Sirah Nabawiyyah: Cara Membangun Peradaban
YOGYAKARTA—Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan kajian rutin di Ahad pagi. Adapun narasumber pada kajian kali ini adalah Ustaz Akhmad Arif Rif’an. Kajian ini diadakan secara offline dan online via Zoom Meeting dan live streaming Youtube di channel “MASJID ISLAMIC CENTER UAD” (23/1).
Dalam pembuka kajiannya, ustaz Rif’an menjelaskan mengenai referensi yang beliau gunakan dalam kajian Sirah Nabawiyyah ini, yaitu kitab Ar-Rahiq al-Makhtum karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri. Beliau menjelaskan mengenai kelebihan kitab tersebut yaitu kitab yang cukup jelas dalam menjelaskan kronologi setiap peristiwa. secara umum, di dalam kitab tersebut berisikan dua pembahasan yaitu pra kelahiran Nabi dan pasca kelahiran Nabi. Ketika membahas bagian pasca kelahiran Nabi saw, maka al-Mubarakfuri membaginya dalam dua pembahasan; sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul dan setelah diangkat menjadi nabi dan rasul.
Selain itu, Ustaz Rif’an menjelaskan mengenai karakteristik bangsa Arab, yaitu mereka sangat menyukai kemuliaan. Salah satu ciri dari kemuliaan tersebut adalah kedermawanan (suka memberi), sehingga syaratnya harus menjadi orang-orang yang kaya. Saat itu, mereka harus berusaha menjadi orang yang kaya. Dalam mendapatkan kekayaan, ada dua cara yang dapat dilakukan; pertama, dengan cara berdagang; dan kedua dengan berperang atau bertempur, sehingga sebab dua hal ini orang-orang Arab akan sangat bangga jikalau dikaruniai anak laki-laki, karena anak laki-laki kelak ketika dewasa akan dapat membantu dalam hal perdagangan dan pertempuran.
Kemudian, Ustaz Rif’an menjelaskan mengenai tujuan dan pentingnya kita mempelajari Sirah Nabawiyah yaitu agar memunculkan rasa cinta kita kepada Rasulullah dan juga agar kita dapat meneladani beliau dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah swt dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 31 yang berisikan penegasan dari Allah jikalau umat Muslim itu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah Nabi Muhammad saw. Kemudian ada penegasan dari Ummul Mukminin, Aisyah ketika ditanya oleh sahabat mengenai akhlak Rasulullah, maka beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an.” Demikian pantaslah Rasulullah diberikan gelar The Living Qur’an, al-Qur’an yang berjalan.
Selanjutnya, dijelaskan mengenai periode Madinah yang di mana Nabi saw tinggal di dalamnya. Al-Mubarakfuri membagi periode Madinah menjadi tiga; pertama, di tahun pertama – tahun ke-6 setelah hijrah. Di tahun tersebut dipenuhi dengan keguncangan. Sebab Rasulullah saw masih mendapati banyak gangguan daripada orang-orang yang belum menerima Islam dengan baik; periode kedua, tahun 6 – 8 setelah hijrah. Dalam periode ini terjadi beberapa perjanjian, di antaranya Perjanjian Hudaibiyah. Di tahun 8 Rasulullah kembali ke Mekkah untuk membebaskan kota mekkah dari berhala-berhala; Periode ketiga, tahun 8 – 10/11 setelah hijrah. Ini merupakan tahun pasca peristiwa Fathul Mekah sampai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw.
Ustaz Rif’an juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw merupakan sosok yang amat peduli terhadap anak-anak muda. Beliau senantiasa menerapkan sistem kaderisasi. Ini terbukti pada banyak peperangan Rasulullah senantiasa menunjuk anak-anak muda untuk menjadi panglima perang padahal di bawah kepemimpinan mereka terdapat banyak senior-senior yang ahli dalam perang, seperti Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, dan sebagainya.
Terakhir, beliau menyampaikan beberapa hal yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah. Ini menjadi sebuah dasar bagaimana Rasulullah saw membangun peradaban; pertama, beliau membangun masjid karena masjid dianggap memiliki kemaslahatan yang tinggi sebagai pusat dakwah dan pusat perkumpulan; kedua, mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor yang ke-3 melakukan berbagai perjanjian; pertama, membuat perjanjian internal di kalangan kaum muslimin; kedua, membuat perjanjian eksternal dengan orang-orang non muslim. (Ahmad Farhan)