Good Government dan Clean Government
YOGYAKARTA—“Sepatutnya untuk menjaga Indonesia yang baik, berkemajuan, adil, dan makmur sebagaimana digambarkan dalam Pancasila itu adalah dengan membangun sumber daya manusia yang religiusitas dan spiritualitasnya tinggi. Orang yang religius dan spiritualitasnya tinggi insya Allah apapun amanah yang diberikan dia akan mengusahakan untuk tidak menyentuh hal-hal yang tidak dibolehkan.” Tegas ustaz Immawan Wahyudi (Wakil Bupati Gunung Kidul Periode 2011-2021 dan Dosen Fakultas Hukum UAD) saat menyampaikan kajian qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Ahad (10/04).
Ustaz Wahyudi menerangkan bahwa good government dan clean government adalah topik lama yang ada di awal-awal reformasi, tetapi kemudian isu ini hilang begitu saja, terlebih lagi praktiknya justru sebaliknya dari apa yang diharapkan. Reformasi kala itu menghasilkan pemerintahan yang begitu rupa seperti yang dibuat prinsip-prinsipnya dalam good government dan clean government
Adapun definisi singkat dari good government adalah pemerintahan yang berbasis pada akuntabilitas, profesionalitas, transparansi, partisipasi publik, efektifitas, dan efisiensi, serta supremasi hukum. Intinya, good government adalah pemerintahan yang baik. Sedangkan clean government berorientasi pada prioritas pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi sepenuhnya pada pelayanan masyarakat, serta bertumpu pada perolehan bersama agar terhindar dari sekat-sekat, di mana nanti ada bagian masyarakat memperoleh kue pembangunan yang lebih besar, sementara sebagian masyarakat lainnya memperoleh kue yang sangat kecil. Walaupun kebanyakan orang sering menghubungkan antara clean government dengan isu korupsi saja.
“Nah, korupsi itu bagian kecil saja dari clean government, tetapi justru korupsi itu yang menggagalkan konsep baik good government maupun clean government. Ringkasnya, awal-awal reformasi kita berharap dengan adanya amandemen UUD 1945 sampai 4 kali, terakhir tahun 2002. Kemudian diikuti dengan munculnya UU, terutama UU tentang pemberantasan korupsi, kemudian di daerah juga dibuat Perda-perda yang menguatkan akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dst. Pada awal-awal reformasi tahun 2000-2004 kelihatan agak lumayan, tetapi korupsi itu saat itu basisnya politik.” Terang Wakil Bupati Gunung Kidul 2011-2021 tersebut.
Indonesia dikaruniai oleh Allah Swt alam yang begitu indah dan subur. Akan tetapi, manusia yang ada di dalamnya harus banyak bersabar. Pemberantasan korupsi kaitannya adalah dengan hukum dan penegakkan hukum, tetapi lebih dari itu adalah “moralitas”. Ketika awal-awal reformasi tahun 2000-2004 kala beliau menjadi anggota DPRD DIY nampak sekali adanya kecenderungan-kecenderungan yang bersifat politis, tetapi secara keseluruhan isu korupsi masih kuat dan cenderung stabil. Kemudian, banyak orang berharap bahwa semua persoalan itu dapat diselesaikan dengan UU. Itu bagus sebagai sebuah negara demokrasi di mana pejabatnya dipilih. Setelah dipilih seharusnya pejabat tersebut membawa inspirasi dan aspirasi dari masyarakat. Kemudian jabatan dan kewenangannya dapat menghasilkan hal-hal yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu melindungi dan mensejahterakan masyarakat.
“Tapi kemudian justru di dalam UU sendiri sering kali sudah membawa masalah di dalamnya. UU yang baik sebetulnya problem solver, tetapi UU yang lahir setelah reformasi mengandung problem-problem yang akut. Tentu saja kita ingat bagaimana UU Omnibus Law yg kemudian dibatalkan oleh MK. Walaupun ada kejanggalan dibatalkan, tetapi diberi waktu 2 tahun untuk perbaikan. Intinya adalah segala macam konsep, UU, dan segala macam yang ditegakkan dengan struktur kekuasaan itu menjadi nisbi (relatif) bahkan seringkali ambyar. Mengapa? Dalam UU tersebut sudah didrive hal-hal yang menguntungkan bagi kelompok tertentu dan merugikan banyak masyarakat.” Ungkap salah satu dosen UAD ini.
Menurut beliau, sepatutnya untuk menjaga Indonesia yang baik, berkemajuan, adil, dan makmur sebagaimana yang digambarkan dalam Pancasila itu adalah dengan membangun sumber daya manusia (SDM) yang memiliki religiusitas dan spiritualita tinggi. Orang-orang yang memiliki religius dan spiritualitas tinggi insya Allah apapun amanah yang diberikan kelak dia akan mengusahakan untuk tidak menyentuh hal-hal yang tidak dibolehkan, dalam bahasa Arab istilahnya “diharamkan”. Kalau dalam bahas hukum disebut “illegal”.
Sesungguhnya sederhana sekali korupsi itu. Mengatasinya adalah jangan sampai seseorang yang memiliki jabatan, terutama jabatan publik yang memang biaya politiknya sangat mahal itu sudah ada dalam pikirannya proyek-proyek, jaringan-jaringan bisnis, pembagian-pembagian kue-kue pembangunan yang tidak transparan. Jadi, UU sebagus apapun dan KPK-nya sekuat apapun kalau manusianya secara religiusitas dan spiritualitas lemah, bahkan mungkin tidak punya basis yang baik, maka korupsi akan terus berjalan.
Fenomena sekarang, banyak pejabat itu nyambi. Di sisi lain sebagai pengusaha, juga sebagai pejabat. Tentu nanti akan terjadi konflik kepentingan. Conflict on interest adalah bagian dari korupsi. Oleh karena itu, himbauan bagi kita di bulan Ramadhan, selain meningkatkan wirid yang dapat meningkatkan spiritualitas dan religiusitas. Cobalah kita untuk fokus membangun manusia yang memiliki spiritualitas dan religiusitas tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan. Tidak akan orang yang memiliki spiritualitas yang kuat dan baik terpikir begitu menjadi pejabat untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.
“Mudah-mudahan ketakwaan kita di bulan Ramadhan tahun 1443 H ini bentuknya adalah melahirkan manusia-manusia Indonesia yang spiritualitas dan religiusitasnya baik. Baik untuk pemerintahan, sektor-sektor swasta, dan semua hal untuk menghadapi Indonesia yang lebih maju, lebih baik, adil, makmur, sejahtera lahir dan batin.” Pesan ustaz Immawan Wahyudi. (Ahmad Farhan)