Ramadhan Mengajarkan Kepedulian Sosial

Oleh HM. Riduan, SE., M.Ag

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. al-Hasyr/59: 7)

            Negara Indonesia tengah menghadapi problem sosial ekonomi yang sangat serius, antara lain masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial. Pertama, bahwa kemiskinan di negeri yang kaya raya ini menurut data badan pusat statistik tercatat sekitar 10,12 %, tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2017 rata-rata nasional. Jumlah tersebut nampaknya tidak terlalu besar, namun ketika melihat lebih jauh mengenai indikator atau ukuran siapa saja yang tergolong miskin, maka hal itulah yang akan menjadi persoalan.

            Dalam mengukur tingkat kemiskinan, biasanya menggunakan standar pengeluaran perhari perkapita (perorang) satu bulan. Hari ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika ialah Rp. 14.100,- yang mana tren.nya ialah nilai tukar tersebut semakin hari semakin naik. Jika setiap penduduk pengeluaran setiap harinya katakanlah satu dolar, atau sekitar 14.000an rupiah. Padahal, bagi mahasiswa uang sejumlah itu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

            Sebuah keluarga dengan jumlah anggota keluarga empat orang, yakni seorang suami, seorang istri dan dua orang anak, perhari ialah 14.000 x 4 orang ialah 56.000 rupiah. Dalam hal ini, maka penghasilan 50.000 perhari dapat tergolong dalam kategori miskin. Padahal, masih sangat banyak masyarakat yang berpenghasilan di bawah itu. Ketika pengeluarannya dinaikkan menjadi 1,5 dolar atau setara dengan 21.000, maka jumlah rakyat miskin di Indonesia semakin besar.

            Jumlah penduduk Indonesia misalkan 250.000.000 jiwa, apabila 10% dari jumlah tersebut miskin, berarti terdapat sekitar 25 juta rakyat miskin. Jika ditambah setengah dolar lagi, maka akan semakin bertambah banyak yang masuk dalam kategori miskin, yakni sekitar 50 juta jiwa. Bagi mahasiswa, melihat hal itu harus benar-benar sadar dan mulai membangun kepedulian. Adapun, kaitannya dengan Ramadhan, maka pada dasarnya Ramadhan mengajarkan setiap muslim untuk membangun kepedulian sosial.

            Kedua, untuk mengukur tingkat kesenjangan, biasanya menggunakan apa yang disebut dengan indeks gini rasio. Indeks gini rasio yaitu mengukur tingkat kesenjangan antara orang yang kaya dengan orang yang miskin, antara orang yang berpenghasilan tinggi dengan orang yang berpenghasilan rendah. Sedangkan, Indonesia sendiri memiliki indeks gini rasio sebesar 3,93%. Mendekati angka 1 berarti semakin jelek, dan mendekati angka 0 artinya semakin baik. Angka 0 berarti tidak ada kesenjangan sama sekali. Tidak ada negara manapun yang menunjukkan bahwa indeks gini rasionya 0. Hal ini berarti kesenjangan sosial terjadi merata di semua negara.

            Kesenjangan sosial di Indonesia tergolong sangat tinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat penduduk yang berpenghasilan sangat besar. Namun, di lain sisi masih banyak penduduk yang berpenghasilan sangat kecil. Satu persen penduduk di Indonesia ada yang menguasai lebih dari 80 persen aset negara. Ketika coba diperas lagi, yang muslim ternyata hanya satu dua orang saja. Sehingga, apabila terdapat 50 orang terkaya di Indonesia, maka orang muslim yang kaya hanya ada dua orang.

            Negeri yang kaya raya ini hanya dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian menjadi satu keanehan tersendiri, bahwa dalam satu sisi tingkat kemiskinan tinggi, yakni antara 26-50 juta orang, akan tetapi di sisi lain masih ada mobil-mobil mewah bersliweran. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan benar-benar nyata adanya: yang miskin banyak, pembangunan yang menggusur masyarakat, namun ketika jalan (tol) sudah jadi justru yang menikmati hanya orang-orang yang berpenghasilan tinggi saja.

            Ketiga, tingkat pengangguran di Indonesia sekitar 5,5 %. Mereka yang berpendidikan hampir selalu tidak mendapatkan pekerjaan, karena serapan lapangan pekerjaan yang sangat rendah. Ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi para mahasiswa khususnya, apakah setelah lulus kuliah nanti akan menjadi pencari kerja atau yang lainnya. Fenomena yang terjadi ialah begitu wisuda, merasakan kebahagiaan sejenak lalu hari berikutnya, pagi-siang-sore membaca koran, mencari lowongan pekerjaan. Atau memfotokopi ijazah dan melegalisir sebanyak-banyaknya, lalu setiap hari mengirim lamaran kerja kemanapun, sambil berharap ada yang diterima lamaran kerja tersebut.

            Sesungguhnya puasa mengajarkan untuk dapat mengurai persoalan demikian. Meskipun ibadah puasa tergolong ibadah individu, akan tetapi kesempurnaan puasa ialah pada saat orang tersebut telah melakukan ibadah sosial lainnya, yakni berbentuk zakat fitrah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwasanya:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Dawud)

            Ketentuan tersebut menjadi personifikasi atau social care, yakni memberikan kepedulian sosial yang disarankan oleh Allah melalui ibadah puasa Ramadhan. Adakalanya banyak muslim hanya sampai pada ibadah zakat saja, sehingga zakat yang menumpuk itu masih belum dapat memberikan social effect atau tidak berdampak pada sosial kehidupan.

            Salah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Wawan Gunawan memiliki gagasan menarik tentang pengelolaan zakat, yang kemudian dituangkan dalam bentuk disertasi. Zakat ini tidak dibagikan langsung habis menjelang idul fitri, akan tetapi dikelola sedemikian rupa sehingga memiliki efek sosial yang lebih baik. Menurutnya, kekayaan yang menumpuk pada akhir Ramadhan semestinya tidak dihabiskan begitu saja hanya sekadar membangun rasa empati dalam berbagi kebahagiaan Idul fitri.

            Selama ini karena persepsinya harus habis, maka dipaksakan habis zakat tersebut sampai menjelang idul fitri. Padahal, orang yang menerima pemberian zakat fitrah itu sudah menumpuk banyak sekali. Hal yang dikhawatirkan bagi seorang mustahik ialah muncul mental konsumtif baru. Ketika pada awalnya tidak mempunyai sumber penghasilan, begitu mendapat jatah zakat fitrah, bahkan terkadang dibarengi dengan pemberian zakat mal (yang dipaksakan harus habis itu) maka timbullah perilaku konsumtif.

            Meskipun semua itu hak mereka, namun sebagai seorang muzaki atau amil yang diamanahi mengelolanya, seharusnya berfikir lebih konstruktif dan produktif lagi. Hal itu memang masih menjadi ranah kajian, tapi kalau konteksnya dalam rangka pemberdayaan, maka akan memiliki dampak yang baik.

            Dalam kaitannya dengan QS. Al-Hasyr/59: 7, Allah menginginkan supaya harta ini tidak berputar-putar di kalangan orang kaya saja,  كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ… Ketika terdapat 50 orang terkaya di Indonesia, sementara yang muslim hanya ada seorang, kemudian mereka mampu menguasai aset mayoritas yang ada di Indonesia. Maka sesungguhnya proses pembangunan di negara ini tidak sejalan dengan syariat Islam. Karena pada dasarnya syariat mengajarkan agar ada distribusi aset tersebut.

            Apabila orang yang kaya hanya ada sedikit, sementara orang yang miskin masih sangat banyak, hal tersebut akan sangat rentan terhadap timbulnya goncangan ekonomi. Itulah yang disebut dangan economic bubble/ ekonomi gelembung sabun. Terlihat sangat besar dan tumbuh besar, namun ternyata yang tumbuh hanya segelintir orang.

            Atau ada juga istilah piramida terbalik. Di atas terlihat besar, akan tetapi di bawah lebih kecil, sehingga berdirinya tidak kokoh. Begitu ada goncangan ekonomi sedikit, maka keadaan ekonomi dapat dipastikan akan lebih mudah goyah, bahkan mengalami krisis. Rakyat yang berjumlah besar ini tidak menikmati kue pembangunan yang proporsional. Demikianlah yang disebut dengan kesenjangan ekonomi.

            Ramadhan mengajarkan setiap muslim untuk dapat memiliki aksi ke arah social care/ peduli kepada kehidupan sosial. Sehebat dan sebaik apapun Ramadhan yang dilakukan secara individu, tetap dinilai tidak sempurna jika tidak diiringi dengan ibadah sosial yang semakin baik. Kepedulian kepada masyarakat merupakan wujud dari pelajaran yang bisa dipetik dari bulan Ramadhan.