Beragama dengan Dasar Pemahaman yang Benar

H. Untung Cahyono, M.Hum

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’/4: 115)

            Bulan suci Ramadhan memiliki dampak yang sangat positif di lingkungan masyarakat. Salah satunya ialah semangat berjamaah kembali muncul, dan hampir semua masjid terisi penuh. Kuantitas tersebut harapannya diikuti dengan peningkatan pemahaman ajaran Islam, dengan harapan kualitas kehidupan akan semakin baik, karena didasari dengan pemahaman dan pengertian yang benar.

            Hal itu menjadi suatu bagian yang penting dan perlu ditegaskan, karena ketika seorang muslim beragama namun tidak menjalaninya sesuai dengan pengertian ajaran Islam yang benar, tentu akan sangat beragam apa yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri. Oleh karenanya, kesempatan emas di bulan suci Ramadhan harus terus dimanfaatkan untuk menambah pemahaman keislaman. Sehingga berpeluang menjadi muslim yang sebaik-baiknya. Semakin bertambah usia, harapannya apa yang dilakukan semakin bermanfaat.

            Kesalehan tidak hanya diukur dari pelaksanaan ibadah wajibnya saja, lebih dari itu bahwa setelah melaksanakan ibadah yang wajib, harus mampu memberikan warna nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sehari-hari. Dari sini timbul satu pertanyaan yang sangat penting, apakah umat Islam sudah memiliki satu pandangan, visi, harapan dan semangat untuk menjalani kehidupan ini?

            Jawaban dari pertanyaan di atas dapat langsung dilihat dalam realita yang ada. Misalnya ketika suatu masyarakat tertentu merasa belum mempunyai tempat ibadah yang memadai, lalu muncul semangat yang sama bahwa mereka harus membangun tempat ibadah yang representatif. Maka, karena mereka mempunyai spirit dan harapan yang sama, terwujudlah bangunan tempat ibadah yang diharapkan itu.

            Umat Islam diharapkan tidak terbatas sekedar memikirkan pembangunan tempat ibadah saja, akan tetapi tidak kalah penting dari itu ialah bagaimana agar umat muslim memiliki satu pandangan dalam mengelola sumber daya manusia (SDM), bahkan sumber daya alamnya (SDA) yang juga sangat melimpah di negeri ini. Jika hal tersebut dikerjakan dengan satu semangat demi kemajuan bersama anak bangsa, tentu tidak ada hal yang trrjadi di luar yang diinginkan. Seperti terjadinya kasus korupsi, manipulasi, perilaku curang, dan seterusnya.

            Untuk menuju ke arah tersebut membutuhkan satu modal, yakni memiliki pemahaman dan pengertian dasar pelaksanaan ajaran Islam yang benar. Forum seperti kuliah subuh, kultum menjelang berbuka puasa, tausiyah menjelang/ setelah tarawih, khutbah jumat, pengajian-pengajian akan sangat bermanfaat. Selain itu pendidikan formal maupun non formal yang dikelola stiap hari. Semua itu menjadi bagian penting sebagai modal untuk dapat memberikan pemahaman Islam yang benar. Sehingga semangat, harapan, doa, kerja serta evaluasinya menjadi satu dasar dan satu pandangan yang benar.

            Namun, apabila seorang muslim belum mempunyai modal dasar yang tepat, maka akan sulit untuk dapat memiliki perubahan ke arah yang lebih baik. Contoh kecil misalnya dalam sebuah keluarga besar yang tinggal di satu tempat yang mungkin kurang nyaman, lalu mereka bermusyawarah untuk berpindah tempat. Jika mereka tidak memiliki satu pandangan, maka tidak akan terjadi perpindahan tempat yang mereka bisa tinggal bersama.

            Ketika menyangkut hal yang lebih besar dari itu, seperti kepentingan umat Islam dalam hal kepemimpinan, bagaimana memilih pemimpin hingga proses memilih pemimpin. Hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting. Apakah umat Islam sudah benar-benar memahami masalah kepemimpinan, bagaimana tipe ideal seorang pemimpin, serta cara untuk dapat mewujudkannya. Apabila sudah mempunyai pemahaman yang sama mengenai pemimpin yang ideal, jujur dalam proses pemilihan, bersikap dewasa, cermat, tidak sembarangan, serta tidak mudah dipengaruhi. Maka pemimpin yang diharapkan akan dengan mudah diperoleh dan menjadi kebanggaan bersama. Bukan sebaliknya, terjadi chaos antara beberapa pihak yang belum siap menerima kekalahan.

            Kepemimpinan dalam setiap level sangat menentukan, baik di tingkat jamaah, komunitas, kelompok, masyarakat atau bahkan sampai di tingkat yang lebih besar yaitu bangsa. Pimpinan suatu jamaah merupakan gambaran mentalitas pemahaman dan kecakapan rakyatnya. Apabila rakyatnya pintar dan cerdas, tidak mudah tergoda oleh beragam tawaran ‘semu’, maka bisa dipastikan pimpinannya juga sesuai harapan bersama.

            Jadi, beragama dengan dasar pemahaman yang benar menjadi bagian yang sangat menentukan perjalanan orang tersebut, baik dalam keluarga, jamaah maupun komunitasnya. Setiap anggota keluarga yang mempunyai kesadaran yang sama akan terjalin sinergi. Maka dalam Islam terdapat konsep bahwa mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim dan hal itu sebagai modal dasar untuk mewujudkan dasar pemahaman agama yang benar sehingga tidak salah arah.

Mewaspadai Sikap Hajr

Oleh H. Hendra Darmawan. S.Pd., MA

وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al-Furqan/25: 30).

            Salah satu ibadah sunah di bulan Ramadhan ialah bertilawah, mentadaburi al-Quran atau menghayati pesan-pesan yang ada di dalam al-Quran. Ada yang disebut dengan samudera al-Quran pada saat membacanya, memasuki relung-relung pesan tanda kebesaran Allah dan mengikuti bagaimana al-Quran, al-Islam dan mendakwahkan Islam itu sendiri.

            Mentadaburi al-Quran merupakan satu hal yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Orang yang enggan melakukannya perlu instropeksi diri, sebab terdapat ancaman bagi mereka yang enggan bertadabur, yakni hati yang terkunci. أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا, maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad/47: 24).

            Rasulullah dalam QS. Al-Furqan/25: 30 di atas, pernah mengadu kepada Allah, bahwasanya umatnya telah berbuat hajr/ membelakangi al-Quran, artinya tidak menjadikannya petunjuk, pedoman sehingga mengikuti apa yang al-Quran tuntunkan. Hajr secara bahasa berarti mempersempit atau menghalangi. Adapun dalam penjelasan Ibnu Katsir, mereka yang memiliki sifat hajr/ mahjura ialah;

  1. Mereka yang enggan membaca al-Quran.
  2. Mereka yang tidak suka menghayati makna al-Quran.

            Mungkin mereka sudah berada pada tahapan membaca dengan baik, tapi perlu meningkatkannya dengan mempelajari/ menghayati makna al-Quran. Pesan al-Quran yang luas itu masih banyak yang belum diamalkan, maka teruslah mengevaluasi diri.

            Tidak cukup membaca secara literal, akan tetapi juga perlu mengetahui maknanya. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu” (QS. Al-Isra/17: 14). Cukuplah al-Quran sebagai evaluasi/ hisab. Selain itu juga menjadikannya sebagai sumber hukum yang tertinggi, sehingga harus menghayatinya.

  • Mereka yang enggan mengamalkan al-Quran.

            Sebagai wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan ialah dengan mengamalkannya, bukan malah berpura-pura atau menarik diri. Mengamalkan ilmu diharapkan akan mendapat inspirasi dan ghirah yang dapat menggerakkan diri. Perlu memperjuangkan dan mendakwahkan nilai-nilai al-Quran, masing-masing harus menjadi pejuang untuk tegaknya nilai-nlai al-Quran. Dengan demikian dapat termasuk ke dalam golongan syuhada ‘ala naas/ saksi peradaban. Bahwa al-Quran bukan hanya sesuatu yang abstrak, akan tetapi bisa menjadi yang konkrit dan manfaatnya bisa dirasakan.

            Dalam tafsir al-Azhar, terdapat suatu kisah yang menceritakan seorang nahkoda yang berlabuh dengan seorang non-muslim, selama belajar ia membaca terjemah al-Quran berbahasa Inggris, sampai pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam, hujan, banjir, air bah, laut, dan lain-lain. Pada saat banyak orang mempertanyakan apakah al-Quran kalamullah atau kalam nabi, nahkoda tadi berbeda pandangan. Sekalipun ia non-muslim, namun rasa pengetahuan yang dimiliki lebih besar. Sampai pada kesimpulan bahwa al-Quran mustahil sebagai kalam nabi, kapan nabi berlayar baru menulis. Maka pada akhirnya ia semakin yakin bahwa kitab tersebut bukan produk manusia, melainkan benar-benar firman Allah, hingga akhirnya ia berikrar dan masuk Islam.

            Demikian itu merupakan penjelasan mengenai hajr. Ada sifat lain yang juga harus dihindari oleh setiap muslim, yaitu haraj (orang yang menghina al-Quran). Di tengah masyarakat terdapat orang yang berfikiran liberal, yaitu mereka yang menghina al-Quran. Maka, kedua sifat ini harus dihindari, tidak mudah tergoyah dengan ajaran baru yang justru hal tersebut adalah reproduksi perilaku umat terdahulu.

Menjadi Manusia yang Bernilai

Oleh Rahmadi Wibowo, Lc. MA.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (QS. Al Baqoroh/2: 30)

            Manusia diciptakan sebagai khalifah oleh Allah memiliki kewajiban, selain beribadah kepada Allah juga menjaga kemakmuran di muka bumi. Manusia memiliki nilai dan menjadi berharga karena akhlak yang dimilikinya. Sehingga, apabila seseorang telah kehilangan akhlak, maka hilang juga nilai serta harganya.

            Sebagai contoh, misalnya hendak mengetahui harga seekor binatang. Semua sudah mafhum bahwa gajah berharga karena gadingnya, rusa berharga karena tanduknya, dan burung berharga karena keindahan kicauan suaranya. Sehingga, jika ada gajah tidak bergading, rusa tidak bertanduk, dan burung tidak bersuara, maka binatang-binatang itu tiada lagi harganya.

            Oleh karena manusia itu dinilai dan menjadi berharga karena akhlaknya, maka kepada siapa seorang Muslim harus berakhlak?

  1. Kepada Allah.

Allah sebagai Rabb sekalian alam memiliki hak untuk diibadahi dengan benar oleh para makhlukNya. Adapun seorang manusia yang menginginkan dirinya menjadi berharga di hadapan Allah, maka harus memiliki akhlak yang baik, di antaranya:

  1. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

      Baik secara dhohir/ terang-terangan, ataupun secara khofi/ samar-samar. Perbuatan menyekutukan Allah disebut juga syirik. Termasuk syirik yang dhohir misalnya menyembah pohon, gunung, berhala dan segala sesuatu selain Allah. Sedangkan, yang termasuk syirik khofi misalnya melakukan amal ibadah hanya sekedar untuk memperoleh pujian orang lain atau agar didengar orang lain. Selain itu, meyakini suatu benda yang dapat mendatangkan mudharat ataupun manfaat. Misalnya, dengan menggunakan cincin akik, maka rezeki pasti bertambah dan dapat mendatangkan banyak kebaikan.

  • Yang disembah hanya Allah, baik dalam hal ucapan maupun perbuatan.

      Sebagai seorang muslim, setidaknya menyembah Allah dalam hal ucapan paling minimal sebanyak 17 kali dalam sehari. Hal ini karena minimal orang yang sholat kemudian membaca QS. Al Fatihah-nya sebanyak 17 kali, dapat diperhatikan potongan ayatnya ke-lima,   إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan). Sedangkan, menyembah kepada Allah secara perbuatan, seperti mendirikan ibadah sholat. Akan tetapi, perlu diwaspadai, karena boleh jadi dalam hal perbuatan ternyata masih ada yang menyembah nafsu, dunia, harta dan segala sesuatu selain Allah.

  • Kepada sesama mahluk.

            Manusia merupakan makhluk Allah, sama seperti malaikat, jin, tumbuhan, binatang dan semua yang ada di alam raya ini. Adapun, yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain ialah bahwa manusia dikaruniai akal. Manusia itu sendiri akan berharga dan bernilai ketika ia memiliki akhlak yang baik kepada sesama makhluk. Menunjukkan akhlaknya kepada sesama, antar tetangga, teman bahkan kepada non muslim sekalipun. Selain itu, kepada alam sekitar, tumbuhan, hewan bahkan air sekalipun.

            Muhammadiyah telah menerbitkan sebuah buku yang menarik: “Fikih Air”. Dijelaskan bagaimana akhlak seseorang yang seharusnya terhadap air, selain itu terdapat konsep air, bahwa apabila disana terdapat air, maka disana terdapat kehidupan. Sebaliknya, jika di sana tidak ada air, maka tidak ada kehidupan.

            Di antara ciri akhlak terhadap air ialah menggunakannya seefisien mungkin. Penelitian salah seorang dosen di UMY menunjukkan bahwa setiap orang yang melakukan wudhu dapat menghabiskan paling minimal tiga liter. Dari jumlah tersebut, ternyata yang benar-benar digunakan untuk membasuh dan mengusap anggota wudhu hanya 1/3-nya saja. Sehingga, sisanya terbuang sia-sia. Misalnya, jamaah Masjid IC UAD sejumlah 1000 orang, maka ini berarti dibutuhkan air sebanyak 3000 liter, namun 2000 liter di antaranya terbuang sia-sia. Untuk itulah, perlu kesadaran diri untuk mulai merubah kebiasaan menyia-nyiakan air.

            Jadi, ketika masih ada seorang yang enggan menyembah Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, masih menyekutukan Allah dalam amal ibadah, masih sibuk mencari penilaian orang lain, masih suka mencemari sungai dan menyia-nyiakan air dan seterusnya, maka sejatinya orang tersebut tidak memiliki nilai.

Ramadhan Syahrul Qur’an

Oleh H. Nur Kholis, S.Ag., M.Ag

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِى أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Bulan Ramadhan, (merupakan bulan) yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al Baqarah/2: 185)

            Dalam ayat di atas, dijelaskan bahwa Al-Quran merupakan petunjuk. Al-Quran merupakan kitab petunjuk yang memiliki keistimewaan, selain sebagai kitab penyempurna daripada kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, juga sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW.     

            Bulan Ramadhan ini menjadi mulia karena Al-Quran diturunkan di dalamnya, bukan sebaliknya karena bulan ini mulia, maka al-Quran diturunkan. Oleh karenanya, Ramadhan juga dikenal dengan istilah Syahrul Quran. Salah satu pertanyaan yang paling mendasar, kaitannya hubungan antara Al-Quran dengan umat Nabi Muhammad SAW ialah, “sudah sejauh mana berinteraksi dengan Al-Quran?”

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al Furqan: 30)

            Dalam ayat tersebut, Rasulullah mengadu kepada Allah yang memprediksi keadaan umatnya di masa yang akan datang. Kalau dilihat dalam Tafsir Ibnu Katsir, kata Mahjura dapat diartikan sebagai:

  1. Tidak mempelajarinya.
  2. Tidak menghafalkannya.
  3. Tidak mengimaninya.
  4. Tidak menjalankan perintahnya.
  5. Tidak mau mentadabburinya.
  6. Berpaling menuju kepada sesuatu yang lain, serta tidak menjadikan Al-Quran sebagai bahan rujukan maupun pedoman hidup.

Sebagaimana tersebut dalam QS. Fushilat : 26, Allah Ta’ala berfirman:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

Dan orang-orang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”.

            Apabila dibahasakan, maka boleh jadi maksudnya seperti berikut ini: Orang-orang kafir sangat giat mempengaruhi orang lain untuk tidak berdekatan dengan al-Quran. “Janganlah kalian dengarkan Al-Quran itu, dengan begitu kalian pasti akan dapat mengalahkan orang-orang Islam. Bahkan tugas kalian adalah mengaucaukan umat Islam dari membaca, memahami, dan mengamalkan al-Quran. Sehingga kalian akan berhasil mengalahkannya dan memperoleh kemenangan”.

            Kemenangan dan ketinggian derajat umat Islam yang dikhawatirkan oleh orang-orang kafir ialah, selama umat Islam masih istikomah menjadikan al-Quran sebagai pegangan hidupnya. Pada dasarnya, siapapun yang masih suka duduk bersama orang yang membaca al-Quran dan memahami isi kandungannya, maka dia pasti akan tertarik kepadanya, sehingga habislah perjuangan orang-orang kafir itu. Maka misi utama mereka ialah mengacaukan umat Islam, dengan cara menjauhkan diri dari belajar Al-Quran.

            Padahal Al-Quran memiliki manfaat yang dahsyat. Sebagaimana tersebut dalam QS. Yunus/10: 57

 يَٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

            Selanjutnya, bagaimana caranya untuk berinteraksi dengan Al-Quran?

            Berikut ini beberapa hal yang dapat diupayakan. Sehingga diharapkan orang yang melakukan perbuatan di bawah ini tidak tergolong sebagai orang yang mahjura, sebagaimana yang diadukan oleh Rasulullah kepada Allah Ta’ala.

  1. Mendengar dan menyimaknya.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat (QS. Al-A’raf/7: 204).

Bahkan Rasul juga biasa menyimaknya. Ibnu Mas’ud pernah diminta oleh Rasulullah untuk membacakan Al-Quran. “aku senang mendengarnya dari orang lain selain bacaanku,” begitulah kira-kira jawaban Rasulullahketika Ibnu Mas’ud merasa heran karena diminta membacakan al-Quran di hadapan Rasulullah.

  • Membaca dengan tertil.

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ ٱلْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا

…atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan (QS. Al-Muzammil/73: 4).

Dalam hadis juga disampaikan, bahwa orang yang mahir dalam membaca Al-Quran, akan bersama para Malaikat yang mulia. Selain itu, diriwayatkan juga bahwa Al-Quran dapat menjadi syafaat di hari Kiamat bagi orang yang suka membacanya.

  • Menjaga dan menghafalkannya.

إِنَّ الرَّجُلَ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ ، كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ

Sesungguhnya seorang yang tidak ada di perutnya sedikit pun Al Qur’an, adalah seperti rumah rusak/hancur  (HR. Ahmad)

  • Mentaddaburinya.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad/47: 24)

  • Belajar mengajarkan dan mendakwahkan.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحُكْمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّى مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن كُونُوا رَبَّٰنِيِّۦنَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ ٱلْكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya (QS. Ali Imran/3: 79).

  • Mengamalkan dalam kehidupan,

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah/2: 44).

  • Membela dan mensyiarkannya,

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. Al Hajj/22: 32).

            Demikianlah, tahapan dan langkah dalam berinteraksi bersama Al-Quran. Maka, di bulan yang mulia ini alangkah baiknya ketika berusaha untuk selalu dekat berinteraksi bersama Al-Quran.

Editor : Diyan Faturrahman

Konsep Iblis dalam Menyesatkan Manusia

Oleh Yayat Hidayat, M.Si

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

 قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.

Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah ! sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”. (QS. Al-A’raf/7: 12-13)

            Ketika Allah meciptakan nenek moyang manusia, yakni Nabi Adam as, Allah meminta kepada para Malaikat termasuk di dalamnya ‘iblis’ untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Namun, iblis menolak perintah Allah tersebut, selanjutnya terjadi suatu dialog yang diabadikan oleh Allah dalam QS. Al-A’rof: 12 – 18.

            Apakah yang menghalangi iblis tidak mau bersujud ketika Allah memerintahkannya?. Iblis mengatakan bahwa dirinya lebih baik dan lebih hebat daripada Adam, di mana Allah menciptakan iblis dari api, sedangkan Adam ‘alaihi ssalaam Allah ciptakan dari tanah. Jawaban iblis tersebut menyebabkan dirinya dikeluarkan dari surga, tidak lain karena adanya kesombongan dalam dirinya. Demikianlah karakter iblis dan sejenisnya, yaitu sombong/ takabur. Namun, sejatinya mereka itu shoghir atau kecil, bahwasanya tipu daya dan godaan mereka itu sangat kecil.

            Setelah diusir, iblis kemudian meminta kepada Allah tangguhan atas kematiannya sampai dengan hari berbangkit. Maka, Allah memberikan tangguhan atas kematianya. Di sini ahli tafsir berbeda pandangan tentang keturunan iblis. Ada yang menyebutkan bahwa nenek moyang iblis belum mati, kecuali keturunannya. Terlepas dari hal itu, bahwasanya kematian iblis dan bala tentaranya ditangguhkan oleh Allah.

            Tidak cukup sampai di situ, iblis kemudian berjanji bahwa: oleh karena Allah telah menyesatkannya, maka pasti kelak iblis dan bala tentaranya akan menghalangi manusia dari jalan Allah yang lurus. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk hal itu. Bahkan, dalam uraian ayat tersebut dijelaskan juga cara mereka dalam menghalangi manusia dari jalan Allah, yaitu: mereka akan mendatangi manusia dari arah depan, belakang, sebelah kanan dan kiri. Itulah konsep yang digunakan, mereka memiliki misi yaitu untuk menyesatkan seluruh manusia dari semua lini. Dan dialog tersebut diabadikan oleh Allah agar menjadi pembelajaran bagi orang-orang yang beriman. Iblis berusaha menjauhkan manusia dari jalan Allah.

            Dan konsep terakhir yang dijalankan oleh iblis, ialah agar manusia tidak mau bersyukur kepada Allah. Potensi yang telah Allah karuniakan/ amanahkan kepada manusia dibuatnya menjadi hilang kesadaran. Sehingga manusia menjadi tidak sadar dengan fitrahnya, sebagai muslim tidak sadar lagi bahwa hidupnya telah diatur oleh Allah, dengan tuntunan berupa wahyu (al-Quran dan sunnah) sebagai pedoman hidupnya.

            Ketika memperhatikan berbagai kondisi yang terjadi sekarang ini, maka akan banyak menjumpai hal-hal yang sangat memprihatinkan. Apa yang terdapat di dalam al-Quran dan as-sunnah sangatlah indah, namun realisasi atas keindahan tersebut masih belum menjelma dalam kehidupan seorang muslim. Image atau persepsi dari orang-orang luar terhadap ‘muslim’ masih buruk, karena bisa jadi nilai-nilai yang telah dijelaskan dalam al-Quran dan as-sunnah masih jarang dipraktikan.

            Sebagai catatan akhir, pada dasarnya setan maupun iblis seharusnya mencerdaskan manusia, karena semua sudah jelas berdasarkan keterangan dari Allah di atas. Sangat aneh ketika banyak manusia yang masih mau diperbudak oleh iblis menjadi temannya, sahabatnya, bahkan menjadi pelaku gerakan-gerakannya di muka bumi. Padahal, sudah sangat jelas konsep iblis dalam menggangu seperti apa, dan bahwa Allah juga sudah menjelaskan konsep/ jalan hidup yang harus di tempuh seorang beriman agar dapat selamat dari bujuk rayu iblis dan bala tentaranya itu.   Bahkan konsep bertahan dengan nilai-nilai keimanan sebagaimana banyak dijelaskan dalam al-Quran maupun hadis-hadis Rasulullah SAW.

            Pertanyaannya ialah, ‘maukah melaksanakan konsep yang Allah berikan itu atau tidak?,’ Apabila jawabannya tidak mau, dan justru mengikuti langkah-langkah iblis, maka konsekuensinya ada pada ayat ke-18 surah al-A’rof tersebut, yakni mereka akan menjadi penghuni jahannam. Na’udzu billahi min dzalik

Keutamaan Bulan Ramadhan

Oleh Royan Utsani, Lc., M.H.I

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِى أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah/2: 185)

            Salah satu amalan mulia dan istimewa bagi seorang muslim ialah gugur syahid di medan perang untuk membela agama Allah. Banyak ayat al-Quran maupun hadis yang menjelaskan tentang keistimewaan akan hal tersebut. Bahkan Allah SWT menepis anggapan bahwa orang yang gugur di medan jihad itu mati, sesungguhnya mereka masih hidup dan di sisi Allah mendapat rezeki, بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (QS. Ali Imran/3: 169).  

            Dalam hadis riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan bahwa orang yang gugur syahid di jalan Allah akan diberi enam perkara oleh Allah, yaitu: akan diampuni dosa-dosanya seiring dengan percikan darah pertama; Allah akan memperlihatkan tempatnya di surga; Allah akan menyelamatkannya dari siksa kubur dan neraka; kepadanya akan dipakaikan mahkota, yang apabila dikeluarkan maka dapat menyinari dunia dan seisinya; Allah akan menikahkannya dengan 72 bidadari; dan dapat memberi syafaat untuk 70 anggota kerabatnya. Kemuliaan yang luar biasa, lalu dalam hadis Bukhari-Muslim, disebutkan juga bahwa orang yang syahid menginginkan agar apat kembali ke dunia lalu mati syahid sebanyak sepuluh kali, karena ia melihat banyaknya balasan kebaikan yang diberikan.

            Tetapi ternyata ada orang yang lebih baik dari orang yang gugur di jalan Allah tersebut, sebagaimana dalam hadis riwayat Ahmad dan Ibn Majah. Bahwasanya Thalhah berkata bahwa ada dua orang yang masuk Islam di hadapan Rasulullah, setelah itu antara dua orang tersebut satunya lebih rajin beribadah, bahkan syahid di medan perang. Sementara sahabat yang satunya, ia meninggal setahun setelahnya kemudian gugur di atas kasur. Thalhah bermimpi bahwa kedua orang tersebut berada di depan pintu surga, anehnya sahabat yang meninggal di atas kasur dan tidak ikut berperang justru masuk surga terlebih dahulu, maka peristiwa tersebut lalu diadukan kepada Rasulullah. Rasulullah menjawab, karena sahabat yang masuk surga terlebih dahulu sempat berjumpa dengan bulan Ramadhan serta beribadah di dalamnya.

            Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW pernah ditanya orang yang paling baik di dunia. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa yang paling mulia di dunia ialah: مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ (seseorang yang paling panjang usianya dan paling baik amalannya). Maka dari itu, siapapun yang masih diberikan usia oleh Allah SWT, perlu bagi mereka untuk memiliki skala prioritas. Adapun yang perlu menjadi perhatian ialah memanfaatkannya untuk talabul ‘ilmi/ mencari ilmu sebanyak-banyaknya.             Menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Bahkan di dalam al-Quran, satu-satunya doa untuk meminta tambahan tentang sesuatu ialah tambahan ilmu. Di sana tidak ada doa yang menyebutkan untuk meminta tambahan harta, jabatan, bahkan kalimat takwa sekalipun.Firman-Nya, …وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (QS. Taha/20: 114). Dalam riwayat yang lain, Rasulullah pernah bersabda, مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ. Bahwa, barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka akan dimudahkan dalam urusan agamanya. Mungkin ukuran kebaikan seseorang dalam satu daerah berbeda-beda, ada yang mengukurnya dengan harta kekayaan, jabatan yang tinggi, dan sebagainya. Akan tetapi ulama sepakat bahwa ukuran kebaikan yang sesungguhnya ialah bahwa orang tersebut faham terhadap agamanya

Berbuat Ihsan Menuju Masyarakat yang Berkemajuan

Oleh Erik Tauvani Somae, S.H.I., M.H.I.

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْأَاخِرِ وَٱلْمَلَٰئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّائِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَاءِ وَٱلضَّرَّاءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah/2: 177).

            Setiap bulan Ramadhan selalu diingatkan bahwa tujuan berpuasa ialah bukan untuk berlapar-lapar dan berdahaga-dahaga, sesungguhnya hal tersebut hanya sebagai suatu pendidikan agar menjadi orang-orang yang bertakwa. Menurut para ulama, definisi takwa ialah اِمْتِثَالُ أَوَامِرِاللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ)) melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Kalimat tersebut singkat akan tetapi menyeluruh, dan ketika membuka QS. Al-Baqarah/2: 177, maka dalam ayat tersebut juga dijelaskan hakikat takwa.

            Dalam ayat tersebut, takwa diartikan sebagai orang yang benar. Sehingga menjadi orang yang benar itu menjadi syarat mutlak agar orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang bertakwa. Adapun orang yang benar ialah apabila jika menyatu dalam dirinya tiga unsur pokok dalam agama Islam. Maka, apabila belum menyatu ketiga unsur pokok tersebut, berarti belum dapat dikatakan sebagai orang yang benar, dan apabila belum benar maka belum dikatakan sebagai orang yang bertakwa ketiga hal tersebut ialah iman, Islam dan ihsan.

            Sekuat apapun tingkat keimanan seseorang dan sedemikian rupa ia melaksanakan ibadah (zakat, salat, puasa dan sebagainya), namun ketika belum memiliki ihsan, maka sama saja orang tersebut belum tergolong sebagai orang yang benar, dan hal ini berarti orang tersebut belum bertakwa. Pada hakikatnya, ihsan ialah ketika keimanan dalam hati terpatri dengan kuat lalu diwujudkan dengan amal dzahiriyah, yang dengannya harus berdampak positif bagi diri sendiri dan orang sekitar.

            Seorang yang beriman dan taat, akan tetapi ketika tetangga tempat ia tinggal belum merasa aman atau setidaknya merasakan manfaat dengan keberadaan dirinya, maka pada dasarnya orang tersebut belum ihsan. Maka, ihsan menuntut adanya kemampuan bergaul, hidup bersama serta menjadi pribadi yang menyenangkan. Orang yang tidak mampu menyatu dengan komunitas, sesungguhnya ia tidak siap dengan adanya perbedaan. Ketika orang tersebut susah bergaul, maka implementasi ihsan juga akan mengalami kesulitan.

            Demikianlah tujuan takwa, maka dapat diketahui bahwa syariat ibadah puasa adalah untuk memperbaiki kehidupan. Begitupun al-Quran diturunkan juga dalam rangka memperbaiki kehidupan dunia akhirat. Untuk itulah dalam ayat-ayatnya menemukan fungsinya, yakni هُدًى لِّلنَّاسٍ وَّبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ)…) menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Sehingga jika seseorang mendapatkan petunjuk itu, maka kehidupannya akan menjadi lebih baik. Namun, ketika fungsi al-Quran sebagai hudan, tibyan dan furqan tidak ada, maka sama saja al-Quran tersebut tanpa ruh, padahal ia diturunkan untuk memperbaiki kehidupan atau membangun peradaban.

            Bangsa Arab sebelum al-Quran turun, mereka adalah bangsa jahiliyah. Namun bukan berarti tidak mengetahui apa-apa, bangsa Arab ketika dilihat dari sudut pandang intelektual, dapat dikatakan mereka adalah masyarakat yang cukup intelek, mereka bahkan mampu membaca dan menulis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya budaya syair yang berkembang, bahkan syair terbaik akan digantung pada dinding Ka’bah. Begitupun dalam hal ekonomi, mereka dikenal sebagai masyarakat yang suka berdagang, dalam hal kepemimpinan di sana terdapat sistem kekerabatan atau kesukuan, berkafilah-kafilah. Selain itu dari segi militer, setiap suku dari mereka memiliki kemampuan berperang hingga memiliki strategi peperangan.

            Sehingga, dalam hal ini yang dimaksud dengan bangsa Arab berada dalam keadaan jahiliyah, ialah terbelakang secara moral dan spiritual. Sekalipun tinggi sastranya, ekonominya berjalan, kemampuan militer juga tersedia, akan tetapi dalam waktu yang sama mereka terus berpecah belah, saling bertikai dan mengunggulkan kabilah/ kelompoknya. Dalam kehidupan bermasyarakat sering bertikai, dalam melakukan perdagangan tidak jujur, suka memonopoli perdagangan, menganggap bahwa perempuan adalah sebuah aib. Mereka juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan mereka, akan tetapi mereka membuat tuhan-tuhan tandingan. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tersebut benar-benar terbelakang, baik secara moral maupun spiritual.

            Allah mengutus Rasulullah SAW dan menurunkan kepadanya al-Quran ialah untuk mengubah keadaan tersebut, dari kegelapan menuju cahaya. Apabila bertikai merupakan suatu kegelapan, maka cahayanya ialah bersatu, jika memonopoli perdagangan adalah kegelapan, maka kejujuran ialah cahayanya, ketika pertikaian adalah kegelapan, maka persatuan dan kesejahteraan bagi semua merupakan cahaya. Apabila berhala-berhala sebagai kegelapan, maka tauhid yang murni ialah cahayanya.

            Al-Quran diturunkan untuk membangun peradaban yang tujuannya ialah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Adapun, masyarakat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ””. 1) lahum ajruhum ‘inda robbihim, maknanya ialah hidup sejahtera; 2) walâ khaufun ‘alaihim, maknanya ialah damai; dan 3) wa lâhum yahzanûn, yaitu bahagia. Apabila ketiga hal tersebut terwujud, maka masyarakat itu sudah baik, berkemajuan dan berkeadabaan.