Akhlak Takwa dalam Pribadi Muslim
Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّاءِ وَٱلضَّرَّاءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“…(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imron/3: 134)
Ketika bermuhasabah tentang ibadah puasa, maka betapa intensnya riyadhoh/ olah jiwa-ruhani dalam proses ibadah tersebut yang telah dikerjakan. Kewajiban puasa selama sebulan penuh setiap tahunnya, belum terbilang dengan puasa sunnah seperti puasa senin-kamis, puasa ayyamul baidh, syawal, ‘asyura juga puasa dawud. Maka bisa diproyeksikan seberapa jauh kualitas ketakwaan seseorang, sebagai buah dari berpuasa apabila benar-benar menghayati apa yang selalu dibaca setiap bulan Ramadhan tiba tentang puasa, yakni QS. Al-Baqarah/2: 183. Bahkan, setiap muslim telah mendengar ayat tersebut berulang-ulang dengan berbagai tafsirnya oleh para muballigh, dai atau penceramah lainnya dalam berbagai kesempatan. Namun, pertanyaan yang paling mendasar ialah, seberapa jauh pelajaran tentang nilai ketakwaan dari berpuasa yang ditunaikan dalam frekuensi yang tinggi itu dapat terwujud dan teraktualisasi di dalam kehidupan sehari-hari.
Aktualisasi dengan memancarkan perilaku akhlak takwa dalam pribadi setiap muslim. Ahlak takwa adalah suatu proses kejiwaan yang muncul dalam setiap diri seorang muslim, di mana nilai-nilai takwa itu tertunjam dan tertanam dalam diri, kemudian teraktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat berupa sikap dan tindakan sebagaimana nilai-nilai takwa tersebut menjadi konstruksi keagamaan umat muslim, sebagai hasil dari berpuasa. Setiap orang dapat mengelaborasi atau mendaftar tentang nilai-nilai takwa apa saja, sebagai buah dari ketakwaan yang tentu sudah mematri dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam al-Quran, Allah menerangkan tentang ciri-ciri orang bertakwa, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al Baqarah/2: 177 dan QS. Ali Imron/3: 134. ‘Nilai akhlak takwa mana yang benar-benar sudah terinternalisasi dalam kehidupan?’. Inilah yang perlu menjadi pertanyaan untuk setiap muslim.
Nilai atau norma yang diyakini dan dipahami dari agama Islam semuanya luhur dan ideal, namun ketika masuk dalam aktualisasi akhlak, sering ada kesenjangan/ jarak antara yang seharusnya dengan yang senyatanya. Misalnya, di antara ciri orang bertakwa yaitu: wal ‘afiina ‘aninaas/ memaafkan manusia dan walkadhimiina ‘anilghaidh/ mencegah atau memelihara diri dari marah.
- ‘Bisakah menahan marah bukan pada saat keadaan normal, melainkan ketika ada stimulan yang masuk ke dalam diri dan tidak membuat nyaman perasaan, harga diri dan segala macam yang biasanya menyatu dalam ego?.’ Ini juga perlu ditanyakan kepada setiap individu muslim. Banyak orang yang sukses melakukan sabar, tapi ketika menahan marah justru tidak semuanya berhasil/ sukses, terlebih ketika marah itu karena memang punya alasan untuk marah. Misalnya, tiba-tiba ada orang yang menghina dengan perkataan yang merendahkan diri, maka kadangkala keluarlah marah, yang melebihi takaran dari apa yang dikeluarkan orang atas penghinaan tersebut. Apalagi, ketika marah tentang sesuatu yang dianggap ideal.
Sekarang ini bangsa manusia memasuki fase kehidupan baru yang disebut dengan media sosial. Hampir semua orang dalam berinteraksi bukan lagi secara langsung, namun melalui media elektronik. Relasi digital memiliki karakteristik hubungan yang bersifat impresonal/ melewati batas pribadi secara langsung. Setiap hari dapat disaksikan, betapa banyak orang memproduksi ujaran-ujaran, kalimat-kalimat yang bukan saja mencerminkan rendahnya akhlak mulia, bahkan sudah keluar berbagi ujaran yang tidak layak. Sedikit saja informasi yang tidak menyenangkan, maka publik segera merespon hal itu dengan cepat, dan diiringi ujaran yang begitu rupa. Bahkan amarahpun bisa dibaca secara umum. Hal seperti ini apabila tidak disikapi dengan benar dan terus seperti itu, turun temurun antar generasi, maka dapat menghacurkan peradaban manusia !.
Ada satu kisah pada zaman Nabi, suatu ketika di bulan Ramadhan Nabi SAW sedang berkeliling, kemudian berjumpa dengan seseorang yang sedang mencaci maki hamba sahayanya. Dengan begitu lembut Nabi kemudian memberikan sepotong roti/ sebiji kurma kepada orang tersebut. Lalu ia terperangah dan bertanya, mengapa Rasulullah memberikan makanan tersebut, padahal sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah menjawab: mengapa engkau mencaci maki hamba sahayamu padahal kamu sedang berpuasa?,” رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ والعطش “banyak orang berpuasa, tapi tidak mendapat hasil dari puasanya itu, keculai lapar dan dahaga”.
Cara Nabi tersebut merupakan cara yang bersifat dekonstruksi/ membuka alam kesadaran orang tentang penghayatan keagamaan. Sholat yang dikerjakan setiap hari dengan begitu rupa rukun dan syaratnya, adakah sholat tersebut melahirkan khusyu dan khusyu itu melahirkan taqarub kepada Allah? Di sinilah kadang juga terjadi kontradiksi, kalau ada yang tidak sesuai rukun, bersegera komentar dalam hati, “ini orang di sebelah kok gak kaya sunnah Nabi…” pikirannya menjadi terpecah, kekhusyuan menjadi hilang. Padahal sholat ialah taqarub ilallah. Lebih jauh lagi makna tentang itu, ialah tanha ‘anil fahsya‘i wal munkar. Bisakah dengan sholat tersebut mencegah diri dari sagala bentuk kekejian dan keburukan? Terutama ketika ada peluang, dan peluang itu menyenangkan serta tidak ada orang lain di sekitarnya. Menghindari diri dari perbuatan keji dan mungkar di hadapan orang banyak itu wajar, namun ujiannya ialah saat tidak ada orang lain, sementara peluang dalam melakukan hal tersebut menyenangkan, maka di situlah jiwa muraqabah seseorang sedang diuji.
Aktualisasi takwa dari sholat dalam kehidupan, itulah yang disebut dengan tanha ‘anil fahsya‘i wal munkar. Sehingga dalam ibadah sholat sendiri terdapat tiga dimensi, yaitu: dimensi rukun, yang meliputi syarat ketentuannya sesuai dengan sunnah, dimensi khusyu’ atau upaya untuk dapat bertaqarub kepada Allah, dan dimensi tahsinah/ kebaikan yang mendatangkan manfaat dari mendirikan ibadah sholat tersebut.
Sama halnya dengan puasa, bahwasanya puasa memiliki makna al-imsak/ menahan diri. Sampai Nabi memberikan nasehat, ketika ada orang lain yang mengajak bertengkar, padahal saat itu sedang berpuasa, agar mengatakan “inni shoim/ sesungguhnya saya sedang berpuasa”. Artinya, perilaku seperti itu tidak boleh hanya dilakukan pada saat berpuasa saja, akan tetapi tatkala telah berbuka puasa dan juga pasca Ramadhan. Perilaku seperti hifdhu lisan, hifdhu ‘aql, hifdhu kalam, harus selalu ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, umat Islam dapat menunjukan kepada dunia perbedaan antara seorang muslim dan nonmuslim, wamaa bu’istu liutamima makarimal akhlak.
- Wal ‘afina ani naas. Memberikan maaf kepada orang lain bukanlah sesuatu hal yang mudah, terlebih memberi maaf itu pada saat posisi diri sendiri berada pada posisi yang benar atau sedang berada di atas. Sementara orang lain yang bersalah itu berada pada posisi yang sebaliknya. Justru Allah hendak memberikan pelajaran, bisakah seorang muslim mampu membongkar perasaan yang pada saat itu berada dalam posisi yang benar, lalu memberikan maaf kepada orang lain.
Pada era sekarang ini kata maaf itu mahal harganya, terlebih apa yang terjadi melalui media sosial. Marahnya orang beragama, seharusnya berbeda dengan kemarahan orang yang tidak beragama. Hal ini karena di tengah kemarahan seorang muslim, dalam dirinya terdapat Allah dan Rasululah serta al-Quran, yang membingkai nilai akhlak tersebut. Di pesantren diajarkan perilaku hifdhu lisan/ hifdhu kalam, menjaga lisan dan tulisan. Bahkan dalam hubungan antara guru dan murid, diajari ‘aliman muta’aliman, ini untuk membentuk akhlak. Selain itu juga diajari mujamalah/ saling memuji/ memberikan apresiasi, meskipun mengetahui ada kelemahan dalam diri orang tersebut. Sekarang perilaku seperti itu mahal.
Kenapa masih banyak muslim yang gampang marah, padahal setiap tahun mereka berpuasa, sementara ciri takwa adalah walkadhimin ‘anilghaid. Setiap hari selain taqarab tetapi juga memperkaya akhlak menjadi akhlak kairmah, sebagaimana Rasul menjadi figur uswah hasanah sekaligus Allah mengangkatnya sebagai akhlak adhim, yang mulia lagi utama.