Menciptakan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur
YOGYAKARTA—“Ungkapan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sudah sering kita dengarkan, terlebih bagi jama’ah yg aktif di persyarikatan Muhammadiyah. Ungkapan ini bahkan menjadi slogan. Di dalam dokumen-dokumen resmi disebutkan bahwa tujuan kita membentuk organisasi, salah satunya adalah untuk membantu terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.” Demikian ungkap ustaz Ahmad Muttaqin (Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan BPH UAD) saat menyampaikan kultum qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Selasa (05/04).
Kalimat “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” ini termaktub dalam firman Allah Swt di dalam al-Qur’an:
لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ
Artinya: Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’: 15)
Kalau kita bertanya siapakah kaum Saba’ itu? Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa Kaum Saba’ itu adalah sebutan bagi raja-raja di negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk di antara mereka adalah raja-raja dari Thababi’ah. Termasuk juga yang kita kenal yaitu Ratu Bilqis yang kelak menjadi istri Nabi Sulaiman.
Ustaz Muttaqin menerangkan bahwa dulu, kaum Saba’ ini berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang luar biasa; negerinya, kehidupannya, kelapangan rezekinya, tanaman-tanamannya, serta buah-buahnya melimpah ruah. Kemudian Allah Swt mengutus kepada mereka beberapa rasul. Tentu, para rasul tersebut menyeru agar mereka senantiasa memakan rezeki yang telah dianugerahkan-Nya dan bersyukur kepada-Nya dengan cara mentauhidkan-Nya, serta beribadah kepada-Nya.
Keadaan mereka yang makmur itu terus berlangsung hingga waktu yg dikehendaki oleh Allah. Namun, tiba-tiba saja mereka berpaling dari apa yang diserukan oleh para nabi dan rasul yang telah diutus kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang. Kemudian akibatnya mereka pun terpencar-pencar di banyak negeri. Mengenai kemakmuran negeri Saba’ ini, juga disebutkan oleh para mufassir lainnya.
Adapun ungkapan “baldatun thayyibatun” secara lughawi artinya adalah negeri yang baik dan itu mencakup seluruh kebaikan alamnya, sehingga secara sumber daya alam (SDA) di sana begitu luar biasa. Kemudian, ungkapan “wa rabbun ghafur” menunjukkan bahwa tuhan itu maha pengampun dan ini mencakup seluruh kebaikan dari prilaku penduduknya, sehingga berimplikasi datangnya ampunan dari Allah Swt.
“Ketika mereka belum maksiat dan abai terhadap perintah Allah negeri itu betul-betul makmur, ungkapan bahasa Jawanya adalah “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo” . Beberapa mubalig sering memaknai ungkapan baldhatun thayyibatun dengan ungkapan Jawa tersebut.” pungkas Ahmad Muttaqien BPH UAD.
Kemudian, bagaimana kebaikan dan kenyamanan negeri Saba’ itu? Imam asy-Syaukani menerangkan kemakmuran negeri ini ditunjukkan karena banyaknya pohon-pohon yang rindang lagi meneduhkan, serta buahnya yang bagus-bagus. Sedangkan Ibnu Zaid menerangkan dengan sebuah gambaran, yaitu di daerah mereka tidak pernah terlihat adanya nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan binatang-binatang lain yang sering mendatangkan penyakit. Bahkan digambarkan dengan yang lain, seandainya seseorang melewati dua tamannya, maka ketika dia masuk melewati taman tersebut dengan membawa keranjang kosong, maka keranjangnya akan penuh dengan buah-buahan tanpa ia petik dari pohonnya. Ini menunjukkan betapa makmurnya negeri Saba’ yang disebut oleh Allah sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Selain itu, Ibnu Katsir menjelaskan juga bahwa hal tersebut terjadi sebab cuaca yang baik dan alam yang sehat. Itu merupakan bentuk penjagaan dari Allah agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya.
Dari penjelasan mufassir terkait baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur ini kita dapat menangkap bahwa baldatun thayyibatun dapat tercipta dengan adanya dua dimensi sekaligus yaitu kemakmuran alam dan ketaatan kepada Allah Swt.
Selanjutnya, bagaimana dengan rabbun ghafur? Disebutkan oleh Ibnu Katsir ampunan Allah itu diperoleh oleh kaum Saba’ pada saat mereka terus-menerus mentauhidkan Allah. Imam ath-Thabari menyebutkan bahwa rabbun ghafur itu diperoleh ketika mereka menaati (perintah dan larangan) Allah, sedangkan Muqatil menyebutkan ampunan Allah atas dosa-dosa akan diperoleh ketika mensyukuri rezeki (pemberian) dari Allah swt.
Dari penjelasan para mufassir ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa rabbun ghafur itu akan diperoleh manakala kita senantiasa mentauhidkan Allah.
“Mari kita coba lakukan refleksi, mungkin kita sudah berbuih-buih mentauhidkan Allah secara lisan. Tahlil kita baca berulang-ulang. Namun pertanyaannya, sudahkah perbuatan kita, pikiran kita mentauhidkan Allah? Ketika mau pergi adik-adik mahasiswa lupa membawa hp, begitu lupa bawa hp seolah-olah dunia mau runtuh. Ketika lupa membawa hp lebih heboh dari lupa membaca basmallah. Ini tanda-tanda, jangan-jangan kita sudah menduakan Allah. Ketauhidan kita perlu untuk diasah lagi.” Tutur salah satu pengurus Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah.
Kemudian, syukur. Mungkin syukur kita sudah berbuih-buih juga, tetapi apakah tindakan kita sudah beryukur? Terkadang kita banyak mengeluh bahkan marah terhadap sesuatu yang belum bisa kita miliki. Pada saat yang sama kita lupa bersyukur kepada Allah terhadap apa yang sudah kita miliki
“Agar baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur miniaturnya tercipta di UAD, mari kriteria-kriteria ampunan Allah dengan tiga parameter tadi; mentauhidkan-Nya, menaati-Nya, dan mensyukuri rezeki-Nya senantiasa kita lakukan. Tidak hanya dalam lisan, tetapi juga dalam perbuatan.” Tutup ustaz Ahmad Muttaqin. (Ahmad Farhan)