Posts

Empat Karakter Penting untuk Bekal Menuju Akhirat

YOGYAKARTA—“Dalam aktivitas di dunia tentu harapannya dapat menjadi aktivitas yang membawa bekal kita ke akhirat kelak. Apapun yang kita lakukan, aktivitas apapun yang kita kerjakan, profesi apapun yang kita pegang hari ini. Harapannya, aktivitas, kegiatan, dan profesi tersebut dapat mengantarkan kita pada kebaikan di akhirat kelak atau bahkan semua itu menjadi ladang amal bagi kita di akhirat kelak.” Disampaikan oleh Ustaz Aly Aulia (Mudir Mu’allimin Yogyakarta) saat memberika kajian qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Senin (11/04).

Ustaz Aly menerangkan bahwa ada satu ayat dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang mencari bekal untuk kehidupan akhirat. Allah Swt berfirman:

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77)

Dalam ayat tersebut Allah Swt menggambarkan bahwa kita diperintahkan untuk mencari kehidupan di akhirat kelak, tetapi kita jangan sampai melupakan aktivitas kita di dunia.

Saya bisa memberikan gambaran bahwa kita bisa menomor satu kan akhirat, tetapi tidak bisa menomorduakan dunia. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa sosok yang bisa betul-betul selamat yang mendapatkan banyak kenikmatan dan karunia adalah sosok yang mampu menyeimbangkan akhirat dan dunia nya. Mampu menjadikan aktivitas dunia menjadi bekal akhiratnya. Tentu momentum Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita bisa memastikan apakah yang kita lakukan itu itu terdapat keberkahan dan dapat menjadi ladang atau bekal kita di akhirat nanti.” Tutur ustaz Aly.

Menurut Ustaz Aly setidaknya ada empat karakter yang harus diperhatikan agar aktivitas dunia kita berpengaruh pada kehidupan akhirat kelak:

Pertama, memiliki karakter “al-Fahmu (pemahaman)”. Paham dan mengerti banyak yang memerintahkan kepada kita untuk mengetahui terlebih dahulu sesuatu sebelum mengerjakannya. Itu tidak hanya berkaitan dengan masalah keduniaan, tetapi juga berkaitan dengan aspek ibadah. Ibadah sendiri adalah aspek dan interaksi langsung antara kita dengan Allah Swt. Kita diperintahkan untuk belajar tentang salat sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Kita dituntut untuk belajar berbagai macam hal terkait dengan ajaran-ajaran agama termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan, serta profesi yang kita jalani untuk dipastikan di dalamnya terdapat prinsip al-fahmu.

Kita paham dan mengerti apa yang sedang atau akan kita lakukan. Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami atau kita mengerjakan sesuatu yang jauh dari nilai-nilai pemahaman kita. Kita harus paham bahwa setiap aktivitas ada pertanggungjawabannya. Ketika aktivitas-aktivitas tersebut dilandasi dengan pemahaman dan literasi yang tepat, maka insya Allah itu akan membawa bekal di akhirat kelak. Rasulullah Saw bersabda:

كلكم راع  و كلكم مسؤول عن راعيته

Artinya: Setiap kamu adalah pemimipin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin.

Maka dari itu, aktivitas kita kegiatan kita pekerjaan kita profesi kita mari kita lakukan dengan keahlian dan profesionalitas kita. Kita mengerti bahwa ini adalah pekerjaan yang memang harus kita lakukan dengan benar. Momentum Ramadhan Ini adalah momentum untuk belajar belajar memahami berbagai hal, karena akan sia-sia perbuatan kita jika perbuatan itu tidak didasarkan pada pemahaman. Pungkasnya.

Kedua, karakter “ath-Tha’ah (ketaatan)”. Pemahaman ini juga harus didasarkan dengan ath-Tha’ah yaitu ketaatan kepada Allah Swt. Segala aktivitas dan profesi yang dilakukan adalah sebagai wujud daripada ketaatan kepada-Nya. Interaksinya adalah interaksi yang halalan thayyiban. Life style-nya halalan thayyiban. Gerak-geriknya halalan thayyiban. Inilah pribadi orang-orang yang beriman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah. (QS. Al-Baqarah: 172)

Ketika kita paham, lalu melakukan sesuatu sesuai dengan pemahaman, kemudian pemahaman itu diwujudkan dengan ketaatan kepada Allah, maka pastilah perbuatan itu menjadi perbuatan yang bernilai dan kelak menjadi bekal di akhirat.

Adapun karakter yang ketiga adalah karakter ikhlas. Setelah paham apa yang dilakukan dan apa yang dilakukan sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Selanjutnya adalah harus dilakukan dengan keikhlasan. Ikhlas adalah melakukan sesuatu dengan sebenar-benarnya untuk Allah dan sebenar-benarnya hasil dari pemahaman dan ketaatan kepada-Nya. Wujud ikhlas tidak ada kaitannya dengan imbalan, apakah akan mendapatkan imbalan atau tidak. Ketika kita tahu bahwasanya suatu perbuatan itu sifatnya sukarela, lalu kita melakukannya dengan semena-mena maka itu jauh dari yang namanya ikhlas.

Adapun karakter yang keempat adalah “ats-Tsabat”. Tsabat artinya kuat pendirian. Dalam menjalani aktivitas tentu ada godaan dan tantangannya. Apakah itu dalam rangka untuk belajar memahaminya, atau apakah itu dalam rangka bercampur dengan sesuatu yang halal atau tidak, atau apakah ada kaitannya dengan motivasi atau lain sebagainya, tetapi ketika itu dibingkai dengan Tsabat yaitu kuat pendirian, maka  akan muncul kesabaran ketika diuji dan akan muncul kesyukuran  ketika diberi kenikmatan. Kemudian senantiasa istiqamah dalam menjalankannya.

Itulah setidaknya empat karakter penting yang harus terus kita tumbuhkan, sehingga aktivitas kita benar-benar aktivitas yang dapat menjadi bekal di akhirat kelak. Agak sulit menjalani aktivitas dunia ketika aktivitas itu jauh dari pemahaman dan jauh dari nilai yang benar, apalagi jauh dari prinsip-prinsip ketaatan dan kepatuhan yang dilakukan dengan motivasi yang jauh dari keikhlasan. Dilakukan dengan sembarangan. Dikerjakan dengan asal-asalan, maka pastilah itu perbuatan yang jauh dari bernilai ketika mengharap di akhirat kelak.

Momentum Romadhon adalah momentum penting untuk kita melakukan sebuah perubahan. Perubahan dalam arti bukan fisik badan kita, tetapi perubahan budi pekerti dan karakter kita. Karakter yang penuh dengan pemahaman dari hanya sekedar ikut-ikutan. Mengedepankan aspek yang halal dan Thayyib daripada menghalalkan segala cara. Apalagi itu jauh dari nilai-nilai yang halal dan thayyib. Dia mau berinteraksi dengan sekuat tenaga dengan penuh keyakinan ketika itu dilaksanakan secara istiqamah Allah akan menjadikan semua perbuatan kita di dunia ini, aktivitas kita termasuk di dalamnya profesi kita bernilai.”

“Apakah itu menjadi mahasiswa, guru, dosen, pegawai, dan lain sebagainya semuanya akan menjadi bekal di akhirat kelak ketika dijalani dengan pemahaman yang baik. Wujudnya adalah ketaatan kepada Allah dan interaksinya kepada yang halal dan Thayyib, sungguh-sungguh dalam menjalankan, teguh pendiriannya, dan jauh dari godaan-godaan yang ia bisa lakukan. Itulah yang akan menjadi pribadi yang beruntung tidak hanya di dunia tetapi di akhirat.” Tegas ustaz Aly Aulia, Mudir Mu’allimin Yogyakarta. (Ahmad Farhan)

Good Government dan Clean Government

YOGYAKARTA—“Sepatutnya untuk menjaga Indonesia yang baik, berkemajuan, adil, dan makmur sebagaimana digambarkan dalam Pancasila itu adalah dengan membangun sumber daya manusia yang religiusitas dan spiritualitasnya tinggi. Orang yang religius dan spiritualitasnya tinggi insya Allah apapun amanah yang diberikan dia akan mengusahakan untuk tidak menyentuh hal-hal yang tidak dibolehkan.” Tegas ustaz Immawan Wahyudi (Wakil Bupati Gunung Kidul Periode 2011-2021 dan Dosen Fakultas Hukum UAD) saat menyampaikan kajian qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Ahad (10/04).

Ustaz Wahyudi menerangkan bahwa good government dan clean government adalah topik lama yang ada di awal-awal reformasi, tetapi kemudian isu ini hilang begitu saja, terlebih lagi praktiknya justru sebaliknya dari apa yang diharapkan. Reformasi kala itu menghasilkan pemerintahan yang begitu rupa seperti yang dibuat prinsip-prinsipnya dalam good government dan clean government

Adapun definisi singkat dari good government adalah pemerintahan yang berbasis pada akuntabilitas, profesionalitas, transparansi, partisipasi publik, efektifitas, dan efisiensi, serta supremasi hukum. Intinya, good government adalah pemerintahan yang baik. Sedangkan clean government berorientasi pada prioritas pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi sepenuhnya pada pelayanan masyarakat, serta bertumpu pada perolehan bersama agar  terhindar dari sekat-sekat, di mana nanti ada bagian masyarakat memperoleh kue pembangunan yang lebih besar, sementara sebagian masyarakat lainnya memperoleh kue yang sangat kecil. Walaupun kebanyakan orang sering menghubungkan antara clean government dengan isu korupsi saja.

Nah, korupsi itu bagian kecil saja dari clean government, tetapi justru korupsi itu yang menggagalkan konsep baik good government maupun clean government. Ringkasnya, awal-awal reformasi kita berharap dengan adanya amandemen UUD 1945 sampai 4 kali, terakhir tahun 2002. Kemudian diikuti dengan munculnya UU, terutama UU tentang pemberantasan korupsi, kemudian di daerah juga dibuat Perda-perda yang menguatkan akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dst. Pada awal-awal reformasi tahun 2000-2004 kelihatan agak lumayan, tetapi korupsi itu saat itu basisnya politik.Terang Wakil Bupati Gunung Kidul 2011-2021 tersebut.

Indonesia dikaruniai oleh Allah Swt alam yang begitu indah dan subur. Akan tetapi, manusia yang ada  di dalamnya harus banyak bersabar. Pemberantasan korupsi kaitannya adalah dengan hukum dan penegakkan hukum, tetapi lebih dari itu adalah “moralitas”. Ketika awal-awal reformasi tahun 2000-2004 kala beliau menjadi anggota DPRD DIY nampak sekali adanya kecenderungan-kecenderungan yang bersifat politis, tetapi secara keseluruhan isu korupsi masih kuat dan cenderung stabil. Kemudian, banyak orang berharap bahwa semua persoalan itu dapat diselesaikan dengan UU. Itu bagus sebagai sebuah negara demokrasi di mana pejabatnya dipilih. Setelah dipilih seharusnya pejabat tersebut membawa inspirasi dan aspirasi dari masyarakat. Kemudian jabatan dan kewenangannya dapat menghasilkan hal-hal yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu melindungi dan mensejahterakan masyarakat.

Tapi kemudian justru di dalam UU sendiri sering kali sudah membawa masalah di dalamnya. UU yang baik sebetulnya problem solver, tetapi UU yang lahir setelah reformasi mengandung problem-problem yang akut. Tentu saja kita ingat bagaimana UU Omnibus Law yg kemudian dibatalkan oleh MK. Walaupun ada kejanggalan dibatalkan, tetapi diberi waktu 2 tahun untuk perbaikan. Intinya adalah segala macam konsep, UU, dan segala macam yang ditegakkan dengan struktur kekuasaan itu menjadi nisbi (relatif) bahkan seringkali ambyar. Mengapa? Dalam UU tersebut sudah didrive hal-hal yang menguntungkan bagi kelompok tertentu dan merugikan banyak masyarakat. Ungkap salah satu dosen UAD ini.

Menurut beliau, sepatutnya untuk menjaga Indonesia yang baik, berkemajuan, adil, dan makmur sebagaimana yang digambarkan dalam Pancasila itu adalah dengan membangun sumber daya manusia (SDM) yang memiliki religiusitas dan spiritualita tinggi. Orang-orang yang memiliki religius dan spiritualitas tinggi insya Allah apapun amanah yang diberikan kelak dia akan mengusahakan untuk tidak menyentuh hal-hal yang tidak dibolehkan, dalam bahasa Arab istilahnya “diharamkan”. Kalau dalam bahas hukum disebut “illegal”.

penyampaian kajian tarawih oleh Dr. H. Immawan Wahyudi, M.H.

Sesungguhnya sederhana sekali korupsi itu. Mengatasinya adalah jangan sampai seseorang yang memiliki jabatan, terutama jabatan publik yang memang biaya politiknya sangat mahal itu sudah ada dalam pikirannya proyek-proyek, jaringan-jaringan bisnis, pembagian-pembagian kue-kue pembangunan yang tidak transparan. Jadi, UU sebagus apapun dan KPK-nya sekuat apapun kalau manusianya secara religiusitas dan spiritualitas lemah, bahkan mungkin tidak punya basis yang baik, maka korupsi akan terus berjalan.

Fenomena sekarang, banyak pejabat itu nyambi. Di sisi lain sebagai pengusaha, juga sebagai pejabat. Tentu nanti akan terjadi konflik kepentingan. Conflict on interest adalah bagian dari korupsi. Oleh karena itu, himbauan bagi kita di bulan Ramadhan, selain meningkatkan wirid yang dapat meningkatkan spiritualitas dan religiusitas. Cobalah kita untuk fokus membangun manusia yang memiliki spiritualitas dan religiusitas tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan. Tidak akan orang yang memiliki spiritualitas yang kuat dan baik terpikir begitu menjadi pejabat untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.

Mudah-mudahan ketakwaan kita di bulan Ramadhan tahun 1443 H ini bentuknya adalah melahirkan manusia-manusia Indonesia yang spiritualitas dan religiusitasnya baik. Baik untuk pemerintahan, sektor-sektor swasta, dan semua hal untuk menghadapi Indonesia yang lebih maju, lebih baik, adil, makmur, sejahtera lahir dan batin. Pesan ustaz Immawan Wahyudi. (Ahmad Farhan)

Kalender Islam Global Solusi untuk Mengatasi Perbedaan

YOGYAKARTA—“Kita memulai puasa ada perbedaan. Ada yang memulai hari Sabtu dan ada yang memulai hari Ahad. Kenapa berbeda? Karena ada sisi lain yang perlu kita pahami. Ini disebabkan adanya perbedaan metode yang digunakan ada yang menggunakan metode rukyat dan ada yang menggunakan metode Hisab.” Terang Ustaz Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) saat memberika kajian qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Sabtu (09/04).

Pertanyaannya, mengapa yang satu menggunakan rukyat dan yang lain menggunakan Hisab? Adapun yang menggunakan rukyat itu mendasarkannya kepada hadis Nabi Saw:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) kamu karena melihat hilal. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ustaz Syamsul menjelaskan hari raya dan puasa itu sebabnya karena melihat Hilal. Kalau Hilal terlihat maka puasanya dilaksanakan keesokan harinya. Kalau hilal Tidak terlihat maka pada tanggal 29 bulan berjalan puasanya dilaksanakan lusa. Ini bagian dari rukyat dan hal ini telah berjalan selama berabad-abad sehingga menjadi tradisi, serta menjadi satu ritual yang dianggap penting seperti halnya kita berbuka bersama. Kita tentu bahagia saat menanti waktu berbuka juga kita akan bahagia ketika menanti munculnya hilal.

Pada sisi lain memulai ibadah puasa atau bulan baru secara umum, baik itu Ramadhan, Syawwal, dan Zulhijjah serta bulan-bulan lainnya. Itu tidak berdasarkan penampakan, tetapi berdasarkan posisi geometris dari satu benda langit yang disebut bulan. Asal posisi itu terpenuhi, baik terlihat maupun tidak terlihat, maka keesokan harinya mulai bulan baru.

Bagaimana posisi itu? yaitu sesudah ijtimak saat matahari tenggelam bulan belum tenggelam. Jadi, ijtimak terjadi ketika bulan berada pada bidang datar yang sama atau pada garis lurus, lalu ketika matahari tenggelam bulan belum tenggelam.

Apakah ketika dia terbenam atau belum terbenam terlihat atau tidak terlihat?  Bukan itu yang menjadi permasalahan. Menurut ustaz Syamsul yang penting sudah terjadi ijtimak kemudian saat matahari tenggelam bulan belum tenggelam. Itu adalah satu kriteria. Ada kriteria yang lain, yaitu sudah imkanur-rukyat di mana pun di suatu tempat di muka bumi sebelum pukul 12.00 waktu GMT. Dengan demikian telah terjadi imkanur rukyat di mana pun; Samudera Hindia, Laut Pasifik, Benua Amerika, Benua Australia, Benua Eropa, dan sebagainya. Lalu, di mana pun di Indonesia. Pokoknya ketika sudah terjadi imkanur-rukyat di suatu tempat di dunia yang terjadi sebelum pukul 12.00 waktu internasional, GMT. Maka masuk bulan baru. Ini juga hisab. Ini kreteria kalender global.Terang ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.

Kemudian, mengapa menggunakan hisab dengan melihat posisi tadi? Kalau kita menggunakan rukyat, rukyat itu coverannya di muka bumi bersifat terbatas. Di suatu tempat dapat terlihat, tetapi di tempat lain tidak terlihat. Di Mekkah terlihat, tetapi di Indonesia tidak. Di Benua Amerika terlihat, tetapi di Benua Eropa tidak terlihat. Rukyat itu fenomena yang sifatnya lokal. Sebetulnya, tidak ada masalah ketika terjadi perbedaan seperti Bulan Ramadhan sekarang ini. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah nanti ketika bulan Zulhijjah. Di Mekkah hilal terlihat, tetapi di tempat lain seperti Indonesia belum tentu terlihat. Misalnya, ketika di Mekkah terlihat di Indonesia dan atau tempat lain tidak terlihat, maka 1 Zulhijjahnya berbeda. Di Mekkah keesokan harinya, di tempat lain lusa. Berarti tanggal 9 Zulhijjahnya juga berbeda. Misalnya di Mekkah tanggal 9 jatuh pada hari Senin, lalu karena Hari Arafah umat Islam yang tidak menunaikan ibadah haji, tidak wukuf di Arafah di sunnahkan pada hari itu untuk berpuasa. Kalau tanggalnya berbeda, maka di sini baru tanggal 8, di Mekkah sudah tanggal 9.

Lalu puasa Arafah kapan dilaksanakannya? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab. Apakah ketika tanggal 8-nya atau besoknya? Kalau besoknya, di Mekkah sudah tanggal 10. Sudah Idul Adha. Inilah masalahnya kalau kita menggunakan rukyat. Masalah ini bisa diatasi kalau kita menggunakan Kalender Islam Global dan Kalender ini hanya dimungkinkan dengan hisab. Itulah alasan mengapa sebagian menggunakan hisab. Supaya kita bisa menepatkan hari-hari ibadah kita.

Mudah-mudahan memberikan pemahaman pada kita mengapa terjadi perbedaan seperti itu. Dalam kehidupan sosial kita diharapkan bisa bertoleransi. Yang puasa hari Minggu menghormati yang puasa hari Sabtu dan yang puasa hari Minggu dihormati oleh yg puasa hari Sabtu. Tapi idul fitri yg akan datang di atas kertas diramalkan sama. Mungkin Idul Adha akan berbeda. Ini baru satu kemungkinan. Jadi, nanti jangan tanya puasa Arafahnya bagaimana? Ini tidak bisa dijawab. Dijawabnya dengan kalender Internasional.” Tutup ustaz Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. (Ahmad Farhan)

Pandangan Agama Islam tentang HAM

YOGYAKARTA—“Umat Islam sebagai Perintis negeri ini, termasuk ormas-ormas Islam; NU, Muhammadiyah, Dewan Dakwah, dan yang lainnya mempunyai tanggung jawab untuk mencegah sebab-musabab terjadinya pelanggaran HAM, yaitu korupsi. Sebab, korupsi itu sumber-akar permasalahannya adalah demokrasi yang transaksional yang dipenuhi dengan suap.” Demikianlah apa yang disampaikan oleh ustaz Busyro Muqoddas (Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM) saat memberikan tausiyah qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Jum’at (08/04).

Ustaz Busyro menerangkan dua hal yang melatar belakangi dari judul tausiyah atau kajian beliau; pertama, agama Islam adalah agama yang sempurna yang di dalamnya sudah diatur pengertian mengenai hak asasi manusia bahkan mengatur juga mengenai kewajiban-kewajiban asasi manusia; kedua, dari sudut kenyataan sekarang ini, bahkan dari tahun-tahun yang lalu harus dikatakan yang benar dengan apa adanya agar kita semua dapat mengikutinya dan yang salah yang melanggar kebenaran agama dan kenegaraan itu harus dikatakan salah. Tidak boleh tidak tegas.

Menyampaikan kebenaran merupakan bagian dari pelaksanaan agama. Pelaksanaan agama di Indonesia telah dijamin secara tegas dan jelas oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Negara tidak boleh menghalang-halangi. Ketika mengingatkan pun harus dengan cara-cara yang makruf.

Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah Swt, sebagaimana yang telah kita pahami bersama. Hal ini termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

Artinya: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (QS. al-Maidah: 3)

Ustaz Busyro menjleaskan bahwa dalam ayat ini Allah Swt menegaskan bahwa Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah dan sudah menjadi sumber kenikmatan bagi yang melaksanakannya. Oleh karena itu Islam adalah agama yang diridai oleh Allah untuk seluruh umat manusia. Bahkan dalam ayat lain ditegaskan:

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ

Artinya: Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. (QS. Ali-‘Imran: 3)

Ada juga ayat lainnya:

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

Artinya: Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. (QS. Ali-‘Imran: 85)

“Islam agama yang sempurna. Maka Islam itu oleh Allah sudah dilengkapi dengan kitab suci al-Qur’an ditambah dengan penjelasan dari Nabi Muhammad Saw dalam as-Sunnah yaitu merupakan penjelasan-penjelasan operasional yang lebih detail dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga sumber hak asasi manusia dalam Islam itu ada dua yaitu Alquran dan as-sunnah.” Terang Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM.

Adapun garis besar dari hak asasi manusia itu adalah manusia dalam Islam sudah diciptakan dengan sempurna. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt dalam QS. At-Tin: 4. Kesempurnaan manusia setidaknya ada tiga:

Pertama, kesempurnaan manusia itu ada di hati nuraninya. Sumber perasaan, intuisi, semangat, ruh, serta sumber kejiwaan ada di hati. Hati itu ada, tetapi tidak kelihatan. Itu barang ghaib hanya Allah saja yang mengetahui. Siapa yang hatinya mengingat Allah maka akan tenang.

Kedua, manusia itu diberi otak. Otak dapat dilihat dengan alat kesehatan sepanjang otak itu sehat maka otak dapat digunakan untuk berfikir. Jika banyak meminum minuman keras dan suka berbohong, maka itu akan dapat merusak hati dan juga otak, termasuk korupsi. Korupsi banyak dilakukan oleh para pejabat atau aparatur negara yang tidak jujur. Setiap barang ; makanan dan minuman yang dihasilkan dari sesuatu yang tidak halal, misalnya korupsi. Maka, itu dapat merusak hati dan juga otak.

Ketiga, kesempurnaan manusia karena diberikan unsur material yaitu badan. Ada mata, telinga, hidung, dan selainnya. Semuanya saling melengkapi.

Dengan demikian, ada tiga unsur manusia dapat disebut sebagai makhluk yang sempurna; hati atau qolbun sebagai sumber keimanan, perasaan; Otak yang bisa memproduksi pikiran-pikiran yang sehat; serta badan yang sehat karena olahraga, makan secukupnya, makan makanan yang halal dan sebagainya. Sepanjang tiga unsur itu ditegakkan dengan benar oleh manusia berarti ia telah menegakkan hak asasi manusia untuk dirinya sendiri

Islam juga mengajarkan kewajiban asasi. Kewajiban asasi itu adalah tiga unsur tersebut dapat ditegakkan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Jadi, hak asasi itu diimbangi oleh kewajiban asasi

Dengan demikian, pemerintahan kita ini telah terikat dengan Pancasila dan UUD 1945. Sesungguhnya pemerintah berkewajiban untuk mengelola negara ini agar rakyat Indonesia yang jumlah penduduknya sebanyak 277 juta ini mendapatkan ketenangan, perlindungan, keamanan batin, perlindungan politik, perlindungan hukum, dan lain sebagainya agar rakyat itu dapat diberikan kebebasan pada hati nuraninya, pada akal sehatnya, serta kebebasan fisiknya. Ketika itu ditunaikan berarti pemerintah telah menegakkan hak asasi manusia.

“Menegakkan hak asasi manusia hakikatnya menegakkan ajaran Islam. Menegakkan ajaran Islam di Indonesia itu sama saja dengan Pancasila. Apalagi Pancasila itu yang memperjuangkan adalah tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh kebangsaan nasional yang lain.” Tegas Ustaz Busyro.

Sekarang, bagaimana praktiknya hak asasi manusia itu? Salah satu contohnya adalah di Indonesia ini ada peraturan yaitu PEMILU dan PILKADA yang harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Tidak bisa dibantah. ini merupakan pelaksanaan demokrasi. Akan tetapi, pelaksanaannya di Indonesia itu dikotori oleh lumpur-lumpur yang dinamakan dengan “suap”. Dalam istilah bahasa Arab disebut dengan “risywah”. Nabi Saw pernah bersabda orang yang menyuap dan orang yang disuap itu tempatnya di neraka.

Kegiatan suap-suap ini selalu ada di momentum pemilihan Bupati, Walikota sampai dengan Presiden. Ini merupakan ancaman keras dari Rasulullah Saw. Maksud Nabi ini jelas agar umatnya itu nanti senantiasa menjauhi dan meninggalkan perbuatan suap. Orang-orang yang bermain suap dalam pemilihan Bupati, Walikota sampai dengan Presiden ketika terpilih, maka kelak tidak akan mampu untuk menegakkan hak asasi, karena sejatinya dia sendiri telah merusak hak asasi yang ada dalam dirinya sendiri.

Buktinya, sejak Pemilu tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 dalam pelaksanaannya tidak ada yang tidak memakai suap. Dengan demikian para koruptor, para perampok itu ada di setiap kabupaten, provinsi, sampai dengan Istana Negara. Akibatnya, karena yang dirampok itu harta negara yang hakikatnya adalah harta rakyat yang harus diurus oleh negara untuk kemakmuran rakyat, maka perampokan atau korupsi itu termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Banyak kebohongan yang terjadi hari demi hari, jam demi jam, sehingga para pejabat ada yang diingatkan dengan cara yang makruf, sopan, santun, tetapi mereka sebagaimana yang dikatakan dalam al-Qur’an:

صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ

Artinya: Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali. (QS. al-Baqarah: 18)

“Di antara mereka ada yang sadar tetapi banyak juga yang tidak. Pemerintahan yang korup seperti ini tidak mungkin tidak melanggar hak asasi manusia.” Ujar Ketua PP Muhammadiyah ini.

Kemudian, beliau menyebutkan contoh lainnya yaitu proyek pembangunan rel kereta api cepat Jakarta-Bandung yang tidak dapat dipungkiri di dalamnya terjadi praktik suap-menyuap/korupsi.

Contoh lainnya dari pelanggaran hak asasi manusia adalah apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan orang-orang yang ada di belakangnya terkait dengan pemindahan ibukota. Untuk memindahkan ibukota setidaknya membutuhkan dana kurang lebih 400-an triliun. Terkait dengan pemindahan ibu kota ini tidak ada pembahasan dengan mengundang para ahli dari kampus-kampus untuk membahas apakah hal tersebut mengandung mudarat atau manfaat. Ketika keputusannya hanya berada di pemerintah maka ini merupakan hal yang tidak fair. Ini jelas merugikan rakyat

Kesimpulannya bahwa penyebab pelanggaran hak asasi manusia itu yang terutama adalah adanya perampokan uang rakyat yang dikelola oleh negara. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Karena kebanyakan pejabat bisa memperoleh jabatan itu lewat suap. Sumber suap itu apa? Ya karena ada praktik praktik percaloan, seperti perjudian politik. Sepanjang umat Islam belum memberikan fatwa bahwa suap  yang ada di setiap PILKADA dan PEMILU itu haram, maka sogok akan terjadi terus-menerus Saya yakin seyakin-yakinnya 2024 itu akan terjadi sogok. Oleh karena itu jelas apa yang dikatakan Nabi dalam hadisnya.”

“Umat Islam sebagai Perintis negeri ini, termasuk ormas-ormas Islam; NU, Muhammadiyah, Dewan Dakwah, dan yang lainnya mempunyai tanggung jawab untuk mencegah sebab-musabab terjadinya pelanggaran HAM, yaitu korupsi. Sebab, korupsi itu sumber-akar permasalahannya adalah demokrasi yang transaksional yang dipenuhi dengan suap.” Tegas ustaz Busyro Muqoddas, ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM. (Ahmad Farhan)

 

Empat Macam Waktu

Oleh H. Nurkholis, S.Ag., M.Ag

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.“ (QS. Al-‘Ashr/103: 1-3)

Setiap orang diberikan modal yang sama oleh Allah, sehari selama 24 jam. Seminggu 168 jam dan sebulan 720 jam. Modal sama, namun isi belum tentu sama. Sebagai contoh di jam yang sama ada orang yang masih asik dengan buka bersama dan bercanda ria bersama sanak saudara, ada yang bergegas wudhu dan sholat di rumah, ada pula yang berangkat ke masjid shalat berjama’ah. Waktunya sama, namun isi berbeda. Bagi yang shalat di rumah hanya mendapat pahala shalat sendiri bila shalat sendiri. Yang di masjid langkah satu kaki menaikkan derajat, langkah kaki lainnya menghapus dosa. Shalat tahiyatul masjid dilanjutkan shalat berjama’ah isya. Sekali lagi, waktu yang sama tetapi isi berbeda.

Rasul menyampaikan ada dua nikmat yang sering diabaikan oleh manusia. Pertama ialah nikmat waktu luang. Kedua ialah nikmat sehat. Bagi mereka yang mau mensyukuri nikmat waktu, pastilah modal yang Allah berikan terisi dengan padat. Sebaliknya bagi yang kufur dengan nikmat waktu, boleh jadi modalnya itu terbuang sia-sia.

Dalam surat al-‘Ashr terdapat pesan yang sangat penting untuk menggugah dan mengingatkan diri akan anugerah yang Allah berikan berupa waktu itu. Waktu dalam al-Qur’an menggunakan empat kata. Yang pertama ialah ad-Dahru (hal ata ‘alal insani hinum minad dahri). Kedua ‘Ajal (idza ja a ajaluhum la yastahiruna sa’atan wa la yastaqdimun). Ketiga, al-Waqt (inna shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauquta). Keempat yakni al-‘Ashr, sebagaimana dalam QS. Al-‘Ashr.

Ad-Dahr adalah waktu sebelum keberadaan seseorang. Maka terhadap ad-Dahr seorang tidak mempunyai konsekuensi. Seorang tidak akan diminta pertanggung jawaban sebelum ia ada atau lahir.  ‘Ajal artinya batas keberadaan sesuatu. Itu mengapa orang yang meninggal sering disebut telah sampai pada ‘ajalnya, telah sampai batasnya. Al-Waqt/ waktu adalah batas dari berakhirnya suatu pekerjaan, seperti adanya batas-batas waktu dalam shalat. Allah peringatkan hambanya dengan al-‘Ashr, dulu al-‘ashr maknanya adalah memeras. Sebab dari pagi orang bekerja, memeras keringatnya hingga sore hari, waktu ‘Ashr.

Orang yang sudah sepuh biasa disebut dengan waktunya sudah ‘ashr, kalau masih muda, ia masih dhuha atau masih dzuhur. Biasanya orang akan merasakan kerugian kalau waktunya sudah ‘ashr. Bagi yang masih muda cenderung belum memikirkan kerugian. Sebab ia belum sampai pada ‘ashr. Sama seperti di penghujung Ramadhan. Pastilah ada orang yang menyesal. “Ya Allah mengapa ini baru sampai juz 15 membacanya”. Bagi yang sudah khatam iapun menyesal kenapa hanya bisa mengkhatamkan al-Qur’an sekali saja. Harta yang hilang bisa dicari lagi. Namun waktu yang hilang tidak pernah bisa akan kembali lagi.

Manusia yang berada dalam kerugian sebgaimana dalam surat al-‘ashr para ulama memilki beberapa penafsiran. Ada yang mengatakan bahwa manusia di sini ialah semua manusia. Ulama lainnya berpendapat manusia disini bermakna mereka yang sudah baligh. Sebab sebelum akil baligh semua amalan yang ia lakukan belum dihitung, belum mukallaf.

Dalam tafsir al-Kasyaf, akhiran kata ‘in’ dari kata ‘husrin’ (isim nakiroh) memiliki makna keaneka ragaman. Sehingga maknanya menjadi manusia itu akan berada dalam keanekaragaman kerugian. Kecuali mereka yang beriman. Iman itu adalah pembenaran dalam hati dari apa yang didengar, bukan pembenaran pikiran. Tidak semua yang didengar dan diyakini itu iman, maka yang dimaksud disini ialah Qur’an dan Sunnah.

Iman itu penyuburnya adalah ilmu. Sehingga bila ingin iman kuat, maka ilmulah yang bisa menyuburkan iman itu. Terus belajar, sebab belajar pupuk keimanan. Namun hanya iman saja orang masih rugi. Sehingga ayatnya dilanjutkan dengan wa ‘amilu shalihat. Amal itu adalah apa yang dihasilkan oleh pikiran, hati dan perbuatan. Bukan hanya perbuatan saja, pikiran merupakan amal, dan gerakan hati juga termasuk amal. Amilu shalihat maknanya bukan sembarang amal, akan tetapi amal yang shalih.

Orang hanya dengan iman dan beramal shalih masih rugi. Ditambahlah dengan watawa shaubil haq. Saling nasehat menasehati dalam soal yang haq. Haq itu makna asalnya yang kokoh, adapun yang kokoh itu ialah nilai-nilai agama. Di mana nilai-nilai agama ini akan selalu tegak dan kokoh kapan dan dimanapun. Dan hal itu juga masih dalam kategori merugi sampai ia senantiasa berlaku sabar.

JADWAL IMSAKIYYAH RAMADHAN 1441 H

Jadwal imsakiyah adalah satu informasi yang wajib dipantau umat Islam saat bulan Ramadan. Berikut jadwal imsakiyah dan buka puasa Ramadhan 1441 H/2020 untuk seluruh kota di Indonesia, dikutip dari suaramuhammadiyah.id

Nikmat Ramadhan Harus Didapatkan

oleh Irfan Nuruddin, S.Th.I., M.Hum

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(QS. Al-Baqarah/2: 183)

          Bulan Ramadhan ialah bulan yang suci. Maka orang-orang yang mampu merasakan indahnya bulan Ramadhan, nikmatnya bulan Ramadhan dan nikmatnya beribadah di bulan Ramadhan hanyalah orang-orang yang senantiasa mampu menjaga kesucian dirinya. Masuk bulan Ramadhan, namun tidak mampu menjaga kesucian, akan menjadi hambatan yang sangat serius bagi kaum muslimin untuk bisa merasakan indah dan nikmatnya Ramadhan sampai diakhir bulan.

          Ada lima hal bagi setiap muslim yang perlu dijaga kesuciannya. Pertama ialah kesucian secara fisik. Harus bisa memastikan badan dalam keadaan bersih dan suci. Begitupun harus bisa memastikan, pakaian, kendaraan dalam keadaan bersih dan suci. Sama halnya dengan kebersihan rumah, masjid, di mana kita melaksanakan ibadah selama Ramadhan.

          Kedua yakni kesucian dari dosa-dosa yang telah dikerjakan. Dosa ada yang kecil dan besar. Namun yang pasti dosa itu akan menjadi hambatan yang paling serius bagi setiap orang yang ingin merasakan betapa nikmatnya menjalankan puasa, menjalankan tarawih, menjalankan i’tikaf. Dosa kecil bisa dihapuskan dengan amal shaleh. Sedang dosa besar tidak ada cara lain untuk menghapusnya selain bertaubat pada Allah. Bila seorang mempunyai dosa setinggi langit, sedalam samudra dan seluas alam semesta, tentu apabila ia mau bertaubat maka ampunan Allah lebih luas dari dosa-dosanya.

          Ketiga ialah membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati. Ada rasa iri, tidak senang dengan kenikmatan orang lain. Dengki, menginginkan kenikmatan yang dimiliki orang lain hilang. Sombong, merasa diri lebih baik dari orang lain. Riya, ia yang suka memamerkan kelebihan-kelebihan dan kebaik-kebaikan pada orang lain, dan lain sebagainya dalam Qur’an disebutkan.

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” QS. Al-Baqarah (2): 10

          Keempat mensucikan dirinya dari perbuatan dan aktivitas yang tidak ada manfaatnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.

“Dari Abu Hurairah dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: ‘Diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya’.”

HR. Tirmidzi No. 2239

Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang bukan dari meninggalkan hal-hal yang terlarang. Bila seorang muslim bisa meninggalkan minuman keras, pencurian, perjudian itu hal yang wajar dan biasa. Sebab yang demikian itu sudah jelas larangannya dalam Qur’an dan hadis. Namun ukuran kebaikan seorang muslim itu ialah seberapa mampu ia meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak ada gunanya. Boleh jadi perbuatan itu boleh dan tidak berdosa bila dilakukan. Namun ukurannya ialah sebagaimana bisa seorang itu meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak berguna.

          Terakhir, mensucikan niat atau motivasi selain daripada Allah swt. Barangkali masih ada dari ibadah yang dilakukan dengan niat selain pada Allah swt, maka yang demikian itu harus segera dibersihkan. Niat adalah hal yang sangat pokok untuk dapat merasakan indahnya bulan Ramadhan. Ibadah hanya untuk mengharap ridha Allah swt, dan menjadi pribadi-pribadi yang semakin beriman dan bertakwa kepada Allah swt.

Puasa Melatih Menjadi Pribadi yang Ikhlas

oleh Fajar Rachmadani, Lc. MA.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا ٱلزَّكَوٰةَ ج وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas/ memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayinah/98 :5)

            Salah satu pendidikan Ramadhan ialah untuk membentuk setiap muslim menjadi pribadi yang mukhlisin, yaitu seorang muslim yang benar-benar ikhlas kepada Allah SWT. Itulah sebabnya Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan kepada orang-orang yang berpuasa secara eksplisit.

            Ketika melihat beberapa ibadah yang lain seperti salat, Rasulullah SAW menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan untuk mereka yang melakasanakan ibadah salat secara berjamaah, صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً, salat yang dilakukan secara berjamaah itu lebih baik 27 derajat daripada salat yang dilakukan sendirian. Adapun dalam riwayat lain sebanyak 25 derajat.

            Selain itu, Rasulullah juga menerangkan besaran pahala ketika membaca al-Quran, dalam hadisnya: مَنْ قَرَأَحَرْفًامِنْ كِتَــابِ اللّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالحَسَنَةُ بِعشْرِأمْثـَـالِها, barangsiapa membaca satu huruf dari al-Quran, maka baginya mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dibalas pahala sepuluh kali lipat seumpamanya. Dalam perkara tersebut, Rasulullah menjelaskan detilnya pahala yang akan Allah berikan kepada mereka. Bahkan dalam ibadah sedekah, Allah SWT menjelaskan di dalam al-Quran:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ … Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki (QS. Al-Baqarah/2: 261).

            Demikianlah ibadah seperti salat, membaca al-Quran hingga bersedekah telah dijelaskan dengan sangat detil besaran pahala atau balasan kabaikan atas ibadah tersebut. Adapun ibadah puasa, Rasulullah SAW justru tidak menjelaskan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh, dalam hadis kudsi disebutkan: …كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku (Allah) dan Aku-lah yang akan membalasnya.

            Maka puasa tersebut melatih setiap muslim untuk menjadi pribadi yang ikhlas. Jika ibadah yang lain itu dapat diketahui atau ditampakkan kepada orang lain, sehingga potensi terjadinya riya’/ sum’ah sangat besar, lain halnya dengan ibadah puasa, yang hanya dapat diketahui oleh hamba tersebut dan Allah SWT saja.

            Imam Ibnul Qayim al-Jauziyah dalam kitabnya al-fawaid, mendefinisikan tentang ikhlas. الإِخْلاَصُ أَنْ لَّا تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شَاهِدًا غَيْرُ اللهِ وَلَا مُجَازِيًا سِوَاهُ, ikhlas adalah ketika engkau tidak mengharapkan seseorang melihat apa yang engkau kerjakan kecuali Allah, dan ketika seseorang berbuat suatu kebaikan dan ia tidak berharap kepada orang lain agar mereka mengapresiasi apa yang dikerjakannya kecuali Allah SWT. Dengan kata lain, ikhlas ialah seseorang yang beramal bukan karena manusia, tetapi semata-mata hanya untuk Allah SWT.

            Banyak orang yang memberikan satu analogi yang indah untuk menjelaskan makna ikhlas tersebut. Seperti apa yang akan dijelaskan di bawah ini:

            Ketika ada secangkir kopi ditambahkan dengan gula, kemudian diminum oleh seseorang, maka komentar mereka ialah, “sedapnya kopi ini…,” padahal yang menyebabkan sedap tidak lain ialah karena ada gula di dalamnya. Ketika ada secangkir teh yang ditambahkan gula, kemudian diminum oleh seseorang, maka komentarnya ialah, “sungguh manisnya teh ini…,” dan tidak ada yang mengatakan, “sungguh manisnya gula ini…,” dan mereka akan menyebut zat lain, bukan gula yang disebutkan.Ketika seseorang makan roti yang diberikan gula padanya, maka sekali lagi gula tidak disebutkan, bahwa ia yang telah menyebabkan kopi, teh dan roti menjadi sedap dan manis.

            Namun, ketika ada seseorang terkena penyakit diabetes/ penyakit gula maka yang disalahkan ialah bukan kopi, teh atau rotinya, melainkan yang disebut ialah gula. Begitulah dalam kehidupan sehari-hari, bahwa tidak selamanya kebaikan yang ditanam akan berbuah apresiasi, pujian dan sanjungan dari orang lain. Maka sudah selayaknya sebagai manusia mesti banyak belajar kepada mahluk Allah yang bernama gula itu, guna menumbuhkan rasa keikhlasan di dalam dirinya. Sehingga segala perbuatan, tingkah laku dan amal ibadah apapun dilakukan hanya karena Allah SWT semata.

            Selain itu perlu juga belajar dari mahluk Allah yang lain, yaitu akar. Akar merupakan sesuatu yang sangat penting agar pohon dapat tumbuh kokoh dan rindang, ia berusaha untuk masuk menembus ke dalam tanah bahkan bebatuan hanya untuk mendapatkan air. Di mana air tersebut semata-mata untuk keperluan batang pohon yang dengannya tumbuh bunga, bebuahan dan dedaunan yang rindang untuk menampakkan eloknya di dunia, yang kemudian manusia melihat lantas mengatakan, “sungguh, betapa indahnya pohon itu…”. Sementara akar tidak pernah iri, meski tidak pernah disebut.

            Bulan puasa memberikan pelajaran untuk membentuk setiap muslim menjadi pribadi yang mukhlis. Maka seorang mahasiswa/ pelajar, ketika mereka sudah mati-matian belajar menghadapi ujian, kemudian hasil yang mereka dapatkan mungkin mengecewakan serta tidak sesuai harapan, maka sesungguhnya yang demikian itu ialah ujian keikhlasan, ‘apakah mereka telah benar-benar ikhlas dalam belajar dan apa yang dipelajari?’ Ketika seorang guru, dosen, karyawan yang mendapat suatu hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka di situlah letak ujian keikhlasan tersebut. Ketika seseorang berbuat secara totalitas untuk mempersembahkan sesuatu untuk orang lain, tetapi tidak mendapat sanjungan dan apresiasi, maka ketahuilah bahwa yang demikian itu ialah ujian keikhlasan.

            Oleh karena itu, jadikanlah momentum Ramadhan untuk menempa dan melatih drii agar menjadi pribadi takwa dan juga senantiasa berbuat ikhlas kepada Allah SWT, sehingga amal baik apapun yang dikerjakan benar-benar diterima oleh Allah, kemudian menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari Akhir kelak.

Tingkatan-Tingkatan Puasa

oleh: Drs. H. Anhar Ansyori, M.Si., Ph.D.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah/2: 183).

Jika setiap orang mengetahui tentang tingkatan-tingkatan puasa, maka diharapkan mereka akan memiliki niat dan azzam yang kuat untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut. Selain itu, dengan mengetahui tingkatan puasa juga diharapkan agar puasa yang mereka lakukan tidak sia-sia atau bangkrut belaka. Perintah berpuasa termaktub dalam Al-Quran dan juga Hadis Nabi. Tentunya, puasa yang dimaksud ialah puasa yang berkualitas dan memiliki pengaruh terhadap mereka yang melaksanakannya dengan baik.

Adapun, di dalam Al-Quran yang diseru untuk berpuasa ialah orang-orang yang beriman. Ya ayuhalladzina aamanu. Hal ini memberikan isyarat bahwa untuk melaksanakan kewajiban tersebut, yang paling pertama menyambut seruan untuk berpuasa ialah kualitas keimanan seorang hamba dan bukan status sosialnya.

Karena kondisi iman ada kalanya turun/ lemah dan adakalanya naik/ kuat, maka implikasinya adalah dalam melaksanakan ibadah puasa ini menjadi bertingkat-tingkat. Oleh karena itu, upaya harus terus ditingkatkan sehingga mampu mempertahankan bahkan meningkatkan keimanan serta selalu berupaya untuk mencegah turunnya iman tersebut. Untuk mencapai hal tersebut ada landasan, sebagaimana hadis berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانا ًوَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Kata ihtisab dalam hadis tersebut dapat dipahami dengan makna penuh perhitungan, pertimbangan dan selektif. Jadi iman yang fungsional itu akan menggiring seseorang kepada tindakan yang akan dilakukan, membawa orang akan bersikap hati-hati. Oleh karena itu puasa itu bertingkat, sesuai kadar keimanan:

  1. Puasa awam atau ada yang mengistilahkan puasa umum.

Karena pada umumnya orang bisa melakukannya, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Indikatornya ialah hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan, minum, tidak berhubungan suami isteri saat berpuasa, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Meski tingkatan dasar, namun penting untuk lanjut ke tingkatan selanjutnya.

  1. Puasa khusus atau puasa dengan mendisiplinkan ibadah yang wajib.

Ibadah seperti shalat tidak cukup dikerjakan saja namun juga dihayati, dikerjakan dengan tertib serta berjamaah, kapan dan dimanapun. Selain itu juga menghiasi shalat wajib dengan shalat sunnah. Kemudian membaca al-Quran dan menghayati maknanya.

Tingkatan puasa seperti ini adalah puasanya orang shalih. Selain meninggalkan makan, minum dan syahwat pada saat berpuasa, juga menjaga seluruh panca indera dari terjerumus kepada dosa. Kesempurnaan puasa khusus ini dapat diraih dengan cara: Gadhul bashar (menjaga pendangan); hifdhu lisan (menjaga lisan); menjaga pendengaran; menjaga bagian lain dari anggota tubuh seperti tangan, kaki, perut dari melakukan atau mengkonsumsi sesuatu yang haram; tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang halal ketika berbuka puasa; dan hendaknya keadaan hati selalu berada dalam kondisi khauf dan raja’ kepada Allah Ta’ala.