Islam: Agomo dan Ageman
YOGYAKARTA—”Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji Islam sebagai agama dan agama yaitu sebagai sistem nilai atau sesuatu yang melandasi sehingga berimplikasi dari penghayatan nilai-nilai tersebut dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari.” Demikian prolog yang disampaikan Ustaz Ustadzi Hamzah dalam kajian Ahad pagi secara offline dan online di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (13/2).
Ustaz Ustadzi menjelaskan bahwa hakikat Islam adalah sebagai agama yang universal, yaitu agama dari para nabi sejak awal hingga nabi yang terakhir. Ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 163:
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya; Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.” (QS. an-Nisa’: 163)
Ayat tersebut berisi penjelasan bahwa apa yang diwahyukan kepada Rasulullah saw berupa al-Qur’an isinya itu sebagaimana yang telah Allah swt wahyukan juga kepada nabi-nabi yang lain. Ini menunjukkan kejelasan bahwa Islam adalah agama para nabi.
Selain ayat tersebut Ustaz Ustadzi menjelaskan juga ada ayat-ayat lain yang memberi penguatan bahwa agama dari para nabi adalah Islam; QS. asy-Syura ayat 13, QS. Ali Imran ayat 19 dan 85, serta QS. al-Hajj ayat 78. Ayat-ayat tersebut berisikan informasi bahwa Islam adalah agama para nabi. Jika diibaratkan dengan sebuah bangunan yang berisikan batu bata, maka Rasulullah Muhammad termasuk dalam bagian dari bangunan tersebut. Rangkaian-rangkaian ayat yang telah dijelaskan itu menunjukkan tidak ada keraguan bahwa Islam adalah agamanya para nabi. Semua ajaran dan risalah yang dibawa nabi itu sama; Perintah menegakkan tauhid—kalimat “Lailaha illa Allah” tidak ada tuhan selain Allah—, menegakkan keadilan dan menebarkan kebaikan.
Ustaz Ustadzi juga menyampaikan ada yang pernyataan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang khusus bagi pengikut Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya ini merupakan pernyataan yang salah, yang benar Islam adalah agamanya para nabi, termasuk agamanya Nabi Isa dan Nabi Musa. Adapun Yahudi dan Nasrani itu merupakan agama yang muncul jauh setelah wafatnya Nabi Musa dan Nabi Isa.
Kemudian, sejak dalam kandungan kita sudah memberikan kesaksian bahwa kita adalah seorang Muslim. Kita senantiasa mengesakan Allah swt. Ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 172. Ayat ini berisikan peringatan bagi kita ketika di hari kiamat kelak kita tidak dapat mengelak bahwasannya kita dahulu pernah bersaksi kepada Allah swt.
Ustaz Ustadzi menjelaskan bahwa “agomo” dalam istilah Jawa itu adalah sistem nilai dalam kehidupan. Agomo menjadi faktor atau situasi yang dapat mempengaruhi perilaku kita sehari-hari, sehingga agomo (agama Islam) harus menjadi ageman yaitu sesuatu yang melekat dan menjadi pakaian. Ini artinya segala sesuatu itu terikat dengan sistem-sistem nilai, yaitu agama Islam.
Agama memiliki pengaruh pada perilaku yang disebut dengan “takwa kepada Allah”. Apapun yang kita lakukan adalah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Terkait dengan hal ini telah disebutkan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 26. Ayat ini menyebut “takwa” sebagai pakaian terbaik.
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi aurat kamu dan untuk perhiasan bagi kamu. Tetapi, pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (QS. al-A’raf: 26)
Selanjutnya, fungsi ageman berdasarkan ayat di atas ada dua; pertama, sebagai pakaian untuk menutupi aurat. Yaitu untuk menciptakan kehormatan dan wibawa seseorang; kedua, sebagai perhiasam. Yaitu sisi keindahan (estetika) dan kesopanan. Contohnya saja mengenai pakaian yang disyariatkan oleh Allah dengan pakaian yang tidak disyariatkan oleh Allah. Masing-masing memiliki efek sosialnya. Misalnya saja perempuan yang menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat –di antaranya menggunakan pakaian minimalis yang tidak menutup aurat— maka efek sosialnya adalah timbulnya fitnah dan respon negatif dari sosial. Sedangkan perempuan yang menggunakan pakaian yang sesuai syariat –menutup aurat—, maka efek sosial berupa orang-orang akan menghormati perempuan tersebut dan berlaku sopan padanya.
Ustaz Ustadzi menjelaskan bahwa agama (buahnya adalah ketakwaan) dapat memberikan keseimbangan pada aspek lahiriyah dan batiniyah, serta keseimbangan antara ibadah mahdah dengan muamalah duniawiyah. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177. Ayat tersebut menyebutkan tentang keseimbangan antara ibadah mahdah dan muamalah duniawiyah.
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Kemudian, tugas kita sebagai Muslim adalah harus selalu mempersolek (mempercantik) diri dengan ageman takwa. Dengan demikian Ibadah mahdah harus ditegakkan, mencukupkan diri dengan al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman –ini termaktub dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 36—, serta muamalah duniawiyah harus ditunaikan
Terakhir, Ustaz Ustadzi menyampaikan mengenai tujuh penyakit manusia dalam bermuamalah; pertama pikiran yang negatif (su’uzhan); kedua, pengaruh prinsip hidup yang tidak maju. Prinsip hidup yang maju adalah ketika kita merasa cukup dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah, tetapi kita juga tetap harus berusaha dan semangat untuk mencapai yang lebih; ketiga, pengalaman pembelenggu. Pengalaman-pengalaman yang kurang baik di masa lalu yang dapat menghambat kita, maka itu harus ditinggalkan.
Keempat, kepentingan sesaat. Melakukan sesuatu itu jangan hanya kalau ingin dipuji, banyak followers-nya, dan yang lainnya. Kita harus melakukan sesuatu itu untuk mendapatkan makna hidup dari hal-hal tersebut; kelima, sudut pandang sepihak. Ukuran dalam memandang sesuatu itu jangan “aku” (menurut pribadi yang sepihak). Idealnya ukuran dalam memandang sesuatu itu adalah Allah dan Rasul-Nya; al-Qur’an dan Sunnah, bukan menggunakan sudut pandang “aku” atau sudut pandnag sepihak.
Keenam, pembanding yang tidak utuh. Yaitu membanding-bandingkan sesuatu dengan sesuatu yang tidak sebanding. Misalnya kehidupan atau harta yang kita miliki dengan harta yang dimiliki orang lain, atau seorang anak dengan anak yang lain. Ada dua zat yang tidak boleh dibanding-bandingkan: Allah dan manusia. Allah itu kekuasaan dan keagungannya tidak terbatas, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan selai-Nya. Adapun manusia masing-masing memiliki plus-minus. Masing-masing memiliki keistimewaan dan kekurangan, sehingga kita harus bijak dalam menyikapi segala perbedaan; ketujuh, membaca referensi-referensi yang membodohkan, yaitu membaca informasi hanya dari satu referensi, kemudian menjadikannya sebagai sumber untuk menilai orang lain. Jadi, jangan sampai kita hanya membaca dan mendengar sesuatu hanya dari satu sumber saja lantas berani untuk menilai sesuatu.
“Kita harus mengikis ini pelan-pelan dengan menjadikan agama sebagai ageman.” Tutup Ustaz Ustadzi Hamzah. (Ahmad)