Hakikat kemerdekaan dalam Islam

 

Pada ahad pagi ini (3/9), sebagaimana rutinitas Masjid Islamic Center untuk mengadakan pengajian ahad pagi. Tema kali ini mengenai kemerdekaan dalam Islam, di mana sesuai dengan momentum kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus ditambah agama Islam benar-benar menjunjung tinggi atau memberikan perhatian besar terhadap kemerdekaan. H. Hendra Darmawan, M.A. (Kabid Perkaderan LPSI UAD) berkesempatan memberikan materi tersebut.

Dia sampaikan bahwa kemerdekaan dalam Islam disebutkan dalam bahasa Arab yaitu kata al-Hurriyah dan Istiqlal. Seperti halnya masjid Istiqlal yang bangunannya menjadi kebanggaaan umat Islam dan dia sebutkan juga ada satu ulama kontemporer yang sekarang tinggal di Inggris bernama Yaseer Auda yang memiliki lembaga besar untuk kajian-kajian Islam bernama maqasid institut.

Hal itu karena dalam kajian keislaman ada tujuan-tujuan disyariatkannya ajaran Islam sebagaimana yang diketahui ada 5 hal, yaitu Hifdz An-Nafs (menjaga jiwa), Hifdz ad-Din (menjaga agama), Hifdz al-‘Aql (menjaga akal pikiran), Hifdz al-Nasl (menjaga keturunan), Hifdz al-Mal (menjaga harta).

Setelah yang kelima itu, dikembangkan dan dikaji kembali ayat-ayat al-Qur’an maka keenam yaitu muncul dalam banyak forum-forum ilmiah itu ada urgensi terkait permasalahan dinamika keumatan lalu digali ajaran-ajaran Islam itu ada yang harus direspon, yakni terkait dengan dinamika kehidupan manusia maupun lingkungan.

Lalu keterkaitan kemerdekaan menurut Auda yang disebutkan dua kosakata di atas, tapi belum cukup untuk mengakomodir makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Dasar Auda menyebutkan kemerdekaan yang sesungguhnya adalah pada saat manusia tidak sedikitpun menyekutukan Allah dengan serikat-serikat yang lain.

“karena ini dikaitkan dengan tujuan kemerdekaan yang dalam cerita bung Karno membela dirinya dalam persidangan di depan Mahkamah Belanda. Dia menjelaskan tentang manusia yang sedang dijajah oleh bangsa lain. Kita sering melihat film sejarah tentang penderitaan di saat dijajah lalu dibela bung Karno di depan majelis hukum.  Terkait dengan tuntutan untuk merdeka, agar kami bisa berdaulat dan menggapai mimpi agar bisa sejahtera” jelasnya.

Dia tegaskan juga terkait dengan kemerdekaan yang paling fundamental yaitu tidak menyekutukan Allah. dan perlu diketahui, bahwa manusia diberi potensi kekayaan yang dimilikinya, sebagaiman perkataan imam Syafi’i kekayaan yang paling utama adalah akal pikiran. Maka hendaknya seorang hamba menggunakan akal pikiran dengan baik agar bisa menuntun hidup ke arah yang benar.

“Jika akal pikiran kita menang bisa menuntun hawa nafsu, maka manusia itu akan berhasil.” Jelasnya.

Dalam surat an-Nahl ayat 75-76, Ibnu Katsir dalam kitabnya menafsirkan ayat ini bahwa Allah memberikan perumpamaan antara orang muslim dan kafir. Orang kafir dianalogikan seperti orang yang tidka mampu dan dikuasai oleh tuannya menjadi hamba sahaya. Sedangkan orang muslim dianalogikan sebagai orang yang merdeka dan mendapatkan rezeki dari Allah dengan riil.

Hal ini, dia mengkaitkan dengan hasi refleksi dari Amien Rais terkait ayat tersebut dengan melihat dinamika keumatan, di mana apakah seorang muslim memiliki potensi yang besar karena telah menjadi pribadi yang merdeka atau di hegemoni oleh orang lain. Tetapi dalam realita menurut Amien Rais menurutnya merdeka hanya secara fisik tapi bisnis yang lain dalam gagasan atau pikiran untuk menjalankan kehidupan bernegara masih dikuasai oleh orang lain.

Maka harus dipahami dengan benar bahwa kemerdekaan yang dimaksud dalam Islam adalah kebebasan yang diberikan kepada manusia dan samping itu ada pertanggungjawabnya. (Badru Tamam)

Link Full Video

Konsep Perubahan Hukum Perspektif Majelis Tarjih

Dalam kegiatan masjid Islamic Center UAD diadakan pengajian secara offline rutin untuk masyarakat sekitar dan online di kanal Youtube Masjid Islamic Center UAD, di mana hal itu menjadi suatu keharusan bagi warga Muhammadiyah untuk mengikuti pengajian rutin setiap Ahad pagi. Pada pagi ini (27/08) diisi oleh ustadz Ali Yusuf, S.Th.I., M.Hum. dari Majelis Tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah. Dengan membawa tema yang penting yaitu terkait konsep perubahan hukum menurut Majelis Tarjih.

Dalam dunia ini, terdapat banyak sekali perubahan seperti hukum, usia dan lain sebagainya. Maka perubahan menjadi sebuah keniscayaan. Semuanya harus berubah tidak boleh tidak. Tapi tentu perubahan tidak selamanya harus berubah total tapi bisa berkelanjutan. Hal yang baik harus dilanjutkan dan yang tidak baik harus dirubah. Itulah sifat hukum.

Ustadz Ali Yusuf mengatakan bahwa syariat Islam itu sudah sempurna, tapi kesempurnaannya tidak menutup satu perubahan dalam hal-hal tertentu. Karena perubahan-perubahan itu menjadi tuntutan dari perkembangan zaman. Maka perubahan tidak dapat dihindarkan, tapi maknanya bukan untuk merubah syariat. Karena syariat itu sudah pasti. Tetapi, bukan pula untuk menutup tidak adanya ruang para ulama berijtihad. Sehingga di sini jadi ada satu keniscayaan yaitu adanya sebuah perubahan.

Dalam contoh-contoh fikih, ustadz Ali memberikan contoh dari Imam Syafi’i itu juga dikenal punya konsep fatwa yaitu qaul qadim (pendapat beliau yang lalu) dan qaul jadid (pendapat beliau yang baru). Sehingga ketika beliau tinggal di Irak kemudian tinggal di Mesir itu memiliki sisi yang berbeda. Karakter Irak dan problematikanya berbeda dengan karakter masyarakat Mesir. Maka bisa jadi dalam satu perkara mungkin imam Syafi’i berijtihad hal itu hukumnya “A” walaupun sebelumnya mengatakan hukumnya “B”. Dan itu sangat mungkin terjadi.

Berbicara dalam konsep Muhammadiyah atau Tarjih, jika dicermati putusan-putusan Tarjih pun ada beberapa yang berubah. Berdasarkan dari poin ke-4 Manhaj Tarjih  dari, yaitu: Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan hanya Majelis Tarjih yg benar. Keputusan diambil atas dasar landasan-landasan dalil yg paling kuat yg didapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil2 lain yang lebih kuat. Dengan demikian Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yg pernah ditetapkan. Jikalau ada orang yang tidak paham Muhammadiyah maka dianggap Muhammadiyah saklek(kaku) dengan putusan Tarjih. Maka majelis tarjih dalam hal ini tidak pernah merasa putusan-putusannya yang paling benar.  Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat. Muhammadiyah ketika memutuskan satu perkara hukum itu diambil dari dalil yang terkuat pada saat itu.

Ustadz Ali memberikan contoh dalam buku HPT, bahwa ada larangan memasang lukisan atau gambar KH. Ahmad Dahlan. Alasannya khawatir jadi kesyirikan. Kemudian beberapa tahun kemudian, putusan itu yang awalnya dilarang atau diharamkan kemudian ada pendalilan-pendalilan lain maka putusan yang terbarunya diperbolehkan memasang gambar K.H. Ahmad Dahlan selama bukan untuk kesyirikan dan pandangan warga Muhammadiyah sudah paham bahwa itu tujuannya bukan untuk kesyirikan.

“Sehingga kalo bapak ibu buka HPT jilid 1, tentang hukum gambar kalau Muhammadiyah berpendapat bahwa gambar itu tidak mutlak haram. Tapi hukum gambar itu tergantung illatnya.” Tambahnya. Hal ini menggunakan kaidah

الحكم يضر مع علته وجودا وعدما

“Hukum itu berlaku mengiringi sesuai dengan illatnya.”

Maka jika tidak mengarahkan kepada hal-hal yang haram, yang tidak Allah ridhai hukum memasang lukisan itu mubah. Jadi sesuai dengan illatnya. Maka terjadinya perubahan hukum ketika dalil yang dianggap kuat di saat itu tidak boleh tapi di waktu berikutnya diputuskan kembali dengan dalil-dalil lain yang kuatnya yaitu diperbolehkan. Kemudian, perlu diketahui Muhammadiyah itu menerima koreksi dari siapapun, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Jadi tidak asal kritik yang tidak ada dalil. Dan jika ada temuan baru dalil yang lebih kuat, tidak menutup kemungkinan Majelis Tarjih akan merubah putusannya yang pernah ditetapkan.

“Prinsip Muhammadiyah seperti ini sangat jelas dan enak. Siapapun tidak boleh merasa dirinya paling pintar. Karena ini ciri syaithan (merasa dirinya yang paling benar). Tidak mau menerima kritik. Itulah sifat orang sombong, tidak mau terbuka dan tidak mau menerima saran dan kritik. Jadi di Muhammadiyah tidak seperti itu konsepnya.”jelasnya

Kembali lagi bahwa di dalam hukum mesti terjadi sebuah perubahan. Termasuk di dalam putusan Tarjih pun ada perubahan. Dalam fikih pun para ulama dan mujtahid juga terkadang adanya perubahan. Perubahan-perubahan tersebut tidak asal berubah, tetapi ada persyaratannya. Sebagai berikut:

  1. Ada tuntutan mendesak untuk dilakukan perubahan ketentuan hukum.

Jadi, ada satu kondisi untuk melakukan sebuah kebijakan atau putusan dengan tujuan kemaslahatan, tapi keputusannya belum ada maka karena atas dasar tuntutan mendesak diperlukan sebuah perubahan. Karena ada sebuah tuntutan. Contohnya ketika terjadi covid itu ada sebuah tuntutan yang mendesak, sehingga Muhammadiyah pernah memfatwakan shalat Tarawih cukup di rumah saja.

  1. Tidak mengenai masalah ibadah mahdhah.

Perubahan hukum tidak menyangkut yang ibadah mahdhah seperti shalat. Jadi tidak ada perubahan tentang shalatnya tapi perubahan tentang pelaksanaannya.

  1. Tidak merupakan ketentuan hukum yang qath’i.

Apabila hukumnya itu qath’i maka tidak boleh untuk dirubah. Contohnya mencuri itu hukumnya haram. Hal itu tidak dapat dirubah karena sudah qath’i.

  1. Hukum baru hasil dari perubahan itu harus ada dalilnya.

Jika suatu hukum menggunakan dalil, maka hukum baru pun harus menggunakan dalil juga, sehingga tidak asal berubah saja. Karena di dalam banyak hal, perkara-perkara ibadah semua harus berlandaskan kepada dalil. Dan jika tidak mengetahui, harus bertanya kepada yang ahli.

فاسئلوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون (النحل: ٤٣)

“Maka bertanyalah kepada ahlinya jika kalian tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl: 43)

Sehingga dengan mengetahui dalilnya, bisa semakin kuat dalam melaksanakan perintahNya dan tidak berdasarkan katanya dan katanya.

Sebagaimana Allah Swt berfirman:

وَاِ ذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَا لُوْا بَلْ نَـتَّبِعُ مَاۤ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَآءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَا نَ اٰبَآ ؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًـا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka,”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.”(QS. Al-Baqarah 2: 170)

Pendapat para ulama juga banyak yang mengatakan pentingnya dalil. Salah satunya imam Syafi’i mengatakan”Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah itu seperti orang yang membawa kayu bakar di malam hari (tidak tahu benar membawa kayu bakar atau yang lainnya)”

Contoh dari putusan tarjih yang lama tentang kepemimpinan wanita. Berdasarkan sabda nabi “tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin” (HR. Bukhari). Kemudian diketemukan putusan baru terhadap hadis tersebut bahwa wanita bisa menjadi pemimpin dengan memenuhi alasannya. Antara lain:

  1. Wanita boleh memimpin jabatan publik dilandaskan pada asas kesamaan hak untuk beramal shalih QS. An-Nahl (16) ayat 97.
  2. Manusia berasal dari nenek moyang yang sama sehingga tidak ada perbedaan antara arab non arab yang utama adalah ketakwaannya.
  3. Perubahan menyangkut ahkam fariyah, sesuai perubahan zaman, tempat dan keadaan

(Lihat putusan tarjih 1976 dan fatwa tarjih 1993 (HPT-3, hal. Ix))

Itulah konsep perubahan hukum yang di mana hal itu menjadi keniscayaan dan yang lebih jelas lagi dalam contoh-contoh yang sudah disebutkan.

(Badru Tamam)

Link Full Video Kajian Ahad Pagi