Puasa Melatih Diri Menjadi Pribadi yang Melimpah

Oleh Dr. Khoiruddin Bashori

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah/2: 183).

            Ayat tentang kewajiban berpuasa, dalam QS. Al-Baqoroh/2: 183 diakhiri dengan harapan agar menjadi orang yang ‘bertakwa’. Ketika mencermati beberapa ayat sebelumnya, di sana diterangkan perihal kisas dan wasiat. Kisas ialah menuntut balas atas suatu kasus pembunuhan. Dalam sebuah istilah disebutkan, “atas nama keadilan, hutang nyawa dibayar nyawa”. Tapi dalam pelaksanaan kisas, apabila keluarga korban memaafkan, maka hukuman tersebut tidak berlaku lagi, melainkan hanya dikenakan diyat/ tebusan. Atau bisa juga pihak keluarga korban memberikan maaf, artinya tidak meminta tebusan sama sekali. Dalam hukum tersebut, ujungnya ialah masalah ‘permaafan’.

            Ayat selanjutnya menerangkan tentang wasiat. Dalam Islam, terdapat beberapa istilah untuk menyebut pemberian kepada orang lain, yaitu hibah, wasiat dan waris. Hibah yaitu pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain, sementara saat ia memberikannya masih hidup. Wasiat dapat diartikan sebagai pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia, adakalanya tentang harta benda. Wasiat pada dasarnya memberi sesuatu kepada orang lain, namun eksekusinya setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam Islam, wasiat berupa harta dibatasi maksimal 1/3 dari harta yang dimilikinya, dan yang menerima harta wasiat ialah selain yang ada dalam hukum waris. Sedangkan, warisan ialah harta yang diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya atau disebut ahli waris.

            Hibah dan wasiat, intinya ialah berbagi/ memberi kepada orang lain, baik kepada keluarga atau siapapun. Begitupun waris, bedanya ia hanya khusus diberikan kepada keluarganya yang termasuk dalam kategori menerima hak warisan tersebut.

            Setelah menerangkan tentang kisas dan wasiat, ayat berikutnya menjelaskan tentang kewajiban berpuasa. Rupanya, puasa melatih untuk bersikap zuhud, imsak/ menahan diri. Zuhud bukan berarti berpaling dari dunia, karena Allah SWT sejatinya menjadikan setiap manusia agar menjadi khalifah atau orang yang mengurus dunia itu sendiri. Orang yang zuhud ialah orang yang sudah mampu menyapih/ melepas kelekatan dengan sesuatu hal yang sifatnya keduniawian. Pada dasarnya, mereka adalah orang yang kaya harta, tapi mereka tidak merasa memiliki. Karena filosofinya ialah innalillahi wa inaa ilaihi rooji’uun, sehingga mereka merasa bahwa semuanya milik Allah, manusia hanya dititipi saja, sedangkan yang hakiki pemilik sepenuhnya hanyalah Allah semata.

            Contoh sederhana, ketika ada yang baru saja membeli mobil baru. Lalu saat berkendara, mobil tersebut tertabrak dari belakang dan penyok. Pertanyaanya ialah, apakah pada saat itu hatinya ikutan penyok? Jika hatinya ikut penyok, berarti mobil tersebut sudah menempel di hati.

            Biasanya, dalam hidup itu hal-hal yang bersifat keduniaan, amat kuat menempel di hati. Maka dari itu, puasa melatih untuk melepas kelekatan dunia dari hati. Sehingga, yang disebut zuhud bukanlah berpaling dari urusan dunia atau tidak memiliki apapun, melainkan orang tersebut sebenarnya mampu secara materi, akan tetapi tidak merasa memiliki. Maka, ketika ada orang lain yang membutuhkan, dengan ringan ia segera memberikan apa yang dibutuhkan orang tersebut.

            Apabila puasanya benar, tentu ia akan menjadi orang yang senang berbagi dan juga pemaaf. Kadangkala yang sulit dimaafkankan ialah masa lalu. Padahal, ia merupakan hal yang menyakitkan. Ketika hal itu terus disimpan bahkan dipelihara, masih juga dibawa sampai tua, maka hal itulah yang seringkali membuat orang menjadi gelisah, gundah dan tidak tenang hidupnya. Namun, jika sudah memaafkan, maka jiwa akan lebih lapang, lebih terlihat gembira dan seterusnya, sebab tidak ada lagi dendam, rasa sakit hati dan apapun yang mengganjal di hati.

            Ketika seseorang sudah merasa senang dalam berbagi, maka itulah yang disebut dengan pribadi yang melimpah. Filosofinya ialah bahwa ‘rezeki Allah SWT tidak terbatas’, orang yang memiliki keyakinan seperti itu, ketika sesuatu yang ia miliki diberikan kepada orang lain, maka ia tidak pernah merasa berkurang. Meski berapapun yang ia miliki dan diberikan kepada siapapun orang yang membutuhkannya. Justru kebiasaan membantu itu akan diganti dengan yang lebih banyak.

            Misalnya, ketika ada seorang anak yang sudah berkeluarga, kemudian berkunjung ke rumah orangtuanya. Lalu diberinya air minum, kemudian anak tadi meminumnya dengan lahap. Hal yang pasti dilakukan orangtua ialah langsung ke belakang mengambilkan teko/ termos. Antara gelas dan termos sudah pasti lebih besar termos, begitulah analogi ketika Allah SWT melihat para hamba-Nya. Ketika gelas masih penuh, maka tidak mungkin akan diisi air kembali.

            Jika Allah melihat rizki masih penuh, maka tidak akan ditambah lagi. Oleh karenanya, jika ingin agar rizkinya bertambah, sering-seringlah berbagi. (هَلْ جَزَاءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ) ‘Tidak ada balasan atas suatu kebaikan selain kebaikan pula’. Ketika orang tersebut berbuat baik kepada orang lain, maka ia akan dibalas baik juga oleh orang lain. Puasa ini melatih diri melepas ikatan dan menjadikan pribadi semakin melimpah, sehingga berbagi menjadi lebih mudah.

            Terkisah seorang penjual pisang goreng yang mendapat hadiah umroh, saat itu ia melihat anak kecil menangis terseduh-seduh di hadapan pisangnya yang jatuh. Ketika seorang penjual pisang goreng tersebut bertanya alasan anak itu menangis, kemudian dijawab bahwa pisang yang anak tadi beli jatuh, padahal pisang itu titipan dari orangtuanya yang sedang sakit. Kemudian oleh penjual pisang tadi anak itu diberinya uang sebesar 100 ribu rupiah. Betapa hebatnya penjual pisang tadi, padahal dalam sehari hanya mampu mengumpulkan uang 20-30 ribu saja. Ketika ditanya, penjual tadi hanya menjawab kasihan. Hatinya tersentuh, prinsipnya ialah ‘nanti akan ada rejeki lagi’. Ia selalu optimis dengan yang tidak terhingga itu.

            Kisah lain, tukang becak di Malang. Setiap harinya ia mangkal di samping hotel. Ia berniat bahwa setiap hari Jumat, siapapun orang yang naik ke becaknya itu akan digratiskan atau tidak diminta biaya sepeserpun. Suatu ketika ada seorang pengusaha yang naik becak itu dan minta diantar ke satu tempat. Saat akan membayar, tukang becak tadi menolak dan menjelaskan alasannya. Baginya, karena dirinya belum bisa bersedekah dengan memberikan uang, ia hanya mampu memberi pelayanan demikian, maka ia lakukan. Beberapa hari kemudian, karena pengusaha tersebut merasa terkesan dengan tukang becak tadi, ia mencari informasi apakah hal itu atas inisiasi tukang becak tadi ataukah atas persetujuan keluarga. Ternyata hal itu sudah disepakati sekeluarga. Maka, saat itu juga pengusaha tadi meminjam KTP mereka dan langsung mendaftarkan haji keluarga tersebut.

            Apa yang terjadi seperti demikian, ternyata mampu dilakukan oleh mereka yang secara umum bukanlah orang yang memiliki pengalaman pendidikan yang tinggi. Maka, semestinya seorang terpelajar, yang sekolahnya sudah lama, lebih bisa melakukan kebaikan-kebaikan yang semisal, atau bahkan lebih. ( ٱلْبِرُّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ…), ‘orang bertakwa ialah yang selalu berbuat kebaikan terus menerus, kapan dimanapun’.