Sejarah dan Keutamaan Salat Tarawih
YOGYAKARTA—”Kita anggap Ramadhan itu sebagai tamu. Bukti Allah swt mencintai kita adalah dengan adanya bulan suci Ramadhan ini. Rasulullah saw pernah bersabda: “Seandainya kalian tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, maka pasti kalian akan meminta seluruh bulan menjadi Ramadhan.” Lalu apa kelebihan dari Ramadhan? Di bulan Ramadhan dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah swt, walaupun kita tidak meminta ampun kepada-Nya. kedua ibadah yang kita lakukan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah swt.” Tutur ustaz Okrisal Eka Putra saat mengisi kajian Ahad pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (20/3).
Ustaz Okrisal menyampaikan sebuah prolog bahwa Ramadan adalah bulan tamu, maka kita perlu untuk mengistimewakannya sebagaimana kita mengistimewakan tamu yang datang ke rumah. Di antara cara untuk mengistimewakan Ramadan adalah:
Pertama, mengubah prilaku. Yaitu dengan mengurangi amalan-amalan yang sia-sia (tidak bermanfaat). Jadi, di Bulan Ramadan nanti harus mampu mengurangi dan bahkan meninggalkan hal-hal yang tidak menambah dan meningkatkan ilmu, iman, dan takwa. Contohnya menonton film/sinetron, bermain media sosial, dan yang lainnya. Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ
Artinya: Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun: 3)
Kedua, meningkatkan ibadah baik secara kualitas maupun kuantitas. Ibadah tersebut di antaranya salat, zikir, salawat, sedekah, membaca al-Qur’an, dan selainnya. Terkhusus membaca al-Qur’an, di bulan Ramadhan ini harus lebih ditingkatkan.
Ketiga, mengubah cara dalam mencari rezeki. Di luar bulan Ramadhan kita akan bekerja secara maksimal tidak mengenal waktu, maka di bulan Ramadan nanti hendaknya bekerja sewajarnya; mengurangi jam kerja atau jam buka toko. Hal ini dilakukan agar lebih banyak waktu yang disedikan untuk melakukan ibadah. Allah berfirman:
وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
Artinya: Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah Pemberi Rezeki yang terbaik. (QS. Al-Jumu’ah: 11)
Selanjutnya ustaz Okrisal menjelaskan salah satu amalan yang kita kerjakan di bulan suci Ramadhan adalah “qiyamul lail”. Adapun qiyamul lail itu termasuk salat yang paling utama setelah Salat Fardu. Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيْضَةِ قِيَامُ اللَّيْلِ
Artinya: Salat yang paling utama setelah salat fardu adalah qiyamul Lail. (HR. an-Nasa’i no. 1614)
Qiyamul lail artinya mendirikan salat di malam hari, yaitu salat malam dikerjakan sebelum tidur. Berbeda dengan tahajud, kalau tahajud itu dilakasanakan setelah seseorang tidur terlebih dahulu, baru kemudian bangun dan menunaikan salat malam. Kalau di bulan Ramadan, maka namanya “tarawih”. Tarawih itu sama dengan qiyamul lail. Artinya, seseorang yang telah menunaikan salat tarawih tidak perlu untuk menunaikan qiyamul lail. Di zaman Rasulullah saw dan para sahabat, kebanyakan mereka menunaikan salat tarawih itu di pertengahan malam (tidak habis Isya).
Qiyamul lail atau salat malam termasuk di antara perkara yang begitu penting, karena disebutkan dalam satu hadis bahwa salat malam adalah di antara penyebab masuknya seseorang ke dalam surga tanpa hisab. Ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan dalam hadis Imam Ahmad bahwa kelak di padang Mahsyar para malaikat turun dalam keadaan berbaris. Mereka mencari dua kelompok manusia; pertama, kelompok yang rajin menunaikan salat tahajud (salat malam). Malaikat bertanya siapa yang biasa menunaikan salat tahajud? maka berdirilah mereka yang senantiasa menunaikan salat tahajud. Lalu malaikat mengatakan kepada mereka, “silakan engkau masuk dalam surga tanpa hisab”; kedua, kelompok orang yang sabar dalam menghadapi musibah. Kelak mereka ditanya, “siapa yang sering kena musibah?” Lalu mereka akan dipersilakan untuk masuk ke dalam surga tanpa hisab.
Kemudian ustaz Okrisal menjelaskan Rasulullah saw dalam menunaikan salat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan sama, yaitu sebelas raka’at; 8 raka’at tahajud dan 3 raka’at witir. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat. Caranya adalah beliau saw mengerjakan 4 rakaat, tetapi jangan tanya elok dan lamanya. Kemudian 4 raka’at lagi, lalu ditutup dengan witir 3 raka’at.
Ibnu Abbas pernah menceritakan bahwa saat dirinya salat malam bersama Rasulullah saw, beliau saw dalam 1 raka’atnya membaca 5 juz al-Qur’an. Pada rakaat pertama yang dibaca oleh Rasulullah saw adalah surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa’.
Mengapa Rasulullah saw menunaikan tahajud hanya 8 rakaat? Ustaz Okrisal menjelaskan karena bacaan beliau panjang dan sudah mau mendekati waktu Subuh. Ketika menjelang Subuh maka beliau saw akan menutupnya dengan salat Witir.
“Sebenarnya jumlah raka’at salat malam itu tidak terbatas. Ada yang 20 rakaat, di Madinah 36 raka’at, dan bahkan Imam Ahmad bin hambal itu sampai dengan 300 raka’at. Jadi, salat malam itu tidak ada batasnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah. Jadi, jika lebih dari 8 raka’at itu tidak termasuk perbuatan bidah. Cuma, ya Rasulullah hanya 8 rakaat, tetapi yang perlu dicontoh jangan cuma raka’atnya, bacaannya pun perlu untuk dicontoh.” Ujar pengurus Majelis Tablig PP Muhammadiyah.
Kata Tarawih berasal dari kata “tarawaha” yang artinya santai. Di zaman sahabat, setelah menunaikan salat dua raka’at ada istirahat atau jeda terlebih dahulu. Kemdudian dilanjutkan kembali. Jadi, salat malam di bulan Ramadan tersebut ditunaikan dengan santai dan tumakninah.
Pada zaman Rasulullah saw, beliau pernah melakukan salat Tarawih secara berjamaah pada tanggal 26 dan 27 Ramadan. Sahabat ada yang ikut berjamaah bersama beliau. Keesokannya bertambah banyak sahabat yang ikut salat malam bersama Rasulullah tersebut. Maka Rasulullah pun khawatir hal tersebut dapat menjadi wajib, sehingga pada malam 28 Ramadhan beliau tidak keluar menuju masjid. Ada sahabat yang bertanya mengapa Rasululullah saw tidak ke masjid, maka beliau pun menjawab takut hal tersebut akan dianggap wajib. Akhirnya beliau saw melakukan salat secara sendiri di rumahnya.
Ustaz Okrisal lalu menjelaskan bahwa di zaman sahabat, mereka pun melakukan salat tarawih secara sendiri-sendiri. Barulah pada masa khalifah Umar Bin Khattab, beliau melihat kondisi saat itu kurang “asyik”, sebab para sahabat melakukan salat sendiri-sendiri di setiap penjuru masjid. Lalu Umar bertanya kepada para sahabat, “Mengapa tidak kita satukan saja dalam melaksanakan salat malam ini?” Lalu ditunjuklah sahabat Ubay ibn Ka’ab untuk menjadi imam saat itu. Jumlah raka’at salatnya sebanyak 20 rakaat, tetapi bacaannya dikurangi tidak terlalu panjang.
“Rasulullah saw pun ketika menunaikan salat secara berjamaah, bacaannya tidak panjang. Ukuran panjang bacaan ayat maksimal seperti surat al-A’la. Kecuali apabila kita sudah janji untuk menunaikan salat tarawih satu juz, maka itu tidak mengapa. Kalau salat jamaah biasa, maka jangan panjang-panjang bacaan al-Qur’annya.” Demikian ujar Ustaz Okrisal.
Rasulullah saw jikalau salat sunnah di rumah, maka jangan tanya bagus dan panjangnya salat beliau. Menurut ustaz Okrisal itulah ciri-ciri orang yang ikhlas, yaitu semakin tersembunyi ibadah yang dilakukan, maka akan semakin sempurna ibadahnya.
“Jadi salat tarawih secara berjamaah itu terjadi di masa Umar bin Khattab. Beliau menjadikannya secara berjamaah. Salah tidak? Tidak. Sebab ada salat sunnah yang boleh dilakukan secara berjamaah, seperti halnya salat malam. Hal ini juga pernah dilakukan Rasulullah bersama Abdullah ibn Abbas. Dengan demikian salat tarawih itu tata cara pelakasanaannga dengan santai, tumakninah, dan tidak terburu-buru.” Pungkas ustaz Okrisal Eka Putra. (Ahmad Farhan)