri, tidak senang dengan kenikmatan orang lain. Dengki, menginginkan kenikmatan yang dimiliki orang lain hilang. Sombong, merasa diri lebih baik dari orang lain. Riya, ia yang suka memamerkan kelebihan-kelebihan dan kebaik-kebaikan pada orang lain, dan lain sebagainya dalam Qur’an disebutkan.

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” QS. Al-Baqarah (2): 10

          Keempat mensucikan dirinya dari perbuatan dan aktivitas yang tidak ada manfaatnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.

“Dari Abu Hurairah dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: ‘Diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya’.”

HR. Tirmidzi No. 2239

Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang bukan dari meninggalkan hal-hal yang terlarang. Bila seorang muslim bisa meninggalkan minuman keras, pencurian, perjudian itu hal yang wajar dan biasa. Sebab yang demikian itu sudah jelas larangannya dalam Qur’an dan hadis. Namun ukuran kebaikan seorang muslim itu ialah seberapa mampu ia meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak ada gunanya. Boleh jadi perbuatan itu boleh dan tidak berdosa bila dilakukan. Namun ukurannya ialah sebagaimana bisa seorang itu meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak berguna.

          Terakhir, mensucikan niat atau motivasi selain daripada Allah swt. Barangkali masih ada dari ibadah yang dilakukan dengan niat selain pada Allah swt, maka yang demikian itu harus segera dibersihkan. Niat adalah hal yang sangat pokok untuk dapat merasakan indahnya bulan Ramadhan. Ibadah hanya untuk mengharap ridha Allah swt, dan menjadi pribadi-pribadi yang semakin beriman dan bertakwa kepada Allah swt.

Puasa Melatih Menjadi Pribadi yang Ikhlas

oleh Fajar Rachmadani, Lc. MA.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا ٱلزَّكَوٰةَ ج وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas/ memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayinah/98 :5)

            Salah satu pendidikan Ramadhan ialah untuk membentuk setiap muslim menjadi pribadi yang mukhlisin, yaitu seorang muslim yang benar-benar ikhlas kepada Allah SWT. Itulah sebabnya Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan kepada orang-orang yang berpuasa secara eksplisit.

            Ketika melihat beberapa ibadah yang lain seperti salat, Rasulullah SAW menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan untuk mereka yang melakasanakan ibadah salat secara berjamaah, صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً, salat yang dilakukan secara berjamaah itu lebih baik 27 derajat daripada salat yang dilakukan sendirian. Adapun dalam riwayat lain sebanyak 25 derajat.

            Selain itu, Rasulullah juga menerangkan besaran pahala ketika membaca al-Quran, dalam hadisnya: مَنْ قَرَأَحَرْفًامِنْ كِتَــابِ اللّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالحَسَنَةُ بِعشْرِأمْثـَـالِها, barangsiapa membaca satu huruf dari al-Quran, maka baginya mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dibalas pahala sepuluh kali lipat seumpamanya. Dalam perkara tersebut, Rasulullah menjelaskan detilnya pahala yang akan Allah berikan kepada mereka. Bahkan dalam ibadah sedekah, Allah SWT menjelaskan di dalam al-Quran:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ … Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki (QS. Al-Baqarah/2: 261).

            Demikianlah ibadah seperti salat, membaca al-Quran hingga bersedekah telah dijelaskan dengan sangat detil besaran pahala atau balasan kabaikan atas ibadah tersebut. Adapun ibadah puasa, Rasulullah SAW justru tidak menjelaskan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh, dalam hadis kudsi disebutkan: …كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku (Allah) dan Aku-lah yang akan membalasnya.

            Maka puasa tersebut melatih setiap muslim untuk menjadi pribadi yang ikhlas. Jika ibadah yang lain itu dapat diketahui atau ditampakkan kepada orang lain, sehingga potensi terjadinya riya’/ sum’ah sangat besar, lain halnya dengan ibadah puasa, yang hanya dapat diketahui oleh hamba tersebut dan Allah SWT saja.

            Imam Ibnul Qayim al-Jauziyah dalam kitabnya al-fawaid, mendefinisikan tentang ikhlas. الإِخْلاَصُ أَنْ لَّا تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شَاهِدًا غَيْرُ اللهِ وَلَا مُجَازِيًا سِوَاهُ, ikhlas adalah ketika engkau tidak mengharapkan seseorang melihat apa yang engkau kerjakan kecuali Allah, dan ketika seseorang berbuat suatu kebaikan dan ia tidak berharap kepada orang lain agar mereka mengapresiasi apa yang dikerjakannya kecuali Allah SWT. Dengan kata lain, ikhlas ialah seseorang yang beramal bukan karena manusia, tetapi semata-mata hanya untuk Allah SWT.

            Banyak orang yang memberikan satu analogi yang indah untuk menjelaskan makna ikhlas tersebut. Seperti apa yang akan dijelaskan di bawah ini:

            Ketika ada secangkir kopi ditambahkan dengan gula, kemudian diminum oleh seseorang, maka komentar mereka ialah, “sedapnya kopi ini…,” padahal yang menyebabkan sedap tidak lain ialah karena ada gula di dalamnya. Ketika ada secangkir teh yang ditambahkan gula, kemudian diminum oleh seseorang, maka komentarnya ialah, “sungguh manisnya teh ini…,” dan tidak ada yang mengatakan, “sungguh manisnya gula ini…,” dan mereka akan menyebut zat lain, bukan gula yang disebutkan.Ketika seseorang makan roti yang diberikan gula padanya, maka sekali lagi gula tidak disebutkan, bahwa ia yang telah menyebabkan kopi, teh dan roti menjadi sedap dan manis.

            Namun, ketika ada seseorang terkena penyakit diabetes/ penyakit gula maka yang disalahkan ialah bukan kopi, teh atau rotinya, melainkan yang disebut ialah gula. Begitulah dalam kehidupan sehari-hari, bahwa tidak selamanya kebaikan yang ditanam akan berbuah apresiasi, pujian dan sanjungan dari orang lain. Maka sudah selayaknya sebagai manusia mesti banyak belajar kepada mahluk Allah yang bernama gula itu, guna menumbuhkan rasa keikhlasan di dalam dirinya. Sehingga segala perbuatan, tingkah laku dan amal ibadah apapun dilakukan hanya karena Allah SWT semata.

            Selain itu perlu juga belajar dari mahluk Allah yang lain, yaitu akar. Akar merupakan sesuatu yang sangat penting agar pohon dapat tumbuh kokoh dan rindang, ia berusaha untuk masuk menembus ke dalam tanah bahkan bebatuan hanya untuk mendapatkan air. Di mana air tersebut semata-mata untuk keperluan batang pohon yang dengannya tumbuh bunga, bebuahan dan dedaunan yang rindang untuk menampakkan eloknya di dunia, yang kemudian manusia melihat lantas mengatakan, “sungguh, betapa indahnya pohon itu…”. Sementara akar tidak pernah iri, meski tidak pernah disebut.

            Bulan puasa memberikan pelajaran untuk membentuk setiap muslim menjadi pribadi yang mukhlis. Maka seorang mahasiswa/ pelajar, ketika mereka sudah mati-matian belajar menghadapi ujian, kemudian hasil yang mereka dapatkan mungkin mengecewakan serta tidak sesuai harapan, maka sesungguhnya yang demikian itu ialah ujian keikhlasan, ‘apakah mereka telah benar-benar ikhlas dalam belajar dan apa yang dipelajari?’ Ketika seorang guru, dosen, karyawan yang mendapat suatu hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka di situlah letak ujian keikhlasan tersebut. Ketika seseorang berbuat secara totalitas untuk mempersembahkan sesuatu untuk orang lain, tetapi tidak mendapat sanjungan dan apresiasi, maka ketahuilah bahwa yang demikian itu ialah ujian keikhlasan.

            Oleh karena itu, jadikanlah momentum Ramadhan untuk menempa dan melatih drii agar menjadi pribadi takwa dan juga senantiasa berbuat ikhlas kepada Allah SWT, sehingga amal baik apapun yang dikerjakan benar-benar diterima oleh Allah, kemudian menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari Akhir kelak.

Tingkatan-Tingkatan Puasa

oleh: Drs. H. Anhar Ansyori, M.Si., Ph.D.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah/2: 183).

Jika setiap orang mengetahui tentang tingkatan-tingkatan puasa, maka diharapkan mereka akan memiliki niat dan azzam yang kuat untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut. Selain itu, dengan mengetahui tingkatan puasa juga diharapkan agar puasa yang mereka lakukan tidak sia-sia atau bangkrut belaka. Perintah berpuasa termaktub dalam Al-Quran dan juga Hadis Nabi. Tentunya, puasa yang dimaksud ialah puasa yang berkualitas dan memiliki pengaruh terhadap mereka yang melaksanakannya dengan baik.

Adapun, di dalam Al-Quran yang diseru untuk berpuasa ialah orang-orang yang beriman. Ya ayuhalladzina aamanu. Hal ini memberikan isyarat bahwa untuk melaksanakan kewajiban tersebut, yang paling pertama menyambut seruan untuk berpuasa ialah kualitas keimanan seorang hamba dan bukan status sosialnya.

Karena kondisi iman ada kalanya turun/ lemah dan adakalanya naik/ kuat, maka implikasinya adalah dalam melaksanakan ibadah puasa ini menjadi bertingkat-tingkat. Oleh karena itu, upaya harus terus ditingkatkan sehingga mampu mempertahankan bahkan meningkatkan keimanan serta selalu berupaya untuk mencegah turunnya iman tersebut. Untuk mencapai hal tersebut ada landasan, sebagaimana hadis berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانا ًوَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Kata ihtisab dalam hadis tersebut dapat dipahami dengan makna penuh perhitungan, pertimbangan dan selektif. Jadi iman yang fungsional itu akan menggiring seseorang kepada tindakan yang akan dilakukan, membawa orang akan bersikap hati-hati. Oleh karena itu puasa itu bertingkat, sesuai kadar keimanan:

  1. Puasa awam atau ada yang mengistilahkan puasa umum.

Karena pada umumnya orang bisa melakukannya, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Indikatornya ialah hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan, minum, tidak berhubungan suami isteri saat berpuasa, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Meski tingkatan dasar, namun penting untuk lanjut ke tingkatan selanjutnya.

  1. Puasa khusus atau puasa dengan mendisiplinkan ibadah yang wajib.

Ibadah seperti shalat tidak cukup dikerjakan saja namun juga dihayati, dikerjakan dengan tertib serta berjamaah, kapan dan dimanapun. Selain itu juga menghiasi shalat wajib dengan shalat sunnah. Kemudian membaca al-Quran dan menghayati maknanya.

Tingkatan puasa seperti ini adalah puasanya orang shalih. Selain meninggalkan makan, minum dan syahwat pada saat berpuasa, juga menjaga seluruh panca indera dari terjerumus kepada dosa. Kesempurnaan puasa khusus ini dapat diraih dengan cara: Gadhul bashar (menjaga pendangan); hifdhu lisan (menjaga lisan); menjaga pendengaran; menjaga bagian lain dari anggota tubuh seperti tangan, kaki, perut dari melakukan atau mengkonsumsi sesuatu yang haram; tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang halal ketika berbuka puasa; dan hendaknya keadaan hati selalu berada dalam kondisi khauf dan raja’ kepada Allah Ta’ala.