Pentingnya Ilmu Pengetahuan

Oleh Dr. Okrizal Eka Putra, Lc., MA.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (QS. Al Baqarah/2: 30)

            Dalam sebuah buku, syaitan pernah berbincang dengan seorang ahli ibadah (‘abid) dan seorang ahli ilmu (‘alim). Syaitan bertanya kepada ‘abid tentang kemungkinan bahwa Allah mampu memasukkan bumi beserta seluruh isinya ke dalam gelas. Maka si ‘abid menjawab tidak mungkin bisa. Dalam hal ini berhati-hatilah, karena ‘abid tanpa ‘alim cukup berbahaya. Syaitan sangsi, menurutnya bumi bahkan bisa dimasukkan ke dalam mata manusia. Maka Rasululullah pernah mengibaratkan seorang ‘abid dan ‘alim seperti bumi dan bintang gemintang, menerangkan begitu tingginya kedudukan seorang ‘alim.

            Pada proses penciptaan Nabi Adam as., sebelumnya Allah mengabarkan kepada para Malaikat bahwa akan diciptakan khalifah di muka bumi. Kemudian para Malaikat memberikan tanggapan tentang hal tersebut, mengapa Allah akan menjadikan demikian. Padahal mereka (manusia) dapat berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya.

            Dari dialog tersebut, dapat diambil pelajaran bagi manusia bahwa ketika seseorang hanya memikirkan tentang kesalehan pribadinya saja, misal berangkat haji dan umroh setiap tahun, membaca al-Quran siang dan malam, mengerjakan salat sepanjang malam dan sebagainya, namun tidak peduli terhadap tetangganya yang kelaparan, maka sesungguhnya malaikat lebih layak untuk menjadi khalifah di muka bumi tersebut. Khalifah pada dasarnya berfikir untuk orang lain. Jika hanya berfikir tentang kesalehan pribadi dan abai terhadap kesalehan sosial, maka hal itulah yang disangsikan oleh para Malaikat.

            Pada zaman Nabi Musa ‘alaihi ssalaam. Ada seorang ‘abid (ahli ibadah) yang meminta Nabi Musa untuk menanyakan satu hal kepada Allah tentang tempatnya di Surga kelak. Maka ketika Nabi Musa bermunajat di Bukit Tursina dan memanjatkan doa, kemudian menyampaikan pesan orang tadi, oleh Allah dijawab bahwa orang tersebut justru akan ditempatkan di dalam Neraka.

            Ketika bertemu dengan ‘abid tadi dan diberitahukan jawaban tersebut, ia merasa heran dan meminta kepada Nabi Musa untuk menanyakan kembali tentang tempatnya di akhirat kelak. Oleh Allah dijawab bahwa ‘abid tersebut tempatnya di Surga. Maka terheranlah Nabi Musa, beberapa saat yang lalu dikabarkan menjadi ahli Neraka dan sekarang dikabarkan menjadi ahli Surga. Sehingga oleh Allah dijawab, bahwa ketika dalam perjalanan Nabi Musa ketika hendak bermunajat kepadaNya, seorang ‘abid tadi berdoa: sekiranya dirinya akan ditempatkan di Neraka dan itu memang karena keridhoan Allah, maka ia meminta agar sekiranya Allah menjadikan tubuhnya membesar memenuhi isi Neraka, sehingga tidak ada lagi tempat untuk orang lain di dalam Neraka. Maka dari itu, Allah rubah kedudukan ‘abid tersebut.

            Sesungguhnya seorang khalifah tidak pernah berfikir untuk dirinya sendiri. Namun sekarang banyak terjadi kekerasan, tawuran, pesta narkoba oleh anak-anak muda. Pada saat yang sama, banyak orang tua yang tidak peduli, yang penting bukan anaknya. Selain itu, adanya kenaikan harga bahan makanan dan barang pokok lainnya sehingga sebagian orang tidak dapat membelinya. Pada saat yang sama juga banyak yang tidak peduli, asalkan dirinya mampu membeli.

            Dalam kaitannya puasa, maka sejatinya puasa tersebut merupakan satu upaya untuk mewujudkan kesholehan sosial. Diantaranya, seseorang mampu merasakan lapar sebagaimana banyak para fakir miskin yang sering menahan rasa sakit karena lapar dan tidak memiliki kemampuan untuk membeli makanan. Harapannya, setelah berakhir bulan Ramadhan ini setiap orang/ muslim lebih peka terhadap keadaan sekitarnya. Berusaha membantu meringankan beban orang lain dengan segala kemampuannya. Inilah makna khalifah, yaitu ikut memikirkan kebutuhan orang lain. Salah satu alasan KHA. Dahlan mendirikan Muhammadiyah ialah agar dapat masuk Surga secara berjamaah, memikirkan nasib orang secara bersama-sama.

            Ayat selanjutnya tentang proses penciptaan Khalifah di muka bumi menerangkan bahwa Allah mengaruniakan ilmu kepada Nabi Adam, kemudian Malaikat (termasuk di dalamnya ‘iblis’, sebab sebelum Allah menciptakan Adam, ‘iblis’ masuk dalam barisan para Malaikat) ditanya tentang ilmu tersebut, namun jawaban para Malaikat ialah: Maha suci Engkau Ya Allah, tiada ilmu bagi kami melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Setelah Nabi Adam menunjukkan ilmu yang dianugerahkan oleh Allah, maka para Malaikat disuruh oleh Allah untuk bersujud (sebagai bentuk penghormatan, bukan wujud peribadahan) kepada Nabi Adam. Para Malaikat bersujud murni karena ilmu pengetahuan. Sehingga, kemuliaan manusia ialah ada pada ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, manusia harus memuliakan ilmu dan dilarang merendahkan ilmu tersebut.

            Adapun dalam suasana demikian, iblis tidak menuruti perintah Allah dan membangkang serta enggan bersujud kepada Adam. Meski demikian, Allah tidak langsung memberikan hukuman kepadanya, diberinya hak jawab mengapa tidak mau bersujud kepada Adam. Ini memberi pelajaran, bahwa sebelum memberikan hukuman kepada orang lain, perlu diberikan kepada yang bersangkutan hak jawab, dan ditanyakan alasan melakukan pelanggaran tersebut. Iblis memberikan alasan keengganannya bersujud kepada Adam, karena merasa dirinya lebih baik dari Adam. Dirinya diciptakan dari api, sementara Adam dicipatakan dari tanah. Iblis berlaku sombong, merasa bahwa api lebih mulia dibandingkan dengan tanah. Sementara, sombongnya seorang makhluk merupakan sesuatu yang amat dibenci di sisi Allah.

            Demikianlah, nenek moyang manusia di muka bumi ini dikaruniai oleh Allah ilmu pengetahuan. Disinilah kedudukan ilmu, karena fungsi dari ilmu itu sendiri ialah:

  1. Lambang seorang manusia, bahwa ‘alim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah subhaanahu wa ta’ala.
  2. Agar dapat menjalankan agama dengan benar. Maka, akidah seseorang haruslah benar dan didasari ilmu. Orang yang menyekutukan Allah (berbuat syirik) adalah orang yang tidak menggunakan ilmu pengetahuan. Seharusnya, semakin tinggi ilmu pengetahuan maka semakin rendah perbuatan syirik tersebut. Dalam dimensi manusia, segala sesuatu ada ilmunya. Maka, jika seseorang berjalan tidak sesuai dengan ilmunya, maka bisa dipastikan akan terjerumus pada perbuatan syirik.

            Misalnya, gunung merapi yang sedang aktif dapat dipelajari melalui ilmu yang ada padanya yakni ilmu vulkanologi, di antara tokohnya ialah Prof. Surono. Bukan sebaliknya, ketika merapi aktif malah dilemparkan kepadanya sesaji-sesaji, yang akibatnya rugi akidah, rugi waktu dan tenaga, rugi pula secara ekonomi. Contoh lain, ilmu tentang laut ialah oceanografi, tokohnya ialah Prof. Bambang Suroyo. Rumah Tangga memiliki ilmu yaitu Parenting, di antara tokohnya ialah Ust. Fauzi Azis di Jogja, bukan melakukan ritual tertentu dengan menyiram ‘benda’ ini dan itu, pagi petang dan sebagainya. Bangunan juga punya ilmu, yaitu teknik sipil. Berdagang ilmunya ialah marketing. Begitupun ketika ada orang yang menginginkan uang yang banyak, maka dibutuhkan kerjakeras, rajin menabung, tidak suka pergi ke mall, gemar shodakoh, bukan sibuk menggandakan uang yang notabene bukan merupakan dimensi manusia.

            Jika seseorang menginginkan kekayaan, maka perkayalah diri dengan ilmu, bukan dengan harta. Jika ingin terkenal, maka terkenallah karena ilmu dan bukan karena yang lain (tindak kejahatan, korupsi, pembunuhan, pesta narkoba, dll.). Maka dari itu, setiap orang tua memiliki kewajiban agar dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak yang ‘alim.

            Dalam suatu kegiatan parenting, ada seorang pemateri yang menyampaikan bahwa: “Jangan jadikan anak anda juara kelas. Orang kalau juara kelas maka ilmunya itu hanya rata-rata,”. Maka, tidak ada yang menonjol dalam dirinya, sedangkan tugas para orang tua dan guru ialah mencari potensi seorang anak. Ketika sudah ditemukan, maka potensi tersebut yang harus diprioritaskan. Orang-orang besar dunia ketika masih kecil bukanlah tergolong orang-orang yang pandai. Misalnya penemu honda dan penemu listrik, yang dikenal sebagai bukan anak yang pandai ketika masih kecil.

            Bekali anak-anak dengan ilmu agama, sering diajak ke masjid dan rajin shalat Shubuh. Dalam siroh, ada seorang sahabat bernama Sya’ban, ia dikenal sebagai orang yang rajin dalam melakukan shalat berjamaah. Suatu ketika, usai shalat Shubuh Rasulullah tidak mendapati sahabat Sya’ban dalam jamaahnya, kemudian Rasulullah bertanya kepada para Sahabat keberadaan Sya’ban. Namun, tidak ada satupun di antara mereka yang mengetahuinya. Kemudian, Rasululullah menanyakan rumahnya, salah seorang sahabat lalu menunjukkan keberadaan rumahnya, yang ternyata letaknya sangat jauh dari masjid Rasulullah tersebut.

            Ketika sampai di rumah sahabat tersebut dan bertemu dengan istrinya, lalu ditanyakan keberadaan Sya’ban. Kemudian, disampaikanlah oleh sang istri, bahwa Sya’ban telah meninggal dunia. Inilah alasan Sya’ban tidak terlihat berjamaah Shubuh. Maka, ketika jenazah sudah dimandikan dan dishalatkan, dan Rasululullah hendak pulang ke Madinah, dicegat oleh istri Sya’ban dengan sebuah pertanyaan, bahwasanya: ketika suaminya hendak syakaratul maut ia berteriak tiga kali: kenapa tidak yang baru!, kenapa tidak semua!, kurang jauh!.

            Oleh Rasulullah, (tentunya atas wahyu yang disampaikan Allah melalui Malaikat Jibril) dijawab bahwa suatu ketika dalam kondisi cuaca yang sanagat dingin, Sya’ban keluar dengan mengenakan baju berlapis, baju yang lama dikenakan pada lapisan yang paling luar. Di tengah perjalanan bertemu dengan seseorang yang kedinginan dan memerlukan baju, maka diberikan oleh Sya’ban baju yang lama tersebut. Selanjutnya, suatu ketika Sya’ban memiliki sebuah roti, kemudian datang kepadanya seorang pengemis. Oleh Sya’ban diberikan sebagian roti tersebut kepada pengemis tadi. Terakhir, jarak antara rumahnya dengan masjid Rasululullah yang sedimikan jauh dianggap kurang jauh. Ketika sakaratul maut, Allah memperlihatkan balasan kebaikan yang dilakukan oleh Sya’ban ketika memberi baju, diperlihatkan pahala ketika memberi makan kepada orang lain, dan kebaikan perjalanan menuju masjid, sehingga Sya’ban berteriak seperti itu.

Puasa Melatih Menjadi Pribadi yang Ikhlas

oleh Fajar Rachmadani, Lc. MA.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا ٱلزَّكَوٰةَ ج وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas/ memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayinah/98 :5)

            Salah satu pendidikan Ramadhan ialah untuk membentuk setiap muslim menjadi pribadi yang mukhlisin, yaitu seorang muslim yang benar-benar ikhlas kepada Allah SWT. Itulah sebabnya Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan kepada orang-orang yang berpuasa secara eksplisit.

            Ketika melihat beberapa ibadah yang lain seperti salat, Rasulullah SAW menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan untuk mereka yang melakasanakan ibadah salat secara berjamaah, صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً, salat yang dilakukan secara berjamaah itu lebih baik 27 derajat daripada salat yang dilakukan sendirian. Adapun dalam riwayat lain sebanyak 25 derajat.

            Selain itu, Rasulullah juga menerangkan besaran pahala ketika membaca al-Quran, dalam hadisnya: مَنْ قَرَأَحَرْفًامِنْ كِتَــابِ اللّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالحَسَنَةُ بِعشْرِأمْثـَـالِها, barangsiapa membaca satu huruf dari al-Quran, maka baginya mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dibalas pahala sepuluh kali lipat seumpamanya. Dalam perkara tersebut, Rasulullah menjelaskan detilnya pahala yang akan Allah berikan kepada mereka. Bahkan dalam ibadah sedekah, Allah SWT menjelaskan di dalam al-Quran:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ … Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki (QS. Al-Baqarah/2: 261).

            Demikianlah ibadah seperti salat, membaca al-Quran hingga bersedekah telah dijelaskan dengan sangat detil besaran pahala atau balasan kabaikan atas ibadah tersebut. Adapun ibadah puasa, Rasulullah SAW justru tidak menjelaskan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh, dalam hadis kudsi disebutkan: …كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku (Allah) dan Aku-lah yang akan membalasnya.

            Maka puasa tersebut melatih setiap muslim untuk menjadi pribadi yang ikhlas. Jika ibadah yang lain itu dapat diketahui atau ditampakkan kepada orang lain, sehingga potensi terjadinya riya’/ sum’ah sangat besar, lain halnya dengan ibadah puasa, yang hanya dapat diketahui oleh hamba tersebut dan Allah SWT saja.

            Imam Ibnul Qayim al-Jauziyah dalam kitabnya al-fawaid, mendefinisikan tentang ikhlas. الإِخْلاَصُ أَنْ لَّا تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شَاهِدًا غَيْرُ اللهِ وَلَا مُجَازِيًا سِوَاهُ, ikhlas adalah ketika engkau tidak mengharapkan seseorang melihat apa yang engkau kerjakan kecuali Allah, dan ketika seseorang berbuat suatu kebaikan dan ia tidak berharap kepada orang lain agar mereka mengapresiasi apa yang dikerjakannya kecuali Allah SWT. Dengan kata lain, ikhlas ialah seseorang yang beramal bukan karena manusia, tetapi semata-mata hanya untuk Allah SWT.

            Banyak orang yang memberikan satu analogi yang indah untuk menjelaskan makna ikhlas tersebut. Seperti apa yang akan dijelaskan di bawah ini:

            Ketika ada secangkir kopi ditambahkan dengan gula, kemudian diminum oleh seseorang, maka komentar mereka ialah, “sedapnya kopi ini…,” padahal yang menyebabkan sedap tidak lain ialah karena ada gula di dalamnya. Ketika ada secangkir teh yang ditambahkan gula, kemudian diminum oleh seseorang, maka komentarnya ialah, “sungguh manisnya teh ini…,” dan tidak ada yang mengatakan, “sungguh manisnya gula ini…,” dan mereka akan menyebut zat lain, bukan gula yang disebutkan.Ketika seseorang makan roti yang diberikan gula padanya, maka sekali lagi gula tidak disebutkan, bahwa ia yang telah menyebabkan kopi, teh dan roti menjadi sedap dan manis.

            Namun, ketika ada seseorang terkena penyakit diabetes/ penyakit gula maka yang disalahkan ialah bukan kopi, teh atau rotinya, melainkan yang disebut ialah gula. Begitulah dalam kehidupan sehari-hari, bahwa tidak selamanya kebaikan yang ditanam akan berbuah apresiasi, pujian dan sanjungan dari orang lain. Maka sudah selayaknya sebagai manusia mesti banyak belajar kepada mahluk Allah yang bernama gula itu, guna menumbuhkan rasa keikhlasan di dalam dirinya. Sehingga segala perbuatan, tingkah laku dan amal ibadah apapun dilakukan hanya karena Allah SWT semata.

            Selain itu perlu juga belajar dari mahluk Allah yang lain, yaitu akar. Akar merupakan sesuatu yang sangat penting agar pohon dapat tumbuh kokoh dan rindang, ia berusaha untuk masuk menembus ke dalam tanah bahkan bebatuan hanya untuk mendapatkan air. Di mana air tersebut semata-mata untuk keperluan batang pohon yang dengannya tumbuh bunga, bebuahan dan dedaunan yang rindang untuk menampakkan eloknya di dunia, yang kemudian manusia melihat lantas mengatakan, “sungguh, betapa indahnya pohon itu…”. Sementara akar tidak pernah iri, meski tidak pernah disebut.

            Bulan puasa memberikan pelajaran untuk membentuk setiap muslim menjadi pribadi yang mukhlis. Maka seorang mahasiswa/ pelajar, ketika mereka sudah mati-matian belajar menghadapi ujian, kemudian hasil yang mereka dapatkan mungkin mengecewakan serta tidak sesuai harapan, maka sesungguhnya yang demikian itu ialah ujian keikhlasan, ‘apakah mereka telah benar-benar ikhlas dalam belajar dan apa yang dipelajari?’ Ketika seorang guru, dosen, karyawan yang mendapat suatu hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka di situlah letak ujian keikhlasan tersebut. Ketika seseorang berbuat secara totalitas untuk mempersembahkan sesuatu untuk orang lain, tetapi tidak mendapat sanjungan dan apresiasi, maka ketahuilah bahwa yang demikian itu ialah ujian keikhlasan.

            Oleh karena itu, jadikanlah momentum Ramadhan untuk menempa dan melatih drii agar menjadi pribadi takwa dan juga senantiasa berbuat ikhlas kepada Allah SWT, sehingga amal baik apapun yang dikerjakan benar-benar diterima oleh Allah, kemudian menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari Akhir kelak.

Tingkatan-Tingkatan Puasa

oleh: Drs. H. Anhar Ansyori, M.Si., Ph.D.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah/2: 183).

Jika setiap orang mengetahui tentang tingkatan-tingkatan puasa, maka diharapkan mereka akan memiliki niat dan azzam yang kuat untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut. Selain itu, dengan mengetahui tingkatan puasa juga diharapkan agar puasa yang mereka lakukan tidak sia-sia atau bangkrut belaka. Perintah berpuasa termaktub dalam Al-Quran dan juga Hadis Nabi. Tentunya, puasa yang dimaksud ialah puasa yang berkualitas dan memiliki pengaruh terhadap mereka yang melaksanakannya dengan baik.

Adapun, di dalam Al-Quran yang diseru untuk berpuasa ialah orang-orang yang beriman. Ya ayuhalladzina aamanu. Hal ini memberikan isyarat bahwa untuk melaksanakan kewajiban tersebut, yang paling pertama menyambut seruan untuk berpuasa ialah kualitas keimanan seorang hamba dan bukan status sosialnya.

Karena kondisi iman ada kalanya turun/ lemah dan adakalanya naik/ kuat, maka implikasinya adalah dalam melaksanakan ibadah puasa ini menjadi bertingkat-tingkat. Oleh karena itu, upaya harus terus ditingkatkan sehingga mampu mempertahankan bahkan meningkatkan keimanan serta selalu berupaya untuk mencegah turunnya iman tersebut. Untuk mencapai hal tersebut ada landasan, sebagaimana hadis berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانا ًوَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Kata ihtisab dalam hadis tersebut dapat dipahami dengan makna penuh perhitungan, pertimbangan dan selektif. Jadi iman yang fungsional itu akan menggiring seseorang kepada tindakan yang akan dilakukan, membawa orang akan bersikap hati-hati. Oleh karena itu puasa itu bertingkat, sesuai kadar keimanan:

  1. Puasa awam atau ada yang mengistilahkan puasa umum.

Karena pada umumnya orang bisa melakukannya, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Indikatornya ialah hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan, minum, tidak berhubungan suami isteri saat berpuasa, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Meski tingkatan dasar, namun penting untuk lanjut ke tingkatan selanjutnya.

  1. Puasa khusus atau puasa dengan mendisiplinkan ibadah yang wajib.

Ibadah seperti shalat tidak cukup dikerjakan saja namun juga dihayati, dikerjakan dengan tertib serta berjamaah, kapan dan dimanapun. Selain itu juga menghiasi shalat wajib dengan shalat sunnah. Kemudian membaca al-Quran dan menghayati maknanya.

Tingkatan puasa seperti ini adalah puasanya orang shalih. Selain meninggalkan makan, minum dan syahwat pada saat berpuasa, juga menjaga seluruh panca indera dari terjerumus kepada dosa. Kesempurnaan puasa khusus ini dapat diraih dengan cara: Gadhul bashar (menjaga pendangan); hifdhu lisan (menjaga lisan); menjaga pendengaran; menjaga bagian lain dari anggota tubuh seperti tangan, kaki, perut dari melakukan atau mengkonsumsi sesuatu yang haram; tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang halal ketika berbuka puasa; dan hendaknya keadaan hati selalu berada dalam kondisi khauf dan raja’ kepada Allah Ta’ala.

Meneladani Sifat Ar-Rahman dalam Kehidupan

Oleh Niki Alma Febriana Fauzi, M.Ud

قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا۟ ٱلرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا۟ فَلَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَٱبْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaaul husna (nama-nama yang terbaik). Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (QS. Al-Isra’/17: 110)

            Salah satu sifat Allah SWT yang mulia dan memiliki makna yang luar biasa ialah Ar-Rohmân, tentunya tanpa menyampingkan sifat Allah yang lain. Bahkan di dalam al-Quran, sifat ini diabadikan menjadi salah satu nama surat, yakni surat ke-55 (QS. Ar-Rohmân), selain itu juga tersebut dalam banyak ayat, misalnya sebagaimana dalam lafadz basmalah yang seringkali diucapkan. Dalam ayat tersebut kata Ar-Rohmân diiringi dengan sifat Allah yang lain, yakni Ar-Rohîm.

            Secara bahasa, kata Ar-Rohmân dan Ar-Rohîm berasal dari asal kata atau akar kata yang sama, yakni: رَحِمَ – يَرْحَمُ. Ketika melihat terjemahan dalam bahasa Indonesia yang standar, biasanya diterjemahkan dengan Maha Pengasih-Maha Penyayang. Dua kata yang seakan akan hampir sama maknanya dalam bahasa Indonesia.

            Akan tetapi, jika menelisik lebih jauh kata tersebut, misalnya dengan melihat kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para ulama, maka akan didapatkan makna yang luar biasa mengenai makna dua kata tersebut. Sebagai contoh, dalam kitab tafsir Ibnu Kasir, menyebutkan bahwa kata Ar-Rohmân memiliki makna yaitu: kepengasihan Allah atau rasa kasih dan sayang Allah yang diberikan kepada seluruh makhuk-Nya. Bukan hanya kepada hamba-Nya semata, namun juga kepada makhluk Allah yang lain, yang ada di dunia ini baik yang beriman maupun yang tidak, baik itu manusia maupun selainnya.

            Sedangkan, kata Ar-Rohîm, diartikan dengan sifat pengasih Allah dan sifat penyayang -Nya yang akan diberikan kelak di akhirat, dan khusus diberikan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Demikianlah letak perbedaan di antara keduanya. Sifat Ar-Rohmân yang dimiliki Allah menunjukkan bahwa kasih sayang-Nya diberikan kepada siapapun tanpa ada pengecualian. Lantas pertanyaanya ialah, setelah mengetahui makna Ar-Rohmân tersebut, apa yang perlu dilakukan sebagai hamba Allah?

            Dalam diskursus ilmu kalam modern, orang yang dikatakan bertauhid tidak cukup mengesakan Allah saja. Akan tetapi, juga mampu mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Maka setelah mengetahui makna Ar-Rohmân, kewajiban seorang yang mengaku muslim ialah berupaya mengaplikasikan sifat kasih sayang tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

            Dalam lintasan sejarah umat Islam, pernah tercatat dan menjadi contoh yang dapat dijadikan teladan dalam mengaplikasikan sifat Allah ini. Rasulullah SAW adalah sosok panutan yang banyak mengplikasikan sifat ini, salah satu kisahnya yang masyhur ialah ketika ada seorang Yahudi yang rajin melemparkan kotoran kepada Rasulullah dari atas rumahnya setiap kali Rasulullah melewati jalan tersebut. Sampai suatu ketika Rasulullah tidak menjumpai orang yang selalu melemparkan kotoran kepada dirinya.

            Setelah mencari tahu kabar tentang orang tersebut, diketahuilah bahwa ia sedang sakit. Maka bergegaslah Rasulullah menjenguknya tanpa sedikitpun membawa rasa dendam, bahkan diceritakan pula Rasulullah datang membawakan buah tangan. Orang Yahudi yang selalu mendzolimi Rasulullah tadi terkaget dan mengira bahwa Rasulullah datang akan membalas dendam, namun justru Rasul datang untuk menjenguknya dan memberikan buah tangan bahkan membantu memenuhi kebutuhannya. Kemudian orang tersebut meminta maaf dan akhirnya bersedia memeluk agama Islam.

            Kisah di atas merupakan wujud pengamalan dari satu sifat Allah, tentunya masih banyak sifat Allah yang lain. Maka tidak heran Rasul pernah bersabda:

…صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَاعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَكَ

“sambunglah orang yang memutuskan tali silaturahmi denganmu, berilah orang yang tidak mau memberi kepadamu, dan maafkanlah orang yang medzhalimimu.” Ramadhan mengajarkan agar setiap muslim mampu mengasah kepekaan diri, agar dapat mngaplikasikan sifat-sifat ketuhanan Allah dalam kehidupan sehari-hari.