Mewaspadai Sikap Hajr

Oleh H. Hendra Darmawan. S.Pd., MA

وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al-Furqan/25: 30).

            Salah satu ibadah sunah di bulan Ramadhan ialah bertilawah, mentadaburi al-Quran atau menghayati pesan-pesan yang ada di dalam al-Quran. Ada yang disebut dengan samudera al-Quran pada saat membacanya, memasuki relung-relung pesan tanda kebesaran Allah dan mengikuti bagaimana al-Quran, al-Islam dan mendakwahkan Islam itu sendiri.

            Mentadaburi al-Quran merupakan satu hal yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Orang yang enggan melakukannya perlu instropeksi diri, sebab terdapat ancaman bagi mereka yang enggan bertadabur, yakni hati yang terkunci. أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا, maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad/47: 24).

            Rasulullah dalam QS. Al-Furqan/25: 30 di atas, pernah mengadu kepada Allah, bahwasanya umatnya telah berbuat hajr/ membelakangi al-Quran, artinya tidak menjadikannya petunjuk, pedoman sehingga mengikuti apa yang al-Quran tuntunkan. Hajr secara bahasa berarti mempersempit atau menghalangi. Adapun dalam penjelasan Ibnu Katsir, mereka yang memiliki sifat hajr/ mahjura ialah;

  1. Mereka yang enggan membaca al-Quran.
  2. Mereka yang tidak suka menghayati makna al-Quran.

            Mungkin mereka sudah berada pada tahapan membaca dengan baik, tapi perlu meningkatkannya dengan mempelajari/ menghayati makna al-Quran. Pesan al-Quran yang luas itu masih banyak yang belum diamalkan, maka teruslah mengevaluasi diri.

            Tidak cukup membaca secara literal, akan tetapi juga perlu mengetahui maknanya. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu” (QS. Al-Isra/17: 14). Cukuplah al-Quran sebagai evaluasi/ hisab. Selain itu juga menjadikannya sebagai sumber hukum yang tertinggi, sehingga harus menghayatinya.

  • Mereka yang enggan mengamalkan al-Quran.

            Sebagai wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan ialah dengan mengamalkannya, bukan malah berpura-pura atau menarik diri. Mengamalkan ilmu diharapkan akan mendapat inspirasi dan ghirah yang dapat menggerakkan diri. Perlu memperjuangkan dan mendakwahkan nilai-nilai al-Quran, masing-masing harus menjadi pejuang untuk tegaknya nilai-nlai al-Quran. Dengan demikian dapat termasuk ke dalam golongan syuhada ‘ala naas/ saksi peradaban. Bahwa al-Quran bukan hanya sesuatu yang abstrak, akan tetapi bisa menjadi yang konkrit dan manfaatnya bisa dirasakan.

            Dalam tafsir al-Azhar, terdapat suatu kisah yang menceritakan seorang nahkoda yang berlabuh dengan seorang non-muslim, selama belajar ia membaca terjemah al-Quran berbahasa Inggris, sampai pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam, hujan, banjir, air bah, laut, dan lain-lain. Pada saat banyak orang mempertanyakan apakah al-Quran kalamullah atau kalam nabi, nahkoda tadi berbeda pandangan. Sekalipun ia non-muslim, namun rasa pengetahuan yang dimiliki lebih besar. Sampai pada kesimpulan bahwa al-Quran mustahil sebagai kalam nabi, kapan nabi berlayar baru menulis. Maka pada akhirnya ia semakin yakin bahwa kitab tersebut bukan produk manusia, melainkan benar-benar firman Allah, hingga akhirnya ia berikrar dan masuk Islam.

            Demikian itu merupakan penjelasan mengenai hajr. Ada sifat lain yang juga harus dihindari oleh setiap muslim, yaitu haraj (orang yang menghina al-Quran). Di tengah masyarakat terdapat orang yang berfikiran liberal, yaitu mereka yang menghina al-Quran. Maka, kedua sifat ini harus dihindari, tidak mudah tergoyah dengan ajaran baru yang justru hal tersebut adalah reproduksi perilaku umat terdahulu.