Ramadhan Syahrul Qur’an

Oleh H. Nur Kholis, S.Ag., M.Ag

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِى أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Bulan Ramadhan, (merupakan bulan) yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al Baqarah/2: 185)

            Dalam ayat di atas, dijelaskan bahwa Al-Quran merupakan petunjuk. Al-Quran merupakan kitab petunjuk yang memiliki keistimewaan, selain sebagai kitab penyempurna daripada kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, juga sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW.     

            Bulan Ramadhan ini menjadi mulia karena Al-Quran diturunkan di dalamnya, bukan sebaliknya karena bulan ini mulia, maka al-Quran diturunkan. Oleh karenanya, Ramadhan juga dikenal dengan istilah Syahrul Quran. Salah satu pertanyaan yang paling mendasar, kaitannya hubungan antara Al-Quran dengan umat Nabi Muhammad SAW ialah, “sudah sejauh mana berinteraksi dengan Al-Quran?”

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al Furqan: 30)

            Dalam ayat tersebut, Rasulullah mengadu kepada Allah yang memprediksi keadaan umatnya di masa yang akan datang. Kalau dilihat dalam Tafsir Ibnu Katsir, kata Mahjura dapat diartikan sebagai:

  1. Tidak mempelajarinya.
  2. Tidak menghafalkannya.
  3. Tidak mengimaninya.
  4. Tidak menjalankan perintahnya.
  5. Tidak mau mentadabburinya.
  6. Berpaling menuju kepada sesuatu yang lain, serta tidak menjadikan Al-Quran sebagai bahan rujukan maupun pedoman hidup.

Sebagaimana tersebut dalam QS. Fushilat : 26, Allah Ta’ala berfirman:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

Dan orang-orang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”.

            Apabila dibahasakan, maka boleh jadi maksudnya seperti berikut ini: Orang-orang kafir sangat giat mempengaruhi orang lain untuk tidak berdekatan dengan al-Quran. “Janganlah kalian dengarkan Al-Quran itu, dengan begitu kalian pasti akan dapat mengalahkan orang-orang Islam. Bahkan tugas kalian adalah mengaucaukan umat Islam dari membaca, memahami, dan mengamalkan al-Quran. Sehingga kalian akan berhasil mengalahkannya dan memperoleh kemenangan”.

            Kemenangan dan ketinggian derajat umat Islam yang dikhawatirkan oleh orang-orang kafir ialah, selama umat Islam masih istikomah menjadikan al-Quran sebagai pegangan hidupnya. Pada dasarnya, siapapun yang masih suka duduk bersama orang yang membaca al-Quran dan memahami isi kandungannya, maka dia pasti akan tertarik kepadanya, sehingga habislah perjuangan orang-orang kafir itu. Maka misi utama mereka ialah mengacaukan umat Islam, dengan cara menjauhkan diri dari belajar Al-Quran.

            Padahal Al-Quran memiliki manfaat yang dahsyat. Sebagaimana tersebut dalam QS. Yunus/10: 57

 يَٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

            Selanjutnya, bagaimana caranya untuk berinteraksi dengan Al-Quran?

            Berikut ini beberapa hal yang dapat diupayakan. Sehingga diharapkan orang yang melakukan perbuatan di bawah ini tidak tergolong sebagai orang yang mahjura, sebagaimana yang diadukan oleh Rasulullah kepada Allah Ta’ala.

  1. Mendengar dan menyimaknya.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat (QS. Al-A’raf/7: 204).

Bahkan Rasul juga biasa menyimaknya. Ibnu Mas’ud pernah diminta oleh Rasulullah untuk membacakan Al-Quran. “aku senang mendengarnya dari orang lain selain bacaanku,” begitulah kira-kira jawaban Rasulullahketika Ibnu Mas’ud merasa heran karena diminta membacakan al-Quran di hadapan Rasulullah.

  • Membaca dengan tertil.

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ ٱلْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا

…atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan (QS. Al-Muzammil/73: 4).

Dalam hadis juga disampaikan, bahwa orang yang mahir dalam membaca Al-Quran, akan bersama para Malaikat yang mulia. Selain itu, diriwayatkan juga bahwa Al-Quran dapat menjadi syafaat di hari Kiamat bagi orang yang suka membacanya.

  • Menjaga dan menghafalkannya.

إِنَّ الرَّجُلَ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ ، كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ

Sesungguhnya seorang yang tidak ada di perutnya sedikit pun Al Qur’an, adalah seperti rumah rusak/hancur  (HR. Ahmad)

  • Mentaddaburinya.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad/47: 24)

  • Belajar mengajarkan dan mendakwahkan.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحُكْمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّى مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن كُونُوا رَبَّٰنِيِّۦنَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ ٱلْكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya (QS. Ali Imran/3: 79).

  • Mengamalkan dalam kehidupan,

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah/2: 44).

  • Membela dan mensyiarkannya,

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. Al Hajj/22: 32).

            Demikianlah, tahapan dan langkah dalam berinteraksi bersama Al-Quran. Maka, di bulan yang mulia ini alangkah baiknya ketika berusaha untuk selalu dekat berinteraksi bersama Al-Quran.

Editor : Diyan Faturrahman

Konsep Iblis dalam Menyesatkan Manusia

Oleh Yayat Hidayat, M.Si

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

 قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.

Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah ! sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”. (QS. Al-A’raf/7: 12-13)

            Ketika Allah meciptakan nenek moyang manusia, yakni Nabi Adam as, Allah meminta kepada para Malaikat termasuk di dalamnya ‘iblis’ untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Namun, iblis menolak perintah Allah tersebut, selanjutnya terjadi suatu dialog yang diabadikan oleh Allah dalam QS. Al-A’rof: 12 – 18.

            Apakah yang menghalangi iblis tidak mau bersujud ketika Allah memerintahkannya?. Iblis mengatakan bahwa dirinya lebih baik dan lebih hebat daripada Adam, di mana Allah menciptakan iblis dari api, sedangkan Adam ‘alaihi ssalaam Allah ciptakan dari tanah. Jawaban iblis tersebut menyebabkan dirinya dikeluarkan dari surga, tidak lain karena adanya kesombongan dalam dirinya. Demikianlah karakter iblis dan sejenisnya, yaitu sombong/ takabur. Namun, sejatinya mereka itu shoghir atau kecil, bahwasanya tipu daya dan godaan mereka itu sangat kecil.

            Setelah diusir, iblis kemudian meminta kepada Allah tangguhan atas kematiannya sampai dengan hari berbangkit. Maka, Allah memberikan tangguhan atas kematianya. Di sini ahli tafsir berbeda pandangan tentang keturunan iblis. Ada yang menyebutkan bahwa nenek moyang iblis belum mati, kecuali keturunannya. Terlepas dari hal itu, bahwasanya kematian iblis dan bala tentaranya ditangguhkan oleh Allah.

            Tidak cukup sampai di situ, iblis kemudian berjanji bahwa: oleh karena Allah telah menyesatkannya, maka pasti kelak iblis dan bala tentaranya akan menghalangi manusia dari jalan Allah yang lurus. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk hal itu. Bahkan, dalam uraian ayat tersebut dijelaskan juga cara mereka dalam menghalangi manusia dari jalan Allah, yaitu: mereka akan mendatangi manusia dari arah depan, belakang, sebelah kanan dan kiri. Itulah konsep yang digunakan, mereka memiliki misi yaitu untuk menyesatkan seluruh manusia dari semua lini. Dan dialog tersebut diabadikan oleh Allah agar menjadi pembelajaran bagi orang-orang yang beriman. Iblis berusaha menjauhkan manusia dari jalan Allah.

            Dan konsep terakhir yang dijalankan oleh iblis, ialah agar manusia tidak mau bersyukur kepada Allah. Potensi yang telah Allah karuniakan/ amanahkan kepada manusia dibuatnya menjadi hilang kesadaran. Sehingga manusia menjadi tidak sadar dengan fitrahnya, sebagai muslim tidak sadar lagi bahwa hidupnya telah diatur oleh Allah, dengan tuntunan berupa wahyu (al-Quran dan sunnah) sebagai pedoman hidupnya.

            Ketika memperhatikan berbagai kondisi yang terjadi sekarang ini, maka akan banyak menjumpai hal-hal yang sangat memprihatinkan. Apa yang terdapat di dalam al-Quran dan as-sunnah sangatlah indah, namun realisasi atas keindahan tersebut masih belum menjelma dalam kehidupan seorang muslim. Image atau persepsi dari orang-orang luar terhadap ‘muslim’ masih buruk, karena bisa jadi nilai-nilai yang telah dijelaskan dalam al-Quran dan as-sunnah masih jarang dipraktikan.

            Sebagai catatan akhir, pada dasarnya setan maupun iblis seharusnya mencerdaskan manusia, karena semua sudah jelas berdasarkan keterangan dari Allah di atas. Sangat aneh ketika banyak manusia yang masih mau diperbudak oleh iblis menjadi temannya, sahabatnya, bahkan menjadi pelaku gerakan-gerakannya di muka bumi. Padahal, sudah sangat jelas konsep iblis dalam menggangu seperti apa, dan bahwa Allah juga sudah menjelaskan konsep/ jalan hidup yang harus di tempuh seorang beriman agar dapat selamat dari bujuk rayu iblis dan bala tentaranya itu.   Bahkan konsep bertahan dengan nilai-nilai keimanan sebagaimana banyak dijelaskan dalam al-Quran maupun hadis-hadis Rasulullah SAW.

            Pertanyaannya ialah, ‘maukah melaksanakan konsep yang Allah berikan itu atau tidak?,’ Apabila jawabannya tidak mau, dan justru mengikuti langkah-langkah iblis, maka konsekuensinya ada pada ayat ke-18 surah al-A’rof tersebut, yakni mereka akan menjadi penghuni jahannam. Na’udzu billahi min dzalik

Keutamaan Bulan Ramadhan

Oleh Royan Utsani, Lc., M.H.I

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِى أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah/2: 185)

            Salah satu amalan mulia dan istimewa bagi seorang muslim ialah gugur syahid di medan perang untuk membela agama Allah. Banyak ayat al-Quran maupun hadis yang menjelaskan tentang keistimewaan akan hal tersebut. Bahkan Allah SWT menepis anggapan bahwa orang yang gugur di medan jihad itu mati, sesungguhnya mereka masih hidup dan di sisi Allah mendapat rezeki, بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (QS. Ali Imran/3: 169).  

            Dalam hadis riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan bahwa orang yang gugur syahid di jalan Allah akan diberi enam perkara oleh Allah, yaitu: akan diampuni dosa-dosanya seiring dengan percikan darah pertama; Allah akan memperlihatkan tempatnya di surga; Allah akan menyelamatkannya dari siksa kubur dan neraka; kepadanya akan dipakaikan mahkota, yang apabila dikeluarkan maka dapat menyinari dunia dan seisinya; Allah akan menikahkannya dengan 72 bidadari; dan dapat memberi syafaat untuk 70 anggota kerabatnya. Kemuliaan yang luar biasa, lalu dalam hadis Bukhari-Muslim, disebutkan juga bahwa orang yang syahid menginginkan agar apat kembali ke dunia lalu mati syahid sebanyak sepuluh kali, karena ia melihat banyaknya balasan kebaikan yang diberikan.

            Tetapi ternyata ada orang yang lebih baik dari orang yang gugur di jalan Allah tersebut, sebagaimana dalam hadis riwayat Ahmad dan Ibn Majah. Bahwasanya Thalhah berkata bahwa ada dua orang yang masuk Islam di hadapan Rasulullah, setelah itu antara dua orang tersebut satunya lebih rajin beribadah, bahkan syahid di medan perang. Sementara sahabat yang satunya, ia meninggal setahun setelahnya kemudian gugur di atas kasur. Thalhah bermimpi bahwa kedua orang tersebut berada di depan pintu surga, anehnya sahabat yang meninggal di atas kasur dan tidak ikut berperang justru masuk surga terlebih dahulu, maka peristiwa tersebut lalu diadukan kepada Rasulullah. Rasulullah menjawab, karena sahabat yang masuk surga terlebih dahulu sempat berjumpa dengan bulan Ramadhan serta beribadah di dalamnya.

            Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW pernah ditanya orang yang paling baik di dunia. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa yang paling mulia di dunia ialah: مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ (seseorang yang paling panjang usianya dan paling baik amalannya). Maka dari itu, siapapun yang masih diberikan usia oleh Allah SWT, perlu bagi mereka untuk memiliki skala prioritas. Adapun yang perlu menjadi perhatian ialah memanfaatkannya untuk talabul ‘ilmi/ mencari ilmu sebanyak-banyaknya.             Menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Bahkan di dalam al-Quran, satu-satunya doa untuk meminta tambahan tentang sesuatu ialah tambahan ilmu. Di sana tidak ada doa yang menyebutkan untuk meminta tambahan harta, jabatan, bahkan kalimat takwa sekalipun.Firman-Nya, …وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (QS. Taha/20: 114). Dalam riwayat yang lain, Rasulullah pernah bersabda, مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ. Bahwa, barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka akan dimudahkan dalam urusan agamanya. Mungkin ukuran kebaikan seseorang dalam satu daerah berbeda-beda, ada yang mengukurnya dengan harta kekayaan, jabatan yang tinggi, dan sebagainya. Akan tetapi ulama sepakat bahwa ukuran kebaikan yang sesungguhnya ialah bahwa orang tersebut faham terhadap agamanya

Berbuat Ihsan Menuju Masyarakat yang Berkemajuan

Oleh Erik Tauvani Somae, S.H.I., M.H.I.

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْأَاخِرِ وَٱلْمَلَٰئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّائِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَاءِ وَٱلضَّرَّاءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah/2: 177).

            Setiap bulan Ramadhan selalu diingatkan bahwa tujuan berpuasa ialah bukan untuk berlapar-lapar dan berdahaga-dahaga, sesungguhnya hal tersebut hanya sebagai suatu pendidikan agar menjadi orang-orang yang bertakwa. Menurut para ulama, definisi takwa ialah اِمْتِثَالُ أَوَامِرِاللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ)) melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Kalimat tersebut singkat akan tetapi menyeluruh, dan ketika membuka QS. Al-Baqarah/2: 177, maka dalam ayat tersebut juga dijelaskan hakikat takwa.

            Dalam ayat tersebut, takwa diartikan sebagai orang yang benar. Sehingga menjadi orang yang benar itu menjadi syarat mutlak agar orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang bertakwa. Adapun orang yang benar ialah apabila jika menyatu dalam dirinya tiga unsur pokok dalam agama Islam. Maka, apabila belum menyatu ketiga unsur pokok tersebut, berarti belum dapat dikatakan sebagai orang yang benar, dan apabila belum benar maka belum dikatakan sebagai orang yang bertakwa ketiga hal tersebut ialah iman, Islam dan ihsan.

            Sekuat apapun tingkat keimanan seseorang dan sedemikian rupa ia melaksanakan ibadah (zakat, salat, puasa dan sebagainya), namun ketika belum memiliki ihsan, maka sama saja orang tersebut belum tergolong sebagai orang yang benar, dan hal ini berarti orang tersebut belum bertakwa. Pada hakikatnya, ihsan ialah ketika keimanan dalam hati terpatri dengan kuat lalu diwujudkan dengan amal dzahiriyah, yang dengannya harus berdampak positif bagi diri sendiri dan orang sekitar.

            Seorang yang beriman dan taat, akan tetapi ketika tetangga tempat ia tinggal belum merasa aman atau setidaknya merasakan manfaat dengan keberadaan dirinya, maka pada dasarnya orang tersebut belum ihsan. Maka, ihsan menuntut adanya kemampuan bergaul, hidup bersama serta menjadi pribadi yang menyenangkan. Orang yang tidak mampu menyatu dengan komunitas, sesungguhnya ia tidak siap dengan adanya perbedaan. Ketika orang tersebut susah bergaul, maka implementasi ihsan juga akan mengalami kesulitan.

            Demikianlah tujuan takwa, maka dapat diketahui bahwa syariat ibadah puasa adalah untuk memperbaiki kehidupan. Begitupun al-Quran diturunkan juga dalam rangka memperbaiki kehidupan dunia akhirat. Untuk itulah dalam ayat-ayatnya menemukan fungsinya, yakni هُدًى لِّلنَّاسٍ وَّبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ)…) menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Sehingga jika seseorang mendapatkan petunjuk itu, maka kehidupannya akan menjadi lebih baik. Namun, ketika fungsi al-Quran sebagai hudan, tibyan dan furqan tidak ada, maka sama saja al-Quran tersebut tanpa ruh, padahal ia diturunkan untuk memperbaiki kehidupan atau membangun peradaban.

            Bangsa Arab sebelum al-Quran turun, mereka adalah bangsa jahiliyah. Namun bukan berarti tidak mengetahui apa-apa, bangsa Arab ketika dilihat dari sudut pandang intelektual, dapat dikatakan mereka adalah masyarakat yang cukup intelek, mereka bahkan mampu membaca dan menulis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya budaya syair yang berkembang, bahkan syair terbaik akan digantung pada dinding Ka’bah. Begitupun dalam hal ekonomi, mereka dikenal sebagai masyarakat yang suka berdagang, dalam hal kepemimpinan di sana terdapat sistem kekerabatan atau kesukuan, berkafilah-kafilah. Selain itu dari segi militer, setiap suku dari mereka memiliki kemampuan berperang hingga memiliki strategi peperangan.

            Sehingga, dalam hal ini yang dimaksud dengan bangsa Arab berada dalam keadaan jahiliyah, ialah terbelakang secara moral dan spiritual. Sekalipun tinggi sastranya, ekonominya berjalan, kemampuan militer juga tersedia, akan tetapi dalam waktu yang sama mereka terus berpecah belah, saling bertikai dan mengunggulkan kabilah/ kelompoknya. Dalam kehidupan bermasyarakat sering bertikai, dalam melakukan perdagangan tidak jujur, suka memonopoli perdagangan, menganggap bahwa perempuan adalah sebuah aib. Mereka juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan mereka, akan tetapi mereka membuat tuhan-tuhan tandingan. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tersebut benar-benar terbelakang, baik secara moral maupun spiritual.

            Allah mengutus Rasulullah SAW dan menurunkan kepadanya al-Quran ialah untuk mengubah keadaan tersebut, dari kegelapan menuju cahaya. Apabila bertikai merupakan suatu kegelapan, maka cahayanya ialah bersatu, jika memonopoli perdagangan adalah kegelapan, maka kejujuran ialah cahayanya, ketika pertikaian adalah kegelapan, maka persatuan dan kesejahteraan bagi semua merupakan cahaya. Apabila berhala-berhala sebagai kegelapan, maka tauhid yang murni ialah cahayanya.

            Al-Quran diturunkan untuk membangun peradaban yang tujuannya ialah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Adapun, masyarakat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ””. 1) lahum ajruhum ‘inda robbihim, maknanya ialah hidup sejahtera; 2) walâ khaufun ‘alaihim, maknanya ialah damai; dan 3) wa lâhum yahzanûn, yaitu bahagia. Apabila ketiga hal tersebut terwujud, maka masyarakat itu sudah baik, berkemajuan dan berkeadabaan.

Mengendalikan Hawa Nafsu Dengan Cara Berpuasa

Oleh Prof. HM. Amien Rais

أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,” (QS. Al-Furqan/25: 43)

            Tujuan utama seorang muslim yang berpuasa yaitu agar bisa meraih ketakwaan. Adapun, al-Quran sendiri, sebagai kitab suci umat Islam juga menyebutkan bahwa al-Quran merupakan petunjuk, hidayah atau guidence of live bagi orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah/2: 2).

            Ciri-ciri orang bertakwa juga dijelaskan dalam surat yang sama, ayat ke-177. Ayat tersebut menggambarkan tipologi seorang yang bertakwa. Bahwa sejatinya, orang yang bertakwa atau orang yang mendapat kebajikan itu, ialah orang yang hanya percaya kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab Allah, para nabi, juga menegakan salat, membayar zakat, menyantuni segenap hamba Allah: fukara, orang-orang miskin, ibnu sabil. Selanjutnya, memenuhi janji ketika berjanji/ tidak pernah ingkar janji, sabar dalam keadaan terhimpit keadaan (baik ekonomi, sosial, politik maupun yang lainnya), kegersangan hidup, dan adakalanya dalam kondisi peperangan.

            Demikianlah gambaran orang bertakwa. Adapun, salah satu ciri lain daripada orang yang bertakwa ialah menyerahkan seluruh kehidupannaya secara total hanya untuk Allah semata, menjadi ‘ibâdullâh/ ‘ibâdurrahmân (hamba Allah atau hanya menyembah Allah semata). Namun, ternyata di samping ada orang yang menyembah hawa nafsunya, sebagaimana dalam QS. Al-Furqan/25: 43 di atas, ternyata masih banyak orang yang menyembah setan. Sehingga, disebutkan di dalam QS. Yasin/36: 60 (أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَٰبَنِى ءَادَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا ٱلشَّيْطَٰنَ ۖ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ) “Bukankah Aku (Allah) telah memerintahkan kepadamu wahai bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”.

            Begitupun ada yang bersekutu dengan jin bahkan juga menyembahnya, sebagaimana dalam QS. Saba/34: 41, ((قَالُوا سُبْحَٰنَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِم ۖ بَلْ كَانُوا۟ يَعْبُدُونَ ٱلْجِنَّ ۖ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. Sesungguhnya di dalam al-Quran, hanya ada dua pilihan: orang berjalan fisabilillah (di jalan Allah) atau berjuang fisabilithoghut (di jalan syaitan); orang berjuang menjadi ‘ibâdullâh (menjadi hamba Allah) atau ibâdusyaithan/ ibâduljin (menjadi hamba syaitahan/ jin).

            Untuk itu, agar setiap muslim selamat dari penyimpangan-penyimpangan tersebut, dibutuhkan suatu cara yang efektif. Adapun, cara mengendalikan nafsu yang paling efektif dan ampuh ialah dengan berpuasa, di samping dengan melakukan zikir, salat, sedekah dan sebagainya. Orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu berarti dapat memenangkan jihad al-akbar (jihad yang lebih besar).

            Hawa nafsu itulah yang menjadi indikator apakah seseorang itu baik ataukah jahat. Atau bisa juga menjadi ukuran menilai seseorang, apakah secara penampilan dan hakikat membela yang haq (benar) ataukah secara penampilan/ hakikat membela yang batil (salah). Hawa nafsu memiliki banyak kategori, namun di antara nafsu yang lebih beresiko adalah nafsu syahwat kepada lawan jenis, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran/ 3: 14.

            Lukman al-Hakim, orang yang tidak asing lagi di kalangan umat Islam, namanya diabadikan menjadi nama sebuah surat dalam al-Quran, dalam satu riwayat ia merupakan seorang budak, dan sebaya dengan Nabi Daud AS. Nama Lukman menjadi sangat masyhur karena wisdom of live atau kebijakan hikmahnya. Dalam suatu kitab diceritakan bahwa Lukman pernah berpesan kepada anaknya,

“wahai anakku, jika perutmu penuh dengan makananan, maka pikiranmu akan tidur, dan anggota badanmu akan malas untuk beribadah”

            Biasanya perbandingan antara bangsa yang ‘makmur’ dengan realita moral hidupnya ini terbalik. Semakin yang dimakan tidak karuan, maka moralitas bangsa tersebut going down. Amerika Serikat misalnya, negara dengan tingkat obesitas tertinggi. Jika makan secukupnya dan tidak berlebihan, maka pikiran akan menjadi jernih. Namun, apabila urusan makan diunggulkan atau kesenangan makan dimanjakan, maka akibatnya akan cukup buruk. Dengan berpuasa itulah, harapannya menjadi ‘detoksi’ ruhani dan jasmani.

            Terakhir, perlu menjadi kewaspadaan bersama bahwa perbedaan antara penguasa dan rakyat biasa (dhuafa) dalam menghadapi hawa nafsu. Orang yang tidak memiliki jabatan apapun atau rakyat jelata tadi ketika datang nafsu untuk berkuasa, maka hanya sebatas angan-angan saja atau dreaming. Sementara, bagi para pejabat, penguasa yang timbul nafsu tersebut dan tergelincir di dalamnya, maka akibatnya akan sangat berbahaya, bahkan mampu membahayakan seluruh rakyat yang tinggal di dalamnya.

Tadabur Quran Surah At-Tin

Oleh Budi Jaya Putra, S.Sy., S.Th.I., M.H.

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ * وَطُورِ سِينِينَ * وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ*

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ * ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ * إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ *

 فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ * أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ*

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2), dan demi kota (Mekah) ini yang aman (3), Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (4). Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) (5), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (6). Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?(7) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?(8).

(QS. at-Tin/95: 1-8)

Karena pendeknya suatu surat dalam Al-Quran, biasanya orang lupa untuk belajar memahaminya, atau karena pada dasarnya memang sungkan dan tidak punya keinginan. Salah satunya yaitu QS. At-Tin, yang menjadi salah satu surat favorit ketika salat tarawih. Untuk itulah, pembahasan ini mencoba mentadabburi apa yang terkandung dalam QS. At-Tin. Surat ini diawali dengan tiga buah sumpah dan dua huruf taukid, atau dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan huruf penegasan. Tiga hal yang dijadikan sumpah oleh Allah ialah: buah tin-buah zaitun, bukit tursina dan negeri yang aman.

            Dalam kitab tafsir Ibnu Kasir, buah tin melambangkan Baitul Maqdis dan juga melambangkan kenabian, yaitu Nabi Isa as. Bukit tursina, yang mana di sana terdapat kisah Nabi Musa as. Kemudian selanjutnya “baladun amin” yaitu kota Mekah sebagai lambang kenabian Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang muslim seharusnya tertarik dengan adanya tiga lambang tersebut. Dengan tiga hal tersebut dengannya Allah jadikan sebagai sumpah, hal itu mengindikasikan adanya sesuatu yang harus diperhatikan.

            Ayat selanjutnya diawali dengan dua buah huruf taukid, yaitu huruf lam dan kata qad yang berarti sesuatu setelahnya pasti terjadi/ akan terjadi. “sungguh-sungguh, manusia itu diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk”. Hal ini menunjukkan suatu pemberitahuan, penjelasan dan peringatan dari Allah SWT bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya bentuk.

            Bertafakurlah sejenak dengan beberapa binatang yang biasa dijumpai. Ada kambing, sapi, kuda, kucing. Semua memiliki empat kaki dan selalu berjalan menunduk. Setelah itu perhatikanlah manusia yang dengan dua kakinya dapat tegap berdiri dengan gagah, dua mata yang begitu sempurna dan indah. Telinga kanan dan kiri, tangan dan kaki yang begitu sempurna. Dan satu hal yang membedakan antara manusia dengan mahluk yang lain ialah bahwa manusia dikaruniai akal. Dengan akal yang Allah berikan untuk manusia, maka menjadikannya mampu berfikir, sehingga mereka dapat membuat sesuatu yang sejatinya tidak dimilikinya.

            Manusia bisa terbang tanpa harus mempunyai sayap, dengan akal pikirannya ia membuat pesawat, sehingga dapat terbang. Manusia bisa berjalan lebih cepat, karena dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat membuat motor, mobil, kereta, kapal dan sejenisnya. Mereka juga dapat masuk ke dalam lautan yang dalam tanpa harus memiliki insang seperti ikan, dengan ilmu yang dimiliki dapat membuat kapal selam. Sungguh luar biasa, begitu sempurnanya manusia ketika diciptakan.

            Akan tetapi ayat tersebut dilanjutkan, ‘kemudian manusia dikembalikan ke dalam keadaan yang selemah-lemahnya, dalam keadaan yang buruk’. Adapun alasan manusia dikemblikan ke tempat yang buruk ialah karena manusia tidak melaksakan apa yang diperintahkan Allah. Lihatlah dengan akal pikiran yang luar biasa dan anggota tubuh yang luar biasa, akan tetapi masih banyak manusia seperti bukan manusia. Sebagaimana dalam QS. al-A’rof/7: 179, bahwa ada di antara mereka yang seperti binatang, bahkan lebih rendah dari itu. Hal tersebut karena mereka tidak menggunakan apa yang Allah karuniakan dengan sebaik-baiknya.

            Terdapat salah satu falsafah kehidupan atau kata mutiara: ‘tiada harimau yang memakan anaknya sendiri’, namun sekarang banyak terjadi orangtua/ ayah yang tega menzinahi anaknya sendiri, bahkan ada juga yang menjualnya lalu uangnya digunakan untuk berfoya-foya. Mereka itulah yang akan kembali ke tempat yang hina sebab hidup tidak sesuai dengan kehendak Allah. Maka, keterangan selanjutnya ialah, ‘kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh’.

            Ada golongan manusia yang tidak akan kembali ke tempat yang buruk itu, yaitu bagi mereka yang memiliki dua syarat, yakni iman dan amal saleh. Orang tersebut tidak akan kembali kepada kesesatan, kehancuran, atau tempat yang serendah-rendahnya. Dua syarat itu juga disebutkan dalam QS. Al-’Asr. Diterangkan bahwa manusia berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh.

            Dari informasi tersebut, maka kunci hidup agar tidak terpuruk ialah segera memeriksa tingkat keimanan, bagaimana hubungan dengan Allah. Masalah iman, ketika dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah/2: 183, menurut Ibnu Abbas ra. apabila dalam suatu ayat terdapat lafadz yaa ayyuhalladzina amanu, hal tersebut menunjukkan ada sesuatu yang khusus dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang beriman saja, lain tidak. Bahkan, sekalipun orang yang mengaku sebagai muslim sekalipun.

            Sebab dalam ajaran Islam, ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni Islam, iman dan ihsan. Islam sebagai syariat, syarat masuknya mudah, tetapi untuk dapat melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah dalam syariat Islam tersebut, dibutuhkan keimanan sampai mencapai derajat ihsan atau takwa.

            Jika puasa tidak dilandasi dengan iman, maka tidaklah sempurna apa yang dikerjakan. Misalnya seperti yang biasa terjadi ketika bulan Ramadhan, ketika masih awal warung dipinggir jalan masih sepi dan tidak banyak dijumpai orang yang berani makan dipinggir jalan. Namun ketika sudah masuk pertengahan akhir, orang tidak lagi merasa malu. Bagi yang perempuan mungkin dengan mudah beralasan ia sedang berhalangan. Tapi bagi mereka yang laki-laki: bukan orang yang sakit, musafir, pekerja berat ataupun tua renta, yang merupakan rukhsoh bagi orang yang tidak berpuasa. Tapi masih saja tidak menjalankan ibadah puasa.

            Selain itu ada yang berusaha mencari-cari tempat persembunyian. Pernah suatu ketika dijumpai terdapat bungkus makanan di kamar mandi. Mereka lebih malu di hadapan manusia daripada kepada Allah, tidak bisa dibayangkan bagaimana orang tersebut makan di kamar mandi. Seperti itulah mereka yang tidak memiliki keimanan yang baik. Dalam satu hadis kudsi disebutkan bahwa puasa itu untuk-Ku (Allah), karena hakikatnya yang mengetahui seseorang sedang berpuasa atau tidak hanyalah Allah dan dirinya sndiri.

            Orang akan masuk pada tahapan yang lemah dan dalam keadaan seburuk-buruknya ketika dia tidak mau beriman dan beramal saleh. Adapun, Ibnu Abbas ra. menafsirkan ayat ini bahwa manusia diciptkan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Melewati masa kecil, tumbuh menjadi muda, dewasa lalu dapat berbuat baik sebanyak-banyaknya. Namun, ketika menginjak masa tua dan dalam keadaan yang selemah-lemahnya, sebagai seorang yang tua renta.

            Apabila saat masih muda mampu melakukan perbuatan yang baik/ amal saleh, biasanya ketika sudah tua akan mampu berbuat yang baik juga. Lihatlah di sekitar, bagaimana keadaan orang tua tersebut. Dapat dipastikan, ketika ada orang tua yang malas ke masjid, sudah barang tentu ketika masa mudanya juga malas. Meski, tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa yang meskipun masa mudanya malas, namun ketika sudah tua justru sangat rajin beribadah.

            Dengan demikian, mulai sekarang siapapun yang berada dalam usia muda, pergunakanlah dengan hal yang baik, memperbanyak amal saleh. Sehingga ketika tua nanti, ketika dalam keadaan asfala safilin, tidak dalam kondisi yang terpuruk atau dalam keadaan lemah yang miskin dengan iman dan amal saleh. Siapa yang menanam dialah yang akan memanen. Masa muda banyak menanam, masa tua saatnya memanen.

Pentingnya RS. PKU Muhammadiyah

sumber gambar : https://globalrancangselaras.com/projects/gedung-rawat-inap-rs-pku-muhammadiyah-tegal/

dr. H. Arifuddin, Sp.Ot

أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَٱحْتَمَلَ ٱلسَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِى ٱلنَّارِ ٱبْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَٰعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُۥ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْحَقَّ وَٱلْبَٰطِلَ ۚ فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (QS. Ar-Ra’d/13: 17)

            Segala puji dan syukur kehadirat Allah Ta’ala atas segala nikmat. Meskipun banyak melakukan kemaksiatan kepada-Nya, juga melalaikan-Nya, namun karena kasih sayang-Nya, Allah masih terus memberi kenikmatan. Maka tiada cara lain yang dapat dilakukan selain bersyukur, dengan terus meningkatkan kalitas amal serta memanfaatkan sisa umur yang masih ada, untuk memperbaiki amal ibadah yang diridhoi Allah.

            Pernah suatu ketika di RS. PKU Muhammadiyah Gamping kedatangan seorang pasien bernama Ust. Nasirul. Beliau merupakan salah satu pendiri Muhammadiyah Boarding School (MBS) Prambanan. Pada saat masuk waktu shalat Dhuhur, meski dalam keadaan sakit beliau tetap ikut shalat berjamaah. Kemudian setelah selesai shalat, Ust. Nasirul diminta menyampaikan kultum kepada para jamaah yang terdiri dari para pegawai Rumah Sakit dan juga keluarga pasien yang rawat jalan. Pada saat itu, beliau sampaikan salah satu ayat dalam QS. Ar-Ra’d:

فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ …

Kurang lebih artinya ialah, “Maka apa saja yang merupakan buih (yang terombang ambing kesana kemari, terbawa oleh air laut, gelombang, tercerai berai lalu) akan hilang. Dan apa saja yang bermanfaat bagi manusia, maka akan tetap berdiri (di dunia dan Allah akan) kokohkan di dunia. Demikianlah Allah memberikan permisalan”.

            Sehingga kalau hanya sebagai buih yang tidak ada manfaatnya, maka akan hilang. Sejak didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya, Muhammadiyah berhasil melahirkan beberapa amal usaha, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Tujuan yang juga menjadi nafas dari AUM itu sendiri yaitu dakwah amar maruf nahi munkar. Di sinilah arti pentingnya kehadiran Rumah Sakit Muhammadiyah yang memiliki visi tersebut.

            Ada beberpa penelitian yang menyebutkan bahwa banyak Rumah Sakit yang didirikan, namun tidak sampai generasi ketiga, dan hanya ada dua atau tiga saja yang terus bertahan. Pertama, Rumah Sakit milik Pemerintah, hal ini karena ada dana dari pemerintah. Kedua, Rumah Sakit Militer, hal ini karena ada prioritas dari negara. Ketiga, Rumah Sakit dengan misi agama-agama. Apabila Rumah Sakit didirikan pada prioritas bisnis semata, maka hanya akan bertahan pada generasi pertama saja.

            Kenapa diperlukan Rumah Sakit yang visi misinya dakwah amar ma’ruf nahi munkar? Pertama, karena setiap orang berpotensi menjadi pasien, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 155 bahwa Allah pasti akan memberikan ujian. Dan Allah pasti akan menguji setiap orang dengan kekurangan jiwa, atau juga dapat dipahami sebagai sakit. Sehingga, banyak orang yang datang ke Rumah Sakit.

            Kedua, masih banyak pasien yang belum bisa menerima penyakitnya. Menurut petugas kerohanian di RS. PKU Muhammadiyah, semakin tinggi gelar yang dimiliki, maka semakin sulit orang itu menerima penyakitnya. Membutuhkan treatment yang lebih, agar apa yang disampaikan dapat masuk ke qalbu, sehingga pasien tersebut mau menerima penyakitnya. Ketika seseorang jauh dari agama, maka biasanya kalimat yang muncul ialah menyalahkan takdir Allah, “dosaku ki opo, kok gusti Allah kejek banget karo aku”. Bahkan ada sebuah penelitian di Gunung Kidul, yang menjelaskan bahwa ada orang yang menyelesaikan masalah sakit kronis dengan cara bunuh diri. Hal tersebut tentunya karena kurang sabar dalam menghadapi penyakitnya, maka disinilah pentingnya dakwah.

            Ketiga, butuh seseorang yang mampu mendampingi, membimbing, dan mengingatkan pasien untuk senantiasa menjalankan shalat. Bersuci sebagai bagian dari syarat sahnya shalat, ternyata masih banyak pasien yang belum mengetahui tata cara bersuci (bertayamum) yang benar. Inilah pentingnya Rumah Sakit yang di dalamnya terdapat pembimbing yang dapat mengingatkan seseorang kepada Allah, terlebih setelah keluar dari Rumah Sakit lebih ingat, dekat dan taat kepada Allah.

            Keempat, karena manusia kadang dicoba oleh Allah dengan penyakit yang sulit sembuhnya. Penyakit kronis, yang harus sering keluar masuk Rumah Sakit. Betapa manusia ingin mencari cara sembuh namun kadang caranya ini berakibat fatal. Pernah terjadi di Kelurahan Banjarasri, Kalibawang. Ada orang tua namanya pak Sari Kromo, ia memiliki sakit di kakinya yang tidak kunjung sembuh. Sehingga suatu ketika ada berita seorang pendeta di Muntilan yang dapat menyembuhkan sakitnya. Kemudian ia berangkat ke tempat tersebut dan singkat cerita, Pak Sari Kromo sembuh kemudian pindah agama. Ia berganti nama menjadi Barnabaj Sari Kromo lalu pulang kampung dalam keadaan sehat. Di desanya, ia kemudian mengajarkan keyakinanya itu kepada masyarakat sekitar. Satu tahun berdakwah, sukses membaptis 137 penduduk Banjarasri. Kemudian pada tahun 1930, beridirilah RS. Santo Yusuf secara resmi.

            Pentingnya membimbing masyarakat, menyadarkan bahwa apapun yang menimpa seseorang itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Sakit merupakan ujian dari Allah, yang terpenting ialah mampu bersabar dan tetap berusaha. Semoga dengan sakit tersebut, Allah mengurangi dosa-dosanya. Adakalanya yang berobat ke Rumah Sakit itu sembuh, namun ada juga yang sampai wafat. Di sinilah, bagaimana agar sampai wafatnya ia dalam keadaan muslim, walaa tamuutunna illaa wa antum muslimun. Demikianlah pentingnya Rumah Sakit PKU, terus berusaha menjadi lebih baik. PKU pasti ada kekurangnya, namun terus berupaya untuk membenahi, maka dari itu mohon selalu doa dari masyarakat secara umum dan khususnya warga persyarikatan.

Akhlak Takwa dalam Pribadi Muslim

Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّاءِ وَٱلضَّرَّاءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“…(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imron/3: 134)

            Ketika bermuhasabah tentang ibadah puasa, maka betapa intensnya riyadhoh/ olah jiwa-ruhani dalam proses ibadah tersebut yang telah dikerjakan. Kewajiban puasa selama sebulan penuh setiap tahunnya, belum terbilang dengan puasa sunnah seperti puasa senin-kamis, puasa ayyamul baidh, syawal, ‘asyura juga puasa dawud. Maka bisa diproyeksikan seberapa jauh kualitas ketakwaan seseorang, sebagai buah dari berpuasa apabila benar-benar menghayati apa yang selalu dibaca setiap bulan Ramadhan tiba tentang puasa, yakni QS. Al-Baqarah/2: 183. Bahkan, setiap muslim telah mendengar ayat tersebut berulang-ulang dengan berbagai tafsirnya oleh para muballigh, dai atau penceramah lainnya dalam berbagai kesempatan. Namun, pertanyaan yang paling mendasar ialah, seberapa jauh pelajaran tentang nilai ketakwaan dari berpuasa yang ditunaikan dalam frekuensi yang tinggi itu dapat terwujud dan teraktualisasi di dalam kehidupan sehari-hari.

            Aktualisasi dengan memancarkan perilaku akhlak takwa dalam pribadi setiap muslim. Ahlak takwa adalah suatu proses kejiwaan yang muncul dalam setiap diri seorang muslim, di mana nilai-nilai takwa itu tertunjam dan tertanam dalam diri, kemudian teraktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat berupa sikap dan tindakan sebagaimana nilai-nilai takwa tersebut menjadi konstruksi keagamaan umat muslim, sebagai hasil dari berpuasa. Setiap orang dapat mengelaborasi atau mendaftar tentang nilai-nilai takwa apa saja, sebagai buah dari ketakwaan yang tentu sudah mematri dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam al-Quran, Allah menerangkan tentang ciri-ciri orang bertakwa, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al Baqarah/2: 177 dan QS. Ali Imron/3: 134. ‘Nilai akhlak takwa mana yang benar-benar sudah terinternalisasi dalam kehidupan?’. Inilah yang perlu menjadi pertanyaan untuk setiap muslim.

            Nilai atau norma yang diyakini dan dipahami dari agama Islam semuanya luhur dan ideal, namun ketika masuk dalam aktualisasi akhlak, sering ada kesenjangan/ jarak antara yang seharusnya dengan yang senyatanya. Misalnya, di antara ciri orang bertakwa yaitu: wal ‘afiina ‘aninaas/ memaafkan manusia dan walkadhimiina ‘anilghaidh/ mencegah atau memelihara diri dari marah.

  1. ‘Bisakah menahan marah bukan pada saat keadaan normal, melainkan ketika ada stimulan yang masuk ke dalam diri dan tidak membuat nyaman perasaan, harga diri dan segala macam yang biasanya menyatu dalam ego?.’ Ini juga perlu ditanyakan kepada setiap individu muslim. Banyak orang yang sukses melakukan sabar, tapi ketika menahan marah justru tidak semuanya berhasil/ sukses, terlebih ketika marah itu karena memang punya alasan untuk marah.            Misalnya, tiba-tiba ada orang yang menghina dengan perkataan yang merendahkan diri, maka kadangkala keluarlah marah, yang melebihi takaran dari apa yang dikeluarkan orang atas penghinaan tersebut. Apalagi, ketika marah tentang sesuatu yang dianggap ideal.

            Sekarang ini bangsa manusia memasuki fase kehidupan baru yang disebut dengan media sosial. Hampir semua orang dalam berinteraksi bukan lagi secara langsung, namun melalui media elektronik. Relasi digital memiliki karakteristik hubungan yang bersifat impresonal/ melewati batas pribadi secara langsung. Setiap hari dapat disaksikan, betapa banyak orang memproduksi ujaran-ujaran, kalimat-kalimat yang bukan saja mencerminkan rendahnya akhlak mulia, bahkan sudah keluar berbagi ujaran yang tidak layak. Sedikit saja informasi yang tidak menyenangkan, maka publik segera merespon hal itu dengan cepat, dan diiringi ujaran yang begitu rupa. Bahkan amarahpun bisa dibaca secara umum. Hal seperti ini apabila tidak disikapi dengan benar dan terus seperti itu, turun temurun antar generasi, maka dapat menghacurkan peradaban manusia !.

            Ada satu kisah pada zaman Nabi, suatu ketika di bulan Ramadhan Nabi SAW sedang berkeliling, kemudian berjumpa dengan seseorang yang sedang mencaci maki hamba sahayanya. Dengan begitu lembut Nabi kemudian memberikan sepotong roti/ sebiji kurma kepada orang tersebut. Lalu ia terperangah dan bertanya, mengapa Rasulullah memberikan makanan tersebut, padahal sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah menjawab: mengapa engkau mencaci maki hamba sahayamu padahal kamu sedang berpuasa?,” رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ والعطش “banyak orang berpuasa, tapi tidak mendapat hasil dari puasanya itu, keculai lapar dan dahaga”.

            Cara Nabi tersebut merupakan cara yang bersifat dekonstruksi/ membuka alam kesadaran orang tentang penghayatan keagamaan. Sholat yang dikerjakan setiap hari dengan begitu rupa rukun dan syaratnya, adakah sholat tersebut melahirkan khusyu dan khusyu itu melahirkan taqarub kepada Allah? Di sinilah kadang juga terjadi kontradiksi, kalau ada yang tidak sesuai rukun, bersegera komentar dalam hati, “ini orang di sebelah kok gak kaya sunnah Nabi…” pikirannya menjadi terpecah, kekhusyuan menjadi hilang. Padahal sholat ialah taqarub ilallah. Lebih jauh lagi makna tentang itu, ialah tanha ‘anil fahsya‘i  wal munkar. Bisakah dengan sholat tersebut mencegah diri dari sagala bentuk kekejian dan keburukan? Terutama ketika ada peluang, dan peluang itu menyenangkan serta tidak ada orang lain di sekitarnya. Menghindari diri dari perbuatan keji dan mungkar di hadapan orang banyak itu wajar, namun ujiannya ialah saat tidak ada orang lain, sementara peluang dalam melakukan hal tersebut menyenangkan, maka di situlah jiwa muraqabah seseorang sedang diuji.

            Aktualisasi takwa dari sholat dalam kehidupan, itulah yang disebut dengan tanha ‘anil fahsya‘i  wal munkar. Sehingga dalam ibadah sholat sendiri terdapat tiga dimensi, yaitu: dimensi rukun, yang meliputi syarat ketentuannya sesuai dengan sunnah, dimensi khusyu’ atau upaya untuk dapat bertaqarub kepada Allah, dan dimensi tahsinah/ kebaikan yang mendatangkan manfaat dari mendirikan ibadah sholat tersebut.

            Sama halnya dengan puasa, bahwasanya puasa memiliki makna al-imsak/ menahan diri. Sampai Nabi memberikan nasehat, ketika ada orang lain yang mengajak bertengkar, padahal saat itu sedang berpuasa, agar mengatakan “inni shoim/ sesungguhnya saya sedang berpuasa”. Artinya, perilaku seperti itu tidak boleh hanya dilakukan pada saat berpuasa saja, akan tetapi tatkala telah berbuka puasa dan juga pasca Ramadhan. Perilaku seperti hifdhu lisan, hifdhu ‘aql, hifdhu kalam, harus selalu ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, umat Islam dapat menunjukan kepada dunia perbedaan antara seorang muslim dan nonmuslim, wamaa bu’istu liutamima makarimal akhlak.

  • Wal ‘afina ani naas. Memberikan maaf kepada orang lain bukanlah sesuatu hal yang mudah, terlebih memberi maaf itu pada saat posisi diri sendiri berada pada posisi yang benar atau sedang berada di atas. Sementara orang lain yang bersalah itu berada pada posisi yang sebaliknya. Justru Allah hendak memberikan pelajaran, bisakah seorang muslim mampu membongkar perasaan yang pada saat itu berada dalam posisi yang benar, lalu memberikan maaf kepada orang lain.

            Pada era sekarang ini kata maaf itu mahal harganya, terlebih apa yang terjadi melalui media sosial. Marahnya orang beragama, seharusnya berbeda dengan kemarahan orang yang tidak beragama. Hal ini karena di tengah kemarahan seorang muslim, dalam dirinya terdapat Allah dan Rasululah serta al-Quran, yang membingkai nilai akhlak tersebut. Di pesantren diajarkan perilaku hifdhu lisan/ hifdhu kalam, menjaga lisan dan tulisan. Bahkan dalam hubungan antara guru dan murid, diajari ‘aliman muta’aliman, ini untuk membentuk akhlak. Selain itu juga diajari mujamalah/ saling memuji/ memberikan apresiasi, meskipun mengetahui ada kelemahan dalam diri orang tersebut. Sekarang perilaku seperti itu mahal.

            Kenapa masih banyak muslim yang gampang marah, padahal setiap tahun mereka berpuasa, sementara ciri takwa adalah walkadhimin ‘anilghaid. Setiap hari selain taqarab tetapi juga memperkaya akhlak menjadi akhlak kairmah, sebagaimana Rasul menjadi figur uswah hasanah sekaligus Allah mengangkatnya sebagai akhlak adhim, yang mulia lagi utama.

Empat Macam Waktu

Oleh H. Nurkholis, S.Ag., M.Ag

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.“ (QS. Al-‘Ashr/103: 1-3)

Setiap orang diberikan modal yang sama oleh Allah, sehari selama 24 jam. Seminggu 168 jam dan sebulan 720 jam. Modal sama, namun isi belum tentu sama. Sebagai contoh di jam yang sama ada orang yang masih asik dengan buka bersama dan bercanda ria bersama sanak saudara, ada yang bergegas wudhu dan sholat di rumah, ada pula yang berangkat ke masjid shalat berjama’ah. Waktunya sama, namun isi berbeda. Bagi yang shalat di rumah hanya mendapat pahala shalat sendiri bila shalat sendiri. Yang di masjid langkah satu kaki menaikkan derajat, langkah kaki lainnya menghapus dosa. Shalat tahiyatul masjid dilanjutkan shalat berjama’ah isya. Sekali lagi, waktu yang sama tetapi isi berbeda.

Rasul menyampaikan ada dua nikmat yang sering diabaikan oleh manusia. Pertama ialah nikmat waktu luang. Kedua ialah nikmat sehat. Bagi mereka yang mau mensyukuri nikmat waktu, pastilah modal yang Allah berikan terisi dengan padat. Sebaliknya bagi yang kufur dengan nikmat waktu, boleh jadi modalnya itu terbuang sia-sia.

Dalam surat al-‘Ashr terdapat pesan yang sangat penting untuk menggugah dan mengingatkan diri akan anugerah yang Allah berikan berupa waktu itu. Waktu dalam al-Qur’an menggunakan empat kata. Yang pertama ialah ad-Dahru (hal ata ‘alal insani hinum minad dahri). Kedua ‘Ajal (idza ja a ajaluhum la yastahiruna sa’atan wa la yastaqdimun). Ketiga, al-Waqt (inna shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauquta). Keempat yakni al-‘Ashr, sebagaimana dalam QS. Al-‘Ashr.

Ad-Dahr adalah waktu sebelum keberadaan seseorang. Maka terhadap ad-Dahr seorang tidak mempunyai konsekuensi. Seorang tidak akan diminta pertanggung jawaban sebelum ia ada atau lahir.  ‘Ajal artinya batas keberadaan sesuatu. Itu mengapa orang yang meninggal sering disebut telah sampai pada ‘ajalnya, telah sampai batasnya. Al-Waqt/ waktu adalah batas dari berakhirnya suatu pekerjaan, seperti adanya batas-batas waktu dalam shalat. Allah peringatkan hambanya dengan al-‘Ashr, dulu al-‘ashr maknanya adalah memeras. Sebab dari pagi orang bekerja, memeras keringatnya hingga sore hari, waktu ‘Ashr.

Orang yang sudah sepuh biasa disebut dengan waktunya sudah ‘ashr, kalau masih muda, ia masih dhuha atau masih dzuhur. Biasanya orang akan merasakan kerugian kalau waktunya sudah ‘ashr. Bagi yang masih muda cenderung belum memikirkan kerugian. Sebab ia belum sampai pada ‘ashr. Sama seperti di penghujung Ramadhan. Pastilah ada orang yang menyesal. “Ya Allah mengapa ini baru sampai juz 15 membacanya”. Bagi yang sudah khatam iapun menyesal kenapa hanya bisa mengkhatamkan al-Qur’an sekali saja. Harta yang hilang bisa dicari lagi. Namun waktu yang hilang tidak pernah bisa akan kembali lagi.

Manusia yang berada dalam kerugian sebgaimana dalam surat al-‘ashr para ulama memilki beberapa penafsiran. Ada yang mengatakan bahwa manusia di sini ialah semua manusia. Ulama lainnya berpendapat manusia disini bermakna mereka yang sudah baligh. Sebab sebelum akil baligh semua amalan yang ia lakukan belum dihitung, belum mukallaf.

Dalam tafsir al-Kasyaf, akhiran kata ‘in’ dari kata ‘husrin’ (isim nakiroh) memiliki makna keaneka ragaman. Sehingga maknanya menjadi manusia itu akan berada dalam keanekaragaman kerugian. Kecuali mereka yang beriman. Iman itu adalah pembenaran dalam hati dari apa yang didengar, bukan pembenaran pikiran. Tidak semua yang didengar dan diyakini itu iman, maka yang dimaksud disini ialah Qur’an dan Sunnah.

Iman itu penyuburnya adalah ilmu. Sehingga bila ingin iman kuat, maka ilmulah yang bisa menyuburkan iman itu. Terus belajar, sebab belajar pupuk keimanan. Namun hanya iman saja orang masih rugi. Sehingga ayatnya dilanjutkan dengan wa ‘amilu shalihat. Amal itu adalah apa yang dihasilkan oleh pikiran, hati dan perbuatan. Bukan hanya perbuatan saja, pikiran merupakan amal, dan gerakan hati juga termasuk amal. Amilu shalihat maknanya bukan sembarang amal, akan tetapi amal yang shalih.

Orang hanya dengan iman dan beramal shalih masih rugi. Ditambahlah dengan watawa shaubil haq. Saling nasehat menasehati dalam soal yang haq. Haq itu makna asalnya yang kokoh, adapun yang kokoh itu ialah nilai-nilai agama. Di mana nilai-nilai agama ini akan selalu tegak dan kokoh kapan dan dimanapun. Dan hal itu juga masih dalam kategori merugi sampai ia senantiasa berlaku sabar.

Nikmat Ramadhan Harus Didapatkan

oleh Irfan Nuruddin, S.Th.I., M.Hum

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(QS. Al-Baqarah/2: 183)

          Bulan Ramadhan ialah bulan yang suci. Maka orang-orang yang mampu merasakan indahnya bulan Ramadhan, nikmatnya bulan Ramadhan dan nikmatnya beribadah di bulan Ramadhan hanyalah orang-orang yang senantiasa mampu menjaga kesucian dirinya. Masuk bulan Ramadhan, namun tidak mampu menjaga kesucian, akan menjadi hambatan yang sangat serius bagi kaum muslimin untuk bisa merasakan indah dan nikmatnya Ramadhan sampai diakhir bulan.

          Ada lima hal bagi setiap muslim yang perlu dijaga kesuciannya. Pertama ialah kesucian secara fisik. Harus bisa memastikan badan dalam keadaan bersih dan suci. Begitupun harus bisa memastikan, pakaian, kendaraan dalam keadaan bersih dan suci. Sama halnya dengan kebersihan rumah, masjid, di mana kita melaksanakan ibadah selama Ramadhan.

          Kedua yakni kesucian dari dosa-dosa yang telah dikerjakan. Dosa ada yang kecil dan besar. Namun yang pasti dosa itu akan menjadi hambatan yang paling serius bagi setiap orang yang ingin merasakan betapa nikmatnya menjalankan puasa, menjalankan tarawih, menjalankan i’tikaf. Dosa kecil bisa dihapuskan dengan amal shaleh. Sedang dosa besar tidak ada cara lain untuk menghapusnya selain bertaubat pada Allah. Bila seorang mempunyai dosa setinggi langit, sedalam samudra dan seluas alam semesta, tentu apabila ia mau bertaubat maka ampunan Allah lebih luas dari dosa-dosanya.

          Ketiga ialah membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati. Ada rasa iri, tidak senang dengan kenikmatan orang lain. Dengki, menginginkan kenikmatan yang dimiliki orang lain hilang. Sombong, merasa diri lebih baik dari orang lain. Riya, ia yang suka memamerkan kelebihan-kelebihan dan kebaik-kebaikan pada orang lain, dan lain sebagainya dalam Qur’an disebutkan.

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” QS. Al-Baqarah (2): 10

          Keempat mensucikan dirinya dari perbuatan dan aktivitas yang tidak ada manfaatnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.

“Dari Abu Hurairah dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: ‘Diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya’.”

HR. Tirmidzi No. 2239

Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang bukan dari meninggalkan hal-hal yang terlarang. Bila seorang muslim bisa meninggalkan minuman keras, pencurian, perjudian itu hal yang wajar dan biasa. Sebab yang demikian itu sudah jelas larangannya dalam Qur’an dan hadis. Namun ukuran kebaikan seorang muslim itu ialah seberapa mampu ia meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak ada gunanya. Boleh jadi perbuatan itu boleh dan tidak berdosa bila dilakukan. Namun ukurannya ialah sebagaimana bisa seorang itu meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak berguna.

          Terakhir, mensucikan niat atau motivasi selain daripada Allah swt. Barangkali masih ada dari ibadah yang dilakukan dengan niat selain pada Allah swt, maka yang demikian itu harus segera dibersihkan. Niat adalah hal yang sangat pokok untuk dapat merasakan indahnya bulan Ramadhan. Ibadah hanya untuk mengharap ridha Allah swt, dan menjadi pribadi-pribadi yang semakin beriman dan bertakwa kepada Allah swt.