Oleh Dr. Okrizal Eka Putra, Lc., MA.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al Baqarah/2: 30)
Dalam sebuah buku, syaitan pernah berbincang dengan seorang ahli ibadah (‘abid) dan seorang ahli ilmu (‘alim). Syaitan bertanya kepada ‘abid tentang kemungkinan bahwa Allah mampu memasukkan bumi beserta seluruh isinya ke dalam gelas. Maka si ‘abid menjawab tidak mungkin bisa. Dalam hal ini berhati-hatilah, karena ‘abid tanpa ‘alim cukup berbahaya. Syaitan sangsi, menurutnya bumi bahkan bisa dimasukkan ke dalam mata manusia. Maka Rasululullah pernah mengibaratkan seorang ‘abid dan ‘alim seperti bumi dan bintang gemintang, menerangkan begitu tingginya kedudukan seorang ‘alim.
Pada proses penciptaan Nabi Adam as., sebelumnya Allah mengabarkan kepada para Malaikat bahwa akan diciptakan khalifah di muka bumi. Kemudian para Malaikat memberikan tanggapan tentang hal tersebut, mengapa Allah akan menjadikan demikian. Padahal mereka (manusia) dapat berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya.
Dari dialog tersebut, dapat diambil pelajaran bagi manusia bahwa ketika seseorang hanya memikirkan tentang kesalehan pribadinya saja, misal berangkat haji dan umroh setiap tahun, membaca al-Quran siang dan malam, mengerjakan salat sepanjang malam dan sebagainya, namun tidak peduli terhadap tetangganya yang kelaparan, maka sesungguhnya malaikat lebih layak untuk menjadi khalifah di muka bumi tersebut. Khalifah pada dasarnya berfikir untuk orang lain. Jika hanya berfikir tentang kesalehan pribadi dan abai terhadap kesalehan sosial, maka hal itulah yang disangsikan oleh para Malaikat.
Pada zaman Nabi Musa ‘alaihi ssalaam. Ada seorang ‘abid (ahli ibadah) yang meminta Nabi Musa untuk menanyakan satu hal kepada Allah tentang tempatnya di Surga kelak. Maka ketika Nabi Musa bermunajat di Bukit Tursina dan memanjatkan doa, kemudian menyampaikan pesan orang tadi, oleh Allah dijawab bahwa orang tersebut justru akan ditempatkan di dalam Neraka.
Ketika bertemu dengan ‘abid tadi dan diberitahukan jawaban tersebut, ia merasa heran dan meminta kepada Nabi Musa untuk menanyakan kembali tentang tempatnya di akhirat kelak. Oleh Allah dijawab bahwa ‘abid tersebut tempatnya di Surga. Maka terheranlah Nabi Musa, beberapa saat yang lalu dikabarkan menjadi ahli Neraka dan sekarang dikabarkan menjadi ahli Surga. Sehingga oleh Allah dijawab, bahwa ketika dalam perjalanan Nabi Musa ketika hendak bermunajat kepadaNya, seorang ‘abid tadi berdoa: sekiranya dirinya akan ditempatkan di Neraka dan itu memang karena keridhoan Allah, maka ia meminta agar sekiranya Allah menjadikan tubuhnya membesar memenuhi isi Neraka, sehingga tidak ada lagi tempat untuk orang lain di dalam Neraka. Maka dari itu, Allah rubah kedudukan ‘abid tersebut.
Sesungguhnya seorang khalifah tidak pernah berfikir untuk dirinya sendiri. Namun sekarang banyak terjadi kekerasan, tawuran, pesta narkoba oleh anak-anak muda. Pada saat yang sama, banyak orang tua yang tidak peduli, yang penting bukan anaknya. Selain itu, adanya kenaikan harga bahan makanan dan barang pokok lainnya sehingga sebagian orang tidak dapat membelinya. Pada saat yang sama juga banyak yang tidak peduli, asalkan dirinya mampu membeli.
Dalam kaitannya puasa, maka sejatinya puasa tersebut merupakan satu upaya untuk mewujudkan kesholehan sosial. Diantaranya, seseorang mampu merasakan lapar sebagaimana banyak para fakir miskin yang sering menahan rasa sakit karena lapar dan tidak memiliki kemampuan untuk membeli makanan. Harapannya, setelah berakhir bulan Ramadhan ini setiap orang/ muslim lebih peka terhadap keadaan sekitarnya. Berusaha membantu meringankan beban orang lain dengan segala kemampuannya. Inilah makna khalifah, yaitu ikut memikirkan kebutuhan orang lain. Salah satu alasan KHA. Dahlan mendirikan Muhammadiyah ialah agar dapat masuk Surga secara berjamaah, memikirkan nasib orang secara bersama-sama.
Ayat selanjutnya tentang proses penciptaan Khalifah di muka bumi menerangkan bahwa Allah mengaruniakan ilmu kepada Nabi Adam, kemudian Malaikat (termasuk di dalamnya ‘iblis’, sebab sebelum Allah menciptakan Adam, ‘iblis’ masuk dalam barisan para Malaikat) ditanya tentang ilmu tersebut, namun jawaban para Malaikat ialah: Maha suci Engkau Ya Allah, tiada ilmu bagi kami melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Setelah Nabi Adam menunjukkan ilmu yang dianugerahkan oleh Allah, maka para Malaikat disuruh oleh Allah untuk bersujud (sebagai bentuk penghormatan, bukan wujud peribadahan) kepada Nabi Adam. Para Malaikat bersujud murni karena ilmu pengetahuan. Sehingga, kemuliaan manusia ialah ada pada ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, manusia harus memuliakan ilmu dan dilarang merendahkan ilmu tersebut.
Adapun dalam suasana demikian, iblis tidak menuruti perintah Allah dan membangkang serta enggan bersujud kepada Adam. Meski demikian, Allah tidak langsung memberikan hukuman kepadanya, diberinya hak jawab mengapa tidak mau bersujud kepada Adam. Ini memberi pelajaran, bahwa sebelum memberikan hukuman kepada orang lain, perlu diberikan kepada yang bersangkutan hak jawab, dan ditanyakan alasan melakukan pelanggaran tersebut. Iblis memberikan alasan keengganannya bersujud kepada Adam, karena merasa dirinya lebih baik dari Adam. Dirinya diciptakan dari api, sementara Adam dicipatakan dari tanah. Iblis berlaku sombong, merasa bahwa api lebih mulia dibandingkan dengan tanah. Sementara, sombongnya seorang makhluk merupakan sesuatu yang amat dibenci di sisi Allah.
Demikianlah, nenek moyang manusia di muka bumi ini dikaruniai oleh Allah ilmu pengetahuan. Disinilah kedudukan ilmu, karena fungsi dari ilmu itu sendiri ialah:
- Lambang seorang manusia, bahwa ‘alim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah subhaanahu wa ta’ala.
- Agar dapat menjalankan agama dengan benar. Maka, akidah seseorang haruslah benar dan didasari ilmu. Orang yang menyekutukan Allah (berbuat syirik) adalah orang yang tidak menggunakan ilmu pengetahuan. Seharusnya, semakin tinggi ilmu pengetahuan maka semakin rendah perbuatan syirik tersebut. Dalam dimensi manusia, segala sesuatu ada ilmunya. Maka, jika seseorang berjalan tidak sesuai dengan ilmunya, maka bisa dipastikan akan terjerumus pada perbuatan syirik.
Misalnya, gunung merapi yang sedang aktif dapat dipelajari melalui ilmu yang ada padanya yakni ilmu vulkanologi, di antara tokohnya ialah Prof. Surono. Bukan sebaliknya, ketika merapi aktif malah dilemparkan kepadanya sesaji-sesaji, yang akibatnya rugi akidah, rugi waktu dan tenaga, rugi pula secara ekonomi. Contoh lain, ilmu tentang laut ialah oceanografi, tokohnya ialah Prof. Bambang Suroyo. Rumah Tangga memiliki ilmu yaitu Parenting, di antara tokohnya ialah Ust. Fauzi Azis di Jogja, bukan melakukan ritual tertentu dengan menyiram ‘benda’ ini dan itu, pagi petang dan sebagainya. Bangunan juga punya ilmu, yaitu teknik sipil. Berdagang ilmunya ialah marketing. Begitupun ketika ada orang yang menginginkan uang yang banyak, maka dibutuhkan kerjakeras, rajin menabung, tidak suka pergi ke mall, gemar shodakoh, bukan sibuk menggandakan uang yang notabene bukan merupakan dimensi manusia.
Jika seseorang menginginkan kekayaan, maka perkayalah diri dengan ilmu, bukan dengan harta. Jika ingin terkenal, maka terkenallah karena ilmu dan bukan karena yang lain (tindak kejahatan, korupsi, pembunuhan, pesta narkoba, dll.). Maka dari itu, setiap orang tua memiliki kewajiban agar dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak yang ‘alim.
Dalam suatu kegiatan parenting, ada seorang pemateri yang menyampaikan bahwa: “Jangan jadikan anak anda juara kelas. Orang kalau juara kelas maka ilmunya itu hanya rata-rata,”. Maka, tidak ada yang menonjol dalam dirinya, sedangkan tugas para orang tua dan guru ialah mencari potensi seorang anak. Ketika sudah ditemukan, maka potensi tersebut yang harus diprioritaskan. Orang-orang besar dunia ketika masih kecil bukanlah tergolong orang-orang yang pandai. Misalnya penemu honda dan penemu listrik, yang dikenal sebagai bukan anak yang pandai ketika masih kecil.
Bekali anak-anak dengan ilmu agama, sering diajak ke masjid dan rajin shalat Shubuh. Dalam siroh, ada seorang sahabat bernama Sya’ban, ia dikenal sebagai orang yang rajin dalam melakukan shalat berjamaah. Suatu ketika, usai shalat Shubuh Rasulullah tidak mendapati sahabat Sya’ban dalam jamaahnya, kemudian Rasulullah bertanya kepada para Sahabat keberadaan Sya’ban. Namun, tidak ada satupun di antara mereka yang mengetahuinya. Kemudian, Rasululullah menanyakan rumahnya, salah seorang sahabat lalu menunjukkan keberadaan rumahnya, yang ternyata letaknya sangat jauh dari masjid Rasulullah tersebut.
Ketika sampai di rumah sahabat tersebut dan bertemu dengan istrinya, lalu ditanyakan keberadaan Sya’ban. Kemudian, disampaikanlah oleh sang istri, bahwa Sya’ban telah meninggal dunia. Inilah alasan Sya’ban tidak terlihat berjamaah Shubuh. Maka, ketika jenazah sudah dimandikan dan dishalatkan, dan Rasululullah hendak pulang ke Madinah, dicegat oleh istri Sya’ban dengan sebuah pertanyaan, bahwasanya: ketika suaminya hendak syakaratul maut ia berteriak tiga kali: kenapa tidak yang baru!, kenapa tidak semua!, kurang jauh!.
Oleh Rasulullah, (tentunya atas wahyu yang disampaikan Allah melalui Malaikat Jibril) dijawab bahwa suatu ketika dalam kondisi cuaca yang sanagat dingin, Sya’ban keluar dengan mengenakan baju berlapis, baju yang lama dikenakan pada lapisan yang paling luar. Di tengah perjalanan bertemu dengan seseorang yang kedinginan dan memerlukan baju, maka diberikan oleh Sya’ban baju yang lama tersebut. Selanjutnya, suatu ketika Sya’ban memiliki sebuah roti, kemudian datang kepadanya seorang pengemis. Oleh Sya’ban diberikan sebagian roti tersebut kepada pengemis tadi. Terakhir, jarak antara rumahnya dengan masjid Rasululullah yang sedimikan jauh dianggap kurang jauh. Ketika sakaratul maut, Allah memperlihatkan balasan kebaikan yang dilakukan oleh Sya’ban ketika memberi baju, diperlihatkan pahala ketika memberi makan kepada orang lain, dan kebaikan perjalanan menuju masjid, sehingga Sya’ban berteriak seperti itu.