Keutamaan Akhlakul Karimah
Oleh Dr. Busyro Muqaddas, SH., M.Hum
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
(QS. Al-Baqarah/2: 177)
Pada awal diangkat sebagai Rasul, beliau Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa: إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ (sesungguhnya aku tiada diutus oleh Allah kecuali untuk memperbaiki, mengoreksi dan menyempurnakan akhlak manusia). Apabila ditafsirkan dengan tafsir kebalikan atau tafsir akontrario, maka dapat dipahami sebagai berikut: sekiranya Allah tidak bermaksud menjadikan Muhammad SAW itu untuk memperbaiki akhlak masyarakat Arab jahiliyyah kala itu, kemudian menanamkan prinsip-prinsip akhlak untuk umat manusia di kemudian hari, serta bukan untuk memperbaiki akhlak, maka Allah SWT tidak akan mengutus Nabi yang terakhir ini. Begitupun dengan ayat QS. Adz-Dzariyat/51: 56 yang berisi tentang maksud penciptaan jin dan manusia.
Jadi, misi Rasulullah antara lain untuk memperbaiki akhlak. Adapun memperbaiki akhlak di sini bukan untuk masyarakat jahiliyyah saja, akan tetapi juga menanamkan prinsip-prinsip atau dasar pengetahuan, kaidah-kaidah akhlak yang bersumber dari Al-Quran untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. Bagaimana masyarakat Arab kala itu yang penuh kebatilan, kedzaliman, ketidakjujuran, anti kritik dan anti kemanusiaan.
Pernah pada masanya di mana keadaan Arab jahiliyyah pada saat itu, apabila lahir seorang anak laki-laki (dianggap mewakili simbol keberanian) dibunuh, sedangkan ketika lahir anak perempuan yang dianggap sebagai simbol kelemahan, dibiarkan saja. Selain itu juga, siapa yang menang kekuatan senjatanya, maka ia bisa mengalahkan kabilah lain yang lemah. Artinya kekuatan senjata/ fisik yang unggul akan mengalahkan kabilah lain yang lemah. Jadi pada intinya, ukuran kekuatan kala itu ialah terletak pada fisik dan persenjataan, bukan pada akhlaknya.
Sementara Nabi bersabda demikian. Maka dari itu, ketika pernyataan Nabi tersebut ditarik pada masa dan situasi sekarang ini, pada dasarnya misi setiap umat Nabi Muhammad SAW, muslim/ muslimah dimanapun berada, apapun jenis pekerjaannya, jabatan, organisasi maupun tingkatan sosialnya, baik secara individu maupun antar kelompok, misi utama mereka ialah bagaimana Al-Quran dijadikan sebagai sumber akhlakul karimah. Al-Quran dijadikan sebagai patokan utama untuk memperbaiki akhlak. Dimulai dari akhlak pribadi, keluarga dan seterusnya hingga lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaannya. Sebagai polri memperbaikinya di kepolisian, sebagai jaksa di kejaksaan, sebagai hakim di kehakiman, sebagai tentara di TNI, sebagai mahasiswa di kelompok mahasiswanya, sebagai tenaga guru dan dosen, sebagai pedagang, petani, nelayan dan sebagainya itu memiliki misi sebagaimana misi Nabi Muhammad tersebut, yaitu memperbaiki akhlak.
Setiap muslim harus menunjukkan akhlaknya, adapun beberapa jenis akhlak yang harus ia tunjukkan itu antara lain:
- Akhlak kepada Allah: tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, kemudian melaksanakan shalat secara tertib sesuai tuntunan, ditegakkan dengan khusyu’, memperbanyak dzikir dan mengucapkan kalimat thayyibah yang muncul dari hati.
- Akhlak kepada orangtua: menghormati, berbakti dan berbuat baik kepadanya.
- Akhlak terhadap ilmu pengetahuan: jangan sampai kesarjanaannya itu hanya digunakan untuk menggadaikan ilmunya.
Sekitar 10 tahun yang lalu, ditemukan data terkait dengan sebagian hakim yang memperjualbelikan putusannya senilai milyaran rupiah. Ini dibuat oleh hakim yang bergelar Doktor/ Dr. Gelar tersebut merupakan suatu derajat ilmu yang tertinggi. Meski demikian, masih saja bisa membuat putusan hakim yang dapat ditransaksikan, terutama yang berkaitan dengan pilkada, atau juga tentang putusan yang berkaitan dengan rakyat ketika berhadapan dengan sebagian penguasa yang pongah/ sombong, yang tidak mau ditegakkan keadilan kepada dirinya.
Seorang jaksa mentransaksikan pasal-pasal yang diturunkan tuntutannya dengan imbalan sekian milyar, demikian juga pengacara yang membela pihak-pihak yang bersalah, sehingga keputusannya dapat diatur dengan jaksa dan hakim, bahkan dengan aparat kepolisian. Seorang ahli pertanian, bergelar Dr. Ia membuat studi kelayakan, pesanan dari pengusaha sawit, supaya proposal tersebut memberikan pembenaran bahwa proyek kelapa sawit dengan jumlah jutaan hektar itu layak mendapatkan izin pemerintah. Maka kelompok sarjana tersebut membuat proyek proposal dengan imbalan dana tidak kurang dari milyaran rupiah tersebut. Begitupun sebagian dokter yang melakukan praktik aborsi. Mereka itulah intellectual prostitution atau pelacuran yang dilakukan oleh orang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan.
Padahal, Nabi mengingatkan ilmu itu tujuannya untuk menemukan, menegakkan dan memperjuangkan kebenaran, bukan untuk membenarkan yang salah. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa: أَشَدَّ النَّاسَ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ (manusia yang paling pedih siksanya ialah orang yang berilmu, namun ilmunya itu tidak dapat memberikan manfaat). Orang yang berilmu dan tidak mendatangkan manfaat, tapi justru mendatangkan mudharat. Ilmu untuk membela yang lemah. Para nelayan yang menggugat pemerintah terkait kasus reklamasi, keluarga yang suaminya diduga sebagai teroris padahal belum terbukti sebagai pelaku teroris, membuktikan itu harus di tengah pengadilan, dan tidak cukup berdasarkan pernyataan kapolri, bahwa ini terduga teroris, ini terlibat dengan ISIS, tanpa bukti di pengadilan, ini tidak bisa dan harus di pengadilan, bahwa ini adalah negara hukum, dan bukan negara kekuasaan.
Hukum adalah kristalisasi dan gumpalan dari nilai-nilai akhlak. Jadi, apabila hukum yang dibuat oleh sebagian penegak aparat atau penegak hukum yang tidak mengandung akhlak karimah, hal tersebut bukanlah hukum namanya. Melainkan persengkokolan, tipu menipu atas nama hukum yang tidak memiliki misi hukum itu sendiri, dan hal itu tentu bertentangan dengan pernyataan Nabi bahwa diutusnya itu ialah untuk menyempurnakan akhlak.
Dalam kurun waktu terakhir, hampir 100 orang anggota DPR terkena operasi tangkap tangan/ operasi penegakkan hukum korupsi. Berapa banyak bupati yang maju lagi merekayasa APBD, seorang Gubernur di Sumatera mengajukan usulan perubahan APBD provinsi, kemudian supaya perubahan disetujui oleh anggota DPR setempat, maka mereka disuap. Sehingga, sebanyak 38 anggota DPR berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi/ mencuri harta rakyat.
Demikianlah beberapa kasus serta contoh daripada perilaku orang yang berilmu dan memiliki jabatan, namun tidak digunakan dengan sadar bahwa ilmunya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah kelak. Maka di dunia saja, mereka mengalami penderitaan dan kehinaan, apalagi di akhirat kelak. Ketika bercermin berdasarkan pengalaman pribadi, Busyro Mukoddas (BM) pernah mengalami teror dari seseorang:
Tepatnya pada kurun waktu antara tahun 1980–1985. Ada seorang yang mengaku sebagai aktivis mahasiswa di Jogja mendatangi rumah BM di Purwodiningrat, ia bermaksud meminta waktu sejenak untuk wawancara tentang Pancasila dan mengenai Pak Harto (Presiden). Ketika sudah dipersilahkan duduk, ia meletakkan tasnya di kursi dekat dengan tempat duduk BM, bukan di dekat tempat duduknya. Setelah itu, BM meraba tas milik tamu tadi, dan ternyata terdapat tape recorder/ alat perekam di dalamnya.
Sebelumnya, BM sudah diperingatkan oleh seorang teman, bahwa akan ada tamu aneh yang datang ke rumahnya, beliau menyarankan agar BM berhati-hati. Tamu tadi mulai melakukan wawancara, kemudian mengolok-olok Pak Harto dan Pancasila, lalu menanyakan bagaimana pandangan BM. Maka, beliau katakan bahwa “Pak Harto merupakan Presiden yang bagus dan baik dengan segala kekurangannya, seorang muslim dan seterusnya. Kemudian, terkait Pancasila, ia adalah sesuai dengan ajaran umat Islam, sila pertama dengan Tauhid, kemanusian, persatuan dan sebagainya”. Jawaban BM meleset, atau tidak sesuai dengan jebakan orang yang mengaku mahasiswa tadi. Terakhir, barangkali merasa jawaban tadi tidak sesuai dengan harapan, ia kemudian pamit dengan mengatakan bahwa statusnya ialah buronan intel Angkatan Darat. Ia juga mengaku bahwa dirinya tinggal di Notoprajan, Jl. H. Agus Salim.
Setelah kejadian tersebut, dua hari kemudian BM dikejar-kejar oleh intel di Jogja. Kala itu ia sering memanggil BM untuk datang ke Korem 072 Rekso Bhayangkara, kemudian dituduh mendirikan negara Islam Indonesia, yang pada saat itu tudahan sejenis merata hampir terjadi di seluruh perguruan tinggi Islam, bahkan di beberapa kampus negeri. Hal ini berarti, profesi intelegent ini bagus sekali dan harus ada di Negeri ini, namun seharusnya menjadi intelegent yang baik, tidak menjebak-jebak seseorang dan seterusnya. BM sampaikan sekedar utk merespon, bahwa ada pernyataan yang muncul “kampus menjadi sasaran radikalisasi”. Beliau bisa memahami karena yang ngomong ialah orang pemerintah. Jika pernyataan tersebut benar, lantas siapakah yang masuk ke dalam kampus tersebut, apakah benar-benar orang radikalis, ataukan hanya sekadar jebakan yang pernah dialaminya. Nah, ada satu ayat yang menarik;
“In ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa’ tum falahaa”. (apabila kamu berbuat bagus dan baik, tidak merugikan manusia dan bahkan menguntungkan manusia, maka perbuatan baik itu akan kamu ketam, akan kamu raih. Apabila kamu berbuat konyol, memfitnah orang, memfitnah umat Islam, maka tunggulah kamu juga akan mengalami derita dan hal-hal yang tidak menguntungkan dirimu sendiri).
Intel ini kemudian terkena penyakit strok berat sampai 25 tahun dan tidak kunjung sembuh. Tiga tahun yang lalu (tahun 2015, red.) BM di telephone oleh seseorang yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal intel tadi, dan intel tadi jika pergi ke masjid menggunakan kursi roda, karena strok, ia tanya kepada seorang sahabat BM, seorang guru besar. Ia bertanya, “bapak kenal ndak dengan pak Busyro, bisakah bapak mengantar saya untuk menemui beliau?. Bisa jadi sakit saya ini tidak terlepas dari langkah-langkah saya dulu yang sempat menyakiti dan melukai hati sejumlah orang saat itu, termasuk pak Busyro. Dan saya ingin meminta maaf. Mudah-mudahan dengan maafnya tadi, saya bisa segera sembuh atau kalau tidak diwafatkan dalam keadaan khusnul khatimah.”
Beliau menelephon BM, dan dijawab dengan salam hormat, bahwa BM sudah melupakan masa lalu, dan beliau memaafkan semuanya, sebaliknya BM juga mohon maaf. Mendengar jawaban tersebut intel tadi bersyukur dengan syukur yang penuh kegembiraan. Satu bulan kemudian terdengar kabar bahwa intel tadi meninggal dunia dalam keadaan yang sangat bagus.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut?
Setiap orang yang memiliki jabatan apapun, termasuk jabatan aparat pemerintahan, jika dzalim kepada umat yang tidak melakukan perbuatan sejenis teror itu. Maka, akhlak sesama manusia itu perlu dijaga. Untuk itu, bulan Ramadhan seyogyanya dijadikan sebagai bulan penyucian jiwa. Qad aflaha manzakkaha, waqad khoba man dassaha (Beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya).